Wacana lahan pangan terintegrasi (food estate) kembali digaungkan pemerintah sejak September 2020 silam guna meningkatkan ketahanan pangan serta mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Wilayah Papua bagian selatan direncanakan menjadi salah satu target pengembangan lumbung pangan skala luas tersebut. Sementara itu, pembangunan food estate dikhawatirkan justru menjadi ancaman nyata terhadap keanekaragaman hayati di Tanah Papua.
Pembangunan food estate memerlukan lahan seluas 1,3 juta hektare hutan dan 734 ribu hektare area penggunaan lain (APL) di wilayah Papua bagian selatan di tiga Kabupaten, yaitu Merauke, Mappi, dan Boven Digoel. Konsepnya dilakukan secara terintegrasi yang mencakup pertanian serta perkebunan pada lahan skala luas yang ditujukan sebagai lahan produksi pangan nasional, cadangan pangan, penyimpanan hingga distribusi pangan dan meningkatkan produksi pangan agar mengurangi impor komoditas pangan.
Alih-alih untuk memperkuat ketahanan pangan demi kesejahteraan rakyat, program ini mendapatkan kritik dan penolakan berbagai kalangan. Selain dinilai bukan solusi bijak dari ancaman krisis pangan, banyak pihak meyakini food estate justru meningkatkan risiko deforestasi dan mengakibatkan kerusakan ekologi. Di samping itu, rencana ini akan merampas hak masyarakat adat untuk mengelola lahan-lahan hutan sebagai sumber penghidupan mereka.
Baca juga: Cenderawasih, Simbol Budaya dan Mata Rantai Kehidupan Belantara Papua dan Maluku
Kritik dan penolakan tersebut sejatinya bukan tanpa alasan. Program serupa pernah mengalami kegagalan di masa lalu. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang digagas pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2010 hingga kini menyisakan banyak permasalahan. Penolakan juga didasarkan bahwa alih-alih melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaannya, mega proyek tersebut menggandeng korporasi-korporasi besar yang menghilangkan ruang interaksi sosial budaya bagi masyarakat sekitar terhadap sumber ekonomi baru.
Dilansir dari antaranews, Guru Besar IPB Edi Santoso mengatakan bahwa keberhasilan food estate adalah keberlanjutan dari berbagai aspek, khususnya sosial, ekonomi, dan ekologi. Ia juga mengingatkan, jangan sampai Indonesia justru terperangkap dalam krisis pangan karena proyek food estate yang tidak mempertimbangkan keberlanjutan.
Fantastisnya luas lahan yang dibutuhkan untuk dikonversi menjadi food estate pun menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati di Tanah Papua sebagai imbas deforestasi besar-besaran yang ada di depan mata. Dalam rentang 10 tahun, dari 2009 hingga 2018, deforestasi di Tanah Papua mencapai lebih dari 353.000 hektare atau seluas 327 lapangan sepak bola. Jika rencana food estate ini direalisasikan, maka akan ada lagi 1,3 juta hektare hutan yang akan mengalami deforestasi terencana.
Padahal, hutan-hutan di Tanah Papua adalah surga bagi keanekaragaman hayati. Jurnal Nature tahun 2020 bahkan menyodorkan fakta bahwa Tanah Papua memiliki jumlah spesies flora tertinggi di dunia, yaitu 13.634 spesies, mengalahkan Madagaskar yang sebelumnya meraih rekor tertinggi dunia. Hutan-hutan di Tanah Papua menaungi ratusan ribu spesies flora dan fauna. Sebagian besar adalah endemik yang tak dapat dijumpai di tempat lain. Termasuk cenderawasih, burung ikonik yang keindahannya terkenal hingga dunia internasional.
Hendra K. Maury, ahli Ekologi dari Fakultas MIPA Universitas Cenderawasih mengatakan ketika bicara soal food estate maka ini akan menyangkut lahan yang tidak sedikit. Ditinjau dari aspek ekologis, pembukaan hutan di suatu kawasan yang sama dengan skala luas dan dalam waktu sangat singkat akan membuat keseimbangan ekologis bermasalah.
“Tanah Papua memiliki banyak sekali misteri yang tersimpan. Karena kita (bentangan alam Papua) ini kompleks sekali. Mulai dari pesisir hingga area pada ketinggian di atas 4.000 mdpl yang ditutupi salju abadi, itu luar biasa kompleksnya. Sehingga endemisitasnya pun tinggi. Bila terjadi alih fungsi lahan besar-besaran, kita akan kehilangan sumber daya hayati kita yang sangat penting, dan ini sifatnya irreversible. Artinya, ketika spesies hilang atau punah, tidak bisa kita tarik kembali. Seketika dia hilang, maka akan hilang selamanya. Padahal kita belum tahu betul, belum kita pelajari, apa peran spesies-spesies ini bagi ekosistem dan manfaatnya bagi manusia,” tutur Hendra ketika dihubungi tim EcoNusa di kampus Universitas Cenderawasih.
Sementara itu, wilayah Merauke, Mappi, dan Boven Digoel yang direncanakan menjadi lahan food estate merupakan wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi. Pada area hutan rawa gambut, ada berbagai flora yang ditemukan seperti sagu, gaharu, gambir, masohi, dan bus. Belum lagi berbagai ikan, babi, rusa, kus-kus dan hewan bertubuh besar lain yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.
Ambil bagian dalam: Dukung Kampanye Defending Paradise untuk Pelestarian Hutan Hujan Tropis Tanah Papua dan Kepulauan Maluku Sebagai Habitat Cenderawasih
Menurut hasil penelitian Balai Besar KSDA Papua, wilayah ini juga menjadi rumah bagi kanguru lincah yang tinggal di area savana dan cenderawasih kuning besar yang tinggal di hutan bertajuk agak terbuka. Selain itu, ada pula burung mambruk, kasuari, cenderawasih kecil, cenderawasih kawat dua belas, dan cenderawasih raja.
Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati tanggal 22 Mei ini patut dijadikan refleksi semua pihak. “Haruskah ketahanan pangan dengan pembangunan food estate yang digadang-gadang pemerintah mengorbankan keanekaragaman hayati di Tanah Papua? Apakah nilai dari pembangunan food estate sebanding dengan hilangnya keanekaragaman hayati tersebut?” kata Bustar Maitar, pendiri dan CEO Yayasan EcoNusa.
Ia berharap lumbung pangan itu tidak menjadi bumerang bagi masyarakat adat. Meskipun tujuannya untuk ketahanan pangan demi kesejahteraan rakyat, tetapi kerusakan lingkungan dan kepunahan keanekaragaman hayati yang diakibatkan justru akan menghancurkan penghidupan masyarakat yang bergantung pada hutan. Padahal keanekaragaman hayati merupakan bagian dari kekayaan negara dan identitas budaya yang tak ternilai harganya.
Editor: Leo Wahyudi