
Di Papua, sagu bukan sekadar tumbuhan. Ia adalah nadi kehidupan. Di tanah yang kaya akan keragaman hayati dan budaya, sagu hadir sebagai simbol keseimbangan antara manusia dan alam. Bagi masyarakat adat Papua, terutama di Sorong Selatan, Papua Barat Daya, sagu tidak hanya menjadi sumber makanan pokok. Hutan sagu, yang oleh masyarakat lokal disebut dusun sagu, adalah rumah bagi makhluk hidup, tempat berlindung bagi aneka satwa liar, gudang tanaman obat, serta ruang spiritual tempat bersemayamnya arwah leluhur.
Dalam pandangan kosmologis masyarakat Papua, sagu adalah bagian dari jiwa. Ia tidak hanya menjadi sumber penghidupan, tapi juga identitas kultural. Dalam berbagai upacara adat, sagu selalu hadir sebagai simbol keutuhan dan keharmonisan. Mulai dari pesta adat, upacara penyambutan tamu penting, hingga perayaan panen, sagu diolah dalam beragam bentuk, seperti papeda dan sagu bungkus yang disajikan sebagai ungkapan syukur atas berkat alam. Baca Juga: Sagu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Terancam oleh Pembangunan
Sagu juga melahirkan tradisi khas yang diwariskan turun-temurun. Salah satunya adalah aktivitas menokok sagu, di mana warga memproses batang sagu secara manual hingga menghasilkan tepung halus siap konsumsi. Selain itu, ada praktik memanen ulat sagu, salah satu sumber protein tinggi bagi masyarakat dan bagian penting dalam kuliner khas Papua.
Ekowisata Dusun Sagu Kais
Harmoni antara hutan sagu dan masyarakat adat tersebut kami kemas dalam sebuah pengalaman ekowisata yang unik dan autentik melalui Ekowisata Sagu Kais di dusun Vabamure, Distrik Kais, Kabupaten Sorong Selatan. Wisata ini bukan sekadar petualangan menelusuri hutan, melainkan perjalanan menyelami nilai-nilai ekologis dan budaya yang terkandung dalam setiap batang sagu yang menjulang. Serta juga menjelajahi jejak kearifan lokal yang merawat hutan dan menjaga relasi sosial.
Dusun sagu yang dalam bahasa Kais disebut mugu aubu sejatinya adalah tempat masyarakat adat Kais beraktivitas sehari-hari. Hutan ini adalah supermarket alami tempat kami “berbelanja” untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Di sinilah kami mendapatkan makanan pokok berupa sagu, sumber protein dari rusa dan babi hasil buruan, hingga udang dan ikan yang kami tangkap dari aliran sungai yang tenang. Di sela-sela batang sagu, tumbuh pula aneka tanaman obat yang kami gunakan sebagai remedi tradisional. Sagu juga menyediakan bahan bangunan: daunnya kami anyam menjadi atap rumah, pelepahnya menjadi dinding, dan batang besarnya sering digunakan untuk membuat jembatan penyeberangan. Baca Juga: Merawat Bank Sagu Kampung Manelek
Cara Menuju Ekowisata Dusun Sagu Kais
Untuk menuju hutan tersebut, perjalanan dapat dimulai dari Kota Sorong menuju Teminabuan di Sorong Selatan yang memakan waktu 4-5 jam menggunakan mobil. Dari sana, satu-satunya transportasi yang tersedia adalah perahu motor, dengan waktu tempuh sekitar 3 jam melalui sungai-sungai besar dan kecil yang diapit hutan sagu, bakau dan nipah yang lebat. Kita bisa mengintip satwa liar yang menampakkan diri di sela rimbunnya pohon.
Aktivitas di Dusun Sagu Kais
Begitu menginjakkan kaki di kawasan dusun sagu, kita akan disambut oleh keheningan alam yang damai, hanya diselingi oleh kicauan burung dan gemericik air sungai kecil yang membelah kawasan ini. Di sini, kita bisa ikut bergabung dengan masyarakat yang sedang mengolah pohon sagu dari hulu hingga hilir. Mulai dari penebangan pohon, pemerasan tepung, hingga penyajian kuliner seperti papeda yang disantap bersama ikan kuah kuning atau olahan udang hasil tangkapan dari sungai. Jika penasaran, kita bisa bertanya kepada mereka tentang jenis-jenis sagu yang tumbuh di sana dan bagaimana mereka membedakan satu dengan lainnya. Kita juga akan disuguhkan dengan buah-buahan lokal hutan sagu untuk dinikmati. Baca Juga: Hutan Sagu yang Terancam oleh Sawit
Selain aktivitas tersebut, kita pun bisa belajar membuat garam hitam dari pelepah pohon nipah. Ya, garam tidak hanya dihasilkan dari air laut. Beberapa suku yang tinggal di pesisir Papua juga memanfaatkan pohon nipah sebagai sumber penghasil garam. Masyarakat menyebutnya garam hitam karena dihasilkan dari pembakaran pelepah pohon nipah. Tradisi ini sudah dilakukan secara turun-temurun dan mulai langka. Ada juga praktik membuat tikar dan payung koba-koba dari anyaman daun sagu, serta teknik membuat jaring tradisional “sero” dari tulang gaba sagu untuk menangkap ikan secara lestari. Bersama kaum wanita, kita dapat berkegiatan tangguh kali/ tangguh ikan di sungai kecil saat air surut di siang hari.
Saat pagi atau sore, kita juga bisa menyusuri sungai dengan perahu tradisional, menyaksikan burung-burung endemik seperti kakatua, nuri, mambruk, hingga maleo bertengger di dahan pohon sagu. Di beberapa titik, kelelawar beterbangan di antara tajuk-tajuk rimbun, rusa liar, dan kasuari kadang terlihat melintas di tepian air. Kita juga bisa menyaksikan atraksi budaya seperti musik dan tarian malam di alun-alun kampung di sore hari. Pertunjukan ini bukan sekadar hiburan, tapi representasi nilai dan filosofi hidup masyarakat Kais yang tumbuh bersama hutan sagu. Baca Juga: Sagu yang Menghidupi Masyarakat Sekitar Danau Sentani
Yang menjadikan wisata ini begitu istimewa bukan hanya lanskap atau keanekaragaman hayatinya, melainkan juga makna keberadaannya bagi masyarakat. Wisata Sagu Kais tidak hanya membuka peluang ekonomi alternatif yang lestari bagi masyarakat lokal, seperti menjadi pemandu wisata, juru masak, pengrajin, atau penyedia transportasi sungai, tetapi juga menjadi sarana pelestarian lingkungan dan budaya.
Untuk mengeksplor Wisata Sagu Kais bisa menghubungi wisatasagukais@gmail.com dan IG: @wisatasagukais.
Editor: Nur Alfiyah