EcoStory

Tata Kelola Perikanan dan Kelautan Jangan Mundur

Bagikan Tulisan
Deklarasi koalisi organisasi masyarakat sipil untuk perikanan dan kelautan berkelanjutan (Koral) beserta diskusi terkait tata kelola pengelolaan perikanan dan kelautan. (Yaysan EcoNusa/Moch. Fikri) 

Tata kelola perikanan dan kelautan di Indonesia dinilai berjalan mundur. Ini ditandai dengan menguatnya dukungan pemerintah untuk menggenjot investasi dan tak mengindahkan keberlanjutan pengelolaan sumber daya ikan dan kelautan. Selain itu, kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil belum menjadi prioritas untuk mengentaskan angka kemiskinan di Indonesia.

Hal itu diungkapkan dalam diskusi dan deklarasi koalisi organisasi masyarakat sipil untuk perikanan dan kelautan berkelanjutan (Koral) pada 3 Maret 2020 di Jakarta. Sejumlah lembaga, seperti Yayasan EcoNusa, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Destructive Fishing Watch-Indonesia, Indonesia Center for Enviromental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Pandu Laut Nusantara, dan Yayasan Terangi menghadiri acara tersebut.

Direktur Enforcement Support and Stakeholder Partnership IOJI, Fadila Octaviani, mengatakan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja mensyaratkan percepatan investasi tanpa memprioritaskan perlindungan ekosistem. Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2014 tentang Perikanan dihapuskan dalam RUU Cipta Kerja.

“Berdasarkan RUU Cipta Kerja kewenangan diterbitkan oleh pemerintah pusat. Penghapusan Komnas Kajiskan berakibat pada pengelolaan perikanan tidak lagi bersumber pada scientific evidence dan memperhatikan stok sumber daya ikan,” kata Fadila.

Manajer Program Kelautan Yayasan EcoNusa, Wiro Wirandi, menyebutkan tanpa memperhatikan kondisi stok ikan, investasi hanya akan berujung pada lebih parahnya tekanan kepada sumber daya ikan dan kesehatan ekosistem laut. Wiro menyoroti rencana pembukaan ekspor benih lobster yang sebelumnya dilarang melalui Peraturan Menteri Nomor 56 tahun 2016. Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomor 50 tahun 2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, tingkat pemanfaatan lobster harus dikurangi karena statusnya sudah overfishing di semua Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI).

“Seharusnya pemerintah menurunkan status merah (penangkapan berlebihan) menuju ke kuning. Kemudian setelah itu melakukan kebijakan agar menurunkan statusnya ke level hijau. Baru kemudian peningkatan investasi pada kawasan kelautan dan perikanan bisa dilakukan,” ujar Wiro.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KIARA, Susan Herawati, menuturkan gerak mundur pengelolaan perikanan dan kelautan terjadi melalui wacana penggunaan cantrang sebagai alat tangkap perikanan. Sebelumnya penggunaan cantrang dilarang melalui Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 71 tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

“Permen 71 seharusnya tidak perlu direvisi, tapi dikukuhkan, dijalankan mandatnya. Ini gerak mundur KKP dan negara ini pada khususnya,” kata Susan.

Dalam kesempatan itu Susan menyayangkan dimungkinkannya kapal asing masuk ke wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Bagian keempat RUU Cipta Kerja terkait penyederhanaan perizinan berusaha serta kemudahan dan prasyarat investasi, pasal 27 menyebutkan “Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat.”

“Walau masuk ke dalam zona ekonomi eksklusif, itu menciderai kedaulatan kita. Lalu anak buah kapal asing itu paling sedikit 70 persen harus berkewarganegaraan Indonesia, siapa yang bisa mengontrol? Ini soal kedaulatan bangsa,” kata Susan.

Koordinator Kampanye Nasional Walhi, Edo Rachman menegaskan, pemerintah seharusnya berfokus membangun sumber daya manusia masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam upaya menurunkan angka kemiskinan. Terdapat sekitar 140 juta penduduk di wilayah pesisir dengan pertumbuhan 2 persen per tahun yang perlu mendapat perhatian pemerintah.

“Sekitar 25,14 juta penduduk miskin di Indonesia sebagian besar ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah seharusnya fokus membangun SDM dan mengamankan wilayah tangkap mereka. Sebagian besar wilayah Indonesia adalah perairan dan saya kira tidak menutup kemungkinan kelautan dan perikanan ini akan menjadi sektor yang akan dieksploitasi habis,” tegas Edo.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved