Semangat kemandirian tertanam kuat di dalam diri Muhammad Kasim Ombaier. Pria kelahiran Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat, ini menyadari potensi pariwisata yang dapat dikelola untuk mengembangkan perekonomian daerah. Di hadapan 18 orang peserta School of Eco Diplomacy (SED) Kelas Dasar Kaimana, Kamis (29/5/2021). Kasim bercerita pengalamannya sebagai pemilik homestay di Kampung Namatota.
“Saya membangun homestay sejak tahun 2017. Itu dari kemauan saya, karena saya melihat kenapa orang Raja Ampat bisa membangun Raja Ampat dan saya sebagai putra daerah sini tidak bisa. Saya anak negeri, saya mau berdiri sendiri,” kata Nyong, sapaan Kasim, tentang alasannya bergelut di dunia pariwisata.
Dengan modal tekad yang kuat, saat ini Nyong telah memiliki 3 unit homestay berkapasitas 2 orang tiap unitnya. Nyong melibatkan 5 orang pekerja yang bertugas mengurus kebersihan dan kebutuhan air bersih.
Baca juga: Ancaman Kerajaan Ikan di Kaimana
Kampung Namatota memiliki daya tarik keindahan terumbu karang yang terawat dengan baik. Perairan di sekitarnya juga menjadi tempat wisatawan bisa melihat langsung hiu paus, ikan terbesar di dunia.
Tiap bulan, Nyong kedatangan sekitar 20 wisatawan. Wisatawan yang telah bermalam di homestay milik Nyong datang tak hanya dari Indonesia, tapi dari berbagai negara, seperti Australia, Perancis, Rusia, dan Belgia. “Itu jumlah tamu yang datang sebelum COVID-19. Saat ini sepi. Tamu lokal tidak lebih dari 20 orang per bulannya,” ujar Nyong.
Selain Nyong, hadir pula dua inspirator muda lainnya, yaitu Domberai Landscape Coordinator Yayasan EcoNusa, Alosius Numberi, serta videografer dan alumni SED tahun 2019, Roberto Yekwam.
Alosius Numberi yang kerap disapa Alo, bercerita kepada peserta tentang Program Pengelolaan Sumber Daya Alam yang tengah dijalankan oleh EcoNusa. Alo bersama tim berkunjung ke kampung-kampung, memetakan potensi yang ada, hingga membantu masyarakat mengembangkan sumber daya alam melalui pengembangan kapasitas. “Misalnya di kampung ada pala, maka tugas saya mengembangkan potensi itu,” katanya.
Baca juga: Kaimana Perlu Diplomat Lingkungan
Alo juga mengisahkan pengalamannya ketika ditolak masyarakat Kampung Saubeba, Kabupaten Tambrauw. “Kamu tipu-tipu itu,” ucap Alo menirukan apa yang disampaikan masyarakat saat itu. “Namun dengan memberi penjelasan secara baik, pada akhirnya masyarakat menerima kehadiran kami. Masyarakat Tambrauw itu masyarakat yang paling baik,” kenang Alo.
Roberto Yekwam, pemuda asli Tambrauw, lebih banyak bercerita tentang pengalamannya memutar film bertemakan lingkungan di kampung-kampung. Roberto menggunakan film sebagai medium penyadartahuan isu lingkungan yang mudah dipahami masyarakat.
Pemuda yang aktif di komunitas Papuan Voice ini juga menceritakan tentang pengalaman serunya menjadi salah satu dari 42 peserta berasal dari berbagai negara yang mengikuti pelatihan pembuatan video tentang sampah pesisir secara virtual oleh salah satu lembaga besar di Amerika Serikat.
Selama mengikuti pelatihan, Roberto terkendala komunikasi bahasa dengan peserta lain. Namun ia tak patah semangat. “Waktu ikut itu saya memang rasa berat sekali. Hari pertama saya coba ikut tapi tidak sampai selesai. Hari berikutnya hanya ikut-ikut saja dengar-dengar, hari selanjutnya lagi setiap mereka chat, saya translate menggunakan aplikasidulu, lalu kirim kembali,” katanya sambil tersenyum.
Baca juga: Mengembalikan Hutan Papua Barat kepada Pemiliknya
Sebagai alumni SED, Roberto berpesan kepada peserta agar menggunakan SED sebagai wadah belajar sebaik mungkin. “Gunakan wadah School of Eco Diplomacy ini sebaik mungkin, tempat belajar, bertukar pikiran, dan lakukan sekarang aksimu atau menyesal seumur hidup,” pungkas Berto dengan mantap.
SED Kaimana merupakan SED ke-6 yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa. Pelatihan yang berlangsung selama empat hari tersebut diikuti oleh 18 peserta dari tiga wilayah di Papua Barat, di mana 13 peserta berasal dari Kabupaten Kaimana, 2 peserta berasal dari Kabupaten Sorong Selatan, dan 3 peserta berasal dari Kabupaten Sorong. Semua peserta merupakan kaum muda berusia 16-25 tahun yang telah lolos seleksi essay dan wawancara sebelumnya.
Penulis: Astried
Editor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani