Search
Close this search box.

4 Tradisi Lokal Menjaga Laut di Berbagai Daerah di Indonesia

Bagikan tulisan ini

Dengan luas laut sekitar 3,2 juta kilometer persegi, tak heran bahwa dunia bawah laut Indonesia menyimpan kekayaan yang begitu besar. Namun, di sisi lain saat ini ada berbagai masalah yang berpotensi mengancam kelestariannya, mulai dari masalah sampah, alih fungsi pesisir, penangkapan ikan ilegal, dan sebagainya. Semua hal ini menandakan bahwa laut kita sedang tidak baik-baik saja.

Gak mau kan kalau laut kita menjadi tidak seindah dulu lagi? Maka, sudah seharusnya nih kita menunjukkan upaya yang lebih serius untuk melestarikannya. Sebetulnya, usaha melestarikan laut ini juga telah menjadi tradisi lokal bagi masyarakat di berbagai daerah di Indonesia sejak zaman dulu, lho! Penasaran ada tradisi apa saja yang bisa kita jadikan inspirasi untuk menjaga laut? Yuk kita cari tahu!

1. Tradisi Lilifuk 

Masyarakat suku Baineo di Nusa Tenggara Timur memiliki tradisi Lilifuk yang unik untuk menjaga kelestarian laut. Lilifuk sendiri mengacu pada suatu kolam air laut berukuran besar yang dibentuk dengan cara menutup sejumlah area kawasan laut selama 6 bulan-1 tahun. Selama periode tersebut, tidak boleh ada aktivitas apa pun di dalam lilifuk, seperti misalnya menangkap ikan dan mengganggu ekosistem terumbu karang. Jika ada yang melanggar peraturan ini, maka mereka harus membayar denda berupa uang, beras, atau hewan ternak.  Karena ada peraturan ini, maka tak heran kalau potensi sumber daya lautnya terus terjaga dan berlimpah.

Kawasan Lilifuk biasanya akan dibuka kembali 2 kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Pada saat itulah warga akan melakukan upacara adat penangkapan ikan, sebelum akhirnya boleh menangkap ikan yang ada di sana. Meskipun demikian, mereka pun harus memanfaatkan hasil panen laut mereka dengan bijak serta berbagi dengan sesama.

2. Tradisi Bapongka

Kehidupan Suku Bajo dari Sulawesi seakan tidak bisa terpisahkan dari laut. Sejak zaman dulu, mereka memang sudah dikenal sebagai ‘Orang Laut’. Mereka membangun rumah di atas laut, menghabiskan banyak waktunya untuk mengembara di atas perahu, hingga mampu menyelam ke bawah laut yang sangat dalam. Salah satu tradisi yang mereka miliki adalah Bapongka, yaitu melakukan pelayaran mencari nafkah atau hasil laut ke daerah lain selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Pelayaran ini dilakukan secara berkelompok menggunakan perahu tradisional bernama lepa dan alat tangkap ikan yang juga bersifat tradisional dan sederhana.

Tradisi ini dianggap mampu menjaga kelestarian laut karena hingga kini mereka masih menggunakan peralatan tradisional yang tidak menyebabkan kerusakan maupun polusi. Selain itu, mereka juga memiliki peraturan untuk tidak boleh membuang apa pun ke laut, mulai dari air cucian beras hingga arang kayu bekas memasak. Jika terjadi pelanggaran, mereka percaya bahwa akan ada bencana alam yang  bisa terjadi.

3. Tradisi Sasi

Tradisi Sasi biasa dilakukan oleh masyarakat Maluku dan Papua di daerahnya masing-masing. Hampir sama dengan tradisi Lilifuk, Sasi juga menerapkan periodisasi yang menentukan kapan masyarakat boleh dan tidak boleh menangkap serta memanfaatkan hasil laut. Durasi ‘buka-tutup’ laut ini pun bervariasi, tergantung kebutuhan di masing-masing wilayah. Ada yang melakukan penutupan selama 3 bulan, 6 bulan, 2 tahun, bahkan hingga 4 tahun. Jika selama periode larangan ini ada yang melanggar aturan, maka ia akan dikenakan denda. Dengan begitu, kekayaan laut di wilayah tersebut pun bisa terjaga dengan baik dan lepas dari tangan-tangan nakal manusia.

4. Panglima Laot

Sejak abad ke-16 di era Kerajaan Aceh Darussalam, masyarakat Aceh telah mengenal keberadaan Panglima Laot. Para Panglima Laot ini memiliki wilayah kewenangannya masing-masing yang berbasis pada satuan lokasi yang disebut Lhok. Secara adat, mereka bertugas untuk menjaga kelestarian laut, seperti mengatur cara penangkapan ikan,mencegah terjadinya penangkapan ikan secara ilegal, hingga mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat laot. Selain itu, mereka pun bertugas untuk membantu pemerintah di bidang perikanan dan kelautan. 

Salah satu isi hukum adat laot yang mereka tegakkan ialah menentukan hari pantang melaut bagi nelayan. Dengan adanya hari pantangan melaut ini, keberlangsungan ekosistem laut pun bisa lebih terjaga. Ikan-ikan menjadi memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkembang biak. Kemudian, terdapat pula larangan untuk menggunakan alat-alat seperti bom ikan dan alat setrum listrik untuk menangkap ikan.

Luar biasa sekali, ya para masyarakat yang masih terus semangat mempertahankan tradisi menjaga laut di daerahnya masing-masing. Kita pun tentunya tidak boleh kalah semangat dengan mereka dalam upaya melestarikan laut Indonesia, karena ini merupakan tanggung jawab kita semua. Contohnya adalah dengan tidak melakukan pencemaran ke laut, tidak merusak biota laut, hingga membekali diri dengan pengetahuan seputar isu laut di Indonesia. 

Kamu bisa melakukannya dengan rajin membaca-baca dari berbagai sumber atau berkunjung ke kanal YouTube EcoNusa TV untuk menyimak diskusi program Sail to Campus. Pada program ini, terdapat berbagai diskusi santai dan menarik seputar laut dengan narasumber terpercaya. Yuk, sama-sama mulai lebih peduli dengan lautan Indonesia.

Berita lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved