Hutan-hutan di wilayah Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, merupakan salah satu wilayah yang merupakan habitat burung cenderawasih. Spot pengamatan cenderawasih yang paling terkenal ada di kampung ekowisata Malagufuk. Suku Moi yang mendiami wilayah tersebut memiliki kearifan lokal tersendiri sebagai upaya perlindungan cenderawasih di Malaumkarta Raya. Sejatinya cenderawasih memang tak hanya hidup di Malagufuk saja, melainkan tersebar di hutan-hutan yang menaungi Malaumkarta Raya.
Ekowisata, Bagian dari Perlindungan Cenderawasih
Kampung Malagufuk merupakan destinasi pengamatan burung paling populer di kawasan Malaumkarta Raya yang menarik kunjungan wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara. Sejak 2016, kampung ini menyokong kehidupan masyarakatnya dari potensi ekowisata pengamatan burung atau birdwatching.
Charles Roring, Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi Papua Barat, turut aktif mempromosikan pariwisata Tanah Papua di media sosial. Ia juga menuliskan ulasan suatu daerah di sejumlah blog dan bahkan tulisan-tulisannya berhasil mendatangkan tamu untuk melakukan ekowisata di Malagufuk. Kini, ekowisata di Malagufuk dikelola oleh para penduduk kampung yang kemudian menjadi sumber mata pencaharian.
Hutan-hutan Malaumkarta Raya, Habitat Berbagai Spesies Cenderawasih
“Saya menulis ratusan artikel tentang perjalanan wisata di internet. Dari sana, banyak orang membacanya, kemudian tertarik berkunjung ke Papua Barat. Tamu pertama yang datang ke Malagufuk berasal dari Jerman,” kata Charles.
Di Malagufuk, wisatawan dapat melakukan pengamatan burung di Hutan Klasouwi. Di hutan ini, wisatawan bisa menemui beberapa jenis cenderawasih, seperti Cenderawasih Kuning Kecil (Lesser bird-of-paradise) dan Magnificent Riflebird (Ptiloris magnificus). Tak hanya Kampung Malagufuk, hutan-hutan di wilayah adat 14 marga yang ada di Malaumkarta Raya juga menjadi rumah bagi berbagai jenis cenderawasih.
Baca Juga: Ekowisata Kampung Malagufuk Menjaga dan Merawat Hutan
Johan Kalami, pemuda dari PGM (Pemuda Generasi Malaumkarta), menceritakan Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus) dan Cenderawasih Kuning Kecil (Lesser bird-of-paradise) bisa ditemui di kerimbunan hutan wilayah adat Kalami yang letaknya tak jauh dari rumahnya di Kampung Malaumkarta. “Sebenarnya masih banyak lagi jenis cenderawasih yang bisa ditemui di hutan-hutan di wilayah adat kami, tapi kami masyarakat tidak hafal namanya,” ujar Johan.
Bagi Johan Kalami, Cenderawasih Kuning Kecil dan Cenderawasih Belah Rotan yang paling istimewa. “Belah Rotan sulit ditemui. Kalaupun bisa menemuinya di dalam hutan, biasanya hanya sepasang, jantan dan betina, karena seringnya mereka kalau bermain hanya berdua. Berbeda dengan Cenderawasih Kuning Kecil yang biasa bermain di atas pohon beramai-ramai, jumlahnya banyak,” kata Johan. Ia kerap mendokumentasikan cenderawasih dan mengunggahnya melalui YouTube sebagai upaya mengenalkan kekayaan alam Malaumkarta Raya kepada publik. Menurutnya, Cenderawasih Belah Rotan khas karena ekor burung jantannya melengkung unik seperti ulir.
Berdasarkan birdsoftheworld, Cenderawasih Belah Rotan atau Magnificent Bird-of-paradise (Cicinnurus magnificus) masih berkerabat dengan Cenderawasih Botak atau Wilson’s Bird-of-paradise (Cicinnurus respublica) yang hanya bisa ditemukan di Pulau Waigeo dan Batanta, Raja Ampat. Keduanya sama-sama memiliki ekor melengkung yang dimiliki burung jantannya. Cenderawasih Botak berwarna merah, kuning dan biru di bagian kepala. Sementara itu, Cenderawasih Belah Rotan berwarna cokelat, kuning dengan warna hijau di bagian dada.
Baca juga: Malaumkarta Raya Butuh Generasi Penerus Adat
“Egek”, Konservasi Tradisional Perlindungan Cenderawasih
Menurut Johan, hutan-hutan di sekitar Malaumkarta Raya banyak yang habis ditebangi. “Ketika hutan ditebangi, burung-burung cenderawasih itu pergi meninggalkan hutan. Tapi ketika deforestasi berhenti, hutan tak lagi ditebangi dan kembali hijau, mereka kembali lagi (ke hutan). Cenderawasih itu sensitif sekali dengan suara yang mengganggu. Jadi ketika suara berisik hutan ditebangi, mereka terusik dan pergi,” tuturnya.
Sejak kecil, Johan maupun anak-anak di kampungnya selalu mendapat pesan dari orang tua dan generasi yang lebih tua di marganya bahwa keberadaan cenderawasih sangat penting bagi keberlanjutan generasi mereka sehingga perlu dilindungi. Dulu, sekitar tahun 1980-1990an, cenderawasih masih bisa ditemui dengan mudah di sekitar perkampungan penduduk. Namun, kini hanya bisa ditemui jika masuk ke dalam hutan.
Baca juga: Regulasi Mengangkat Pengetahuan Adat
Selain melakukan pemetaan wilayah adat oleh para pemuda Malaumkarta Raya, upaya perlindungan terhadap hutan juga dilakukan dengan egek, istilah lokal untuk upaya konservasi tradisional berupa larangan mengambil maupun merusak sumber daya alam di hutan dan laut. Bagi Suku Moi, cenderawasih memiliki arti khusus dan berkaitan dengan tradisi, sehingga orang dilarang menangkap atau memburu cenderawasih. Ini menjadi bagian dari konservasi tradisional egek itu sendiri.
“Jika melanggar, ada denda yang harus dibayarkan, yakni dengan kain timur atau kain kepala yang memiliki nilai adat sangat tinggi, lebih tinggi daripada nilai uang, dan merupakan benda adat yang sangat langka,” pungkas Johan. Pelestarian habitat cenderawasih, termasuk di hutan-hutan Malaumkarta Raya tak hanya menjadi tanggung jawab masyarakat adat, melainkan seluruh pemangku kepentingan. Tanpa hutan yang sehat, perubahan iklim bisa semakin tak terkendali. Mari dukung pelestarian hutan-hutan di Tanah Papua dan Kepulauan Maluku sebagai habitat cenderawasih dengan memberikan testimoni dukunganmu. Klik di SINI!
Author: V. Arnila Wulandani & Lutfy Mairizal Putra
Editor: Leo Wahyudi