Pengembang dari peta interaktif Papua Atlas berharap dapat menginformasikan deforestasi yang tengah terjadi di Provinsi paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat, di mana perkebunan dengan skala industri tengah mengancam salah satu dari bentang hutan hujan tropis terbesar di dunia.
Papua Atlas dikembangkan oleh CIFOR, dengan bantuan finansial dari Departemen Pengembangan Internasional Inggris (DFID) dan dijadwalkan untuk diluncurkan pada 2019 mendatang.
Meskipun sudah ada platform yang dapat melakukan pengecekan deforestasi seperti yang dimiliki Global Forest Watch, Papua Atlas memiliki perbedaan karena dapat menunjukan perkembangan aktual terkait perkebunan dan pembangunan jalan.
“Hasilnya, pengguna dapat melihat jumlah dan luas dari konsesi sawit atau kayu pulp atau jalan yang melintasi hutan secara real time,” ucap Peneliti dari CIFOR David Gaveau yang mengembangkan peta tersebut bersama dengan rekannya Mohammad Agus Salim.
Peta tersebut juga bisa dipakai untuk mencari konsesi dengan berbagai cara, seperti menggunakan identitas perusahaan induk, hal ini lah yang menjadikan Papua Atlas sebagai alat yang mendorong transparansi di sektor perkebunan, ucap Gaveau.
“Papua Atlas menghubungkan penggunaan lahan dan perubahan tutupan hutan yang kami ambil dari pencitraan satelit dengan peta peruntukan lahan,” ucap Gaveau pada Mongabay. “Sehingga siapapun bisa melakukan pengecekan bukan hanya di tingkat perkebunan individual, tapi juga grup-grup besar (di balik mereka).”
Gaveau mengatakan Peta tersebut disusun untuk menyasar permasalahan kurangnya informasi terkait bagaimana konsesi dijalankan di Papua saat ini.
“Pada intinya adalah bagaimana menunjukan transparansi terkait apa yang sedang terjadi di wilayah itu, dan mengaitkan deforestasi dengan kepemilikan lahan untuk memperlihatkan siapa yang bertanggung jawab,” ucap dia. “Untuk meningkatkan akuntabilitas korporasi, kita harus tahu berapa luas deforestasi yang terjadi, dan area perkebunan yang diperluas serta pembangunan jalan mana yang menyebabkan deforestasi.”
Lahan Prima
Wilayah Papua menyumbang 35 persen dari hutan hujan yang tersisa di Indonesia, dengan bentang 294.000 kilometer persegi. Wilayah ini masih terpencil, hal itu bisa dilihat dari ditempuhnya penerbangan lebih dari 5 jam dari Jakarta menuju Kota terbesar di kawasan itu, Jayapura. Selain itu, kelangkaan infrastruktur seperti jalan, listrik, telekomunikasi dan air ledeng telah membuat wilayah ini sebagai daerah yang kurang berkembang dan termiskin di Indonesia.
Namun demikian, hal itu menunjukan kekayaan hutan di Papua, rumah dari burung cendrawasih yang eksotis dan banyak spesies hewan dan tumbuhan lainnya, tetap berada di luar jangkauan invasi pertambangan dan perkebunan yang telah merusak hutan Sumatera dan Kalimantan.
Akan tetapi, hal itu berubah dalam beberapa tahun terakhir, berkat fokus baru pemerintah untuk meningkatkan pembangunan di wilayah tersebut. Perusahaan-perusahaan kelapa sawit telah mulai bergerak masuk, dan secara cepat membabat petak-petak hutan asli terakhir di Indonesia.
“Karena lahan prima sudah langka di pulau-pulau lain, perusahaan-perusahaan beralih ke Papua,” kata Gaveau.
Dalam penelitian yang dilakukannya menggunakan data dari Universitas Maryland ditemukan jika wilayah Papua telah kehilangan 6 ribu Kilometer persegi hutan di rentang tahun 200 hingga 2017. Tingkat deforestasi Papua juga meningkat dalam beberapa tahun terakhir, mencapai angka tertinggi 980 dan 850 Kilometer persegi masing-masing di tahun 2016 dan 2017.
Sementara itu, sejak tahun 2000 rentang perkebunan skala industri di Papua, terutama untuk kelapa sawit, mencapai empat kali lipat, dengan pertumbuhan tercepatnya berada di distrik Boven Digoel dan Merauke, Provinsi Papua.
Dalam penelitian Gaveau, sekitar 30 persen dari semua hutan yang hilang sejak tahun 2000 di wilayah itu disebabkan oleh pembukaan hutan tanaman industri.
Dalam dua tahun terakhir, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyerahkan kepada beberapa perusahaan kelapa sawit beberapa lahan yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan hutan. Yang terbaru, puluhan Kilometer persegi hutan, termasuk lahan gambut yang kaya akan karbon, diserahkan kepada PT Sawit Makmur Abadi, sebuah perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di distrik Nabire, Papua.
Gaveau menyatakan mendapat penyangkalan dari para pejabat di Papua ketika mempresentasikan temuannya itu. Mereka menyangkal memberikan konsesi baru di tahun-tahun yang merupakan puncak deforestasi.
Temuan mengejutkan lainnya ialah setelah lonjakan pada tahun 2015 dan 2016, ada penurunan tajam deforestasi pada tahun 2017.
Meskipun demikian, Gaveau menyatakan belum memiliki jawaban atas temuan tersebut. Oleh karena itu, Papua Atlas akan memberikan pencerahan akan hal ini.
“Peta konsesi kami (yang digunakan di Atlas) lebih baik dari yang biasanya kami miliki, akan tetapi masih ada kekurangan informasi,” ucapnya. “Misalnya, kami tidak selalu tahu tanggal dikeluarkannya izin (konsesi).”