EcoStory

Tak Ada Konsumen Sempurna, Lakukan yang Kita Bisa

Bagikan Tulisan
Tak Ada Konsumen Sempurna, Lakukan yang Kita Bisa. Hindia Baskara dalam Konser Merdeka #BeradatJagaHutan. Dok. EcoNusa/Achmad Hafiyyan Faza

Kondisi bumi perlahan semakin memburuk. Hanya menunggu waktu hingga keberadaan manusia dinyatakan punah. Akumulasi bencana alam yang terjadi pun meningkat tiap tahunnya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 3.768 bencana alam pada 2019, yang meningkat 371 bencana dibanding 2018. 

Alam yang semakin terdegradasi membuat para peneliti memperkirakan berapa lama manusia dapat bertahan sebelum “kiamat” tiba. Breakthrough National Center for Climate Restoration membuat skenario dan menyimpulkan bahwa populasi manusia hanya mampu bertahan hingga 2050. Emisi karbon akan terus terjadi dan membuat kenaikan suhu bumi mencapai 3 derajat Celcius. Kekeringan jangka panjang, kesulitan produksi bahan pangan, cuaca ekstrem, hingga panas mematikan adalah kondisi yang tak terelakkan.

Breakthrough National Center for Climate Restoration bukanlah satu-satunya lembaga yang mengabarkan prediksi mengerikan tentang nasib manusia. Fisikawan Stephen Hawking telah berkali-kali menyebut ramalan kehancuran bumi di berbagai forum. Menurutnya, nasib baik manusia untuk tetap bertahan di bumi hanya tersisa 100 tahun ke depan.

Bila kita memutuskan untuk memercayai “skenario 2050”, tersisa tiga dekade untuk mengerahkan segala upaya agar skenario tersebut pada akhirnya hanya tersimpan dalam tumpukan hasil penelitian dan mesin pencari di dunia maya. Jika memutuskan untuk memercayai Hawking, masih ada cukup waktu untuk membuat ramalannya tidak terbukti. 

Musisi band Hindia, Daniel Baskara Putra, meyakini peribahasa tua yang menyatakan bahwa bumi adalah tempat tinggal yang kita pinjam dari generasi mendatang. Pola pikir seperti ini mensyaratkan tindakan manusia didasari atas keputusan jangka panjang. Singkatnya, manusia mesti mengembalikan bumi kepada generasi mendatang minimal serupa ketika manusia menempatinya.

“Bagaimana caranya nanti ketika mengembalikan bumi ke anak kita masih sama bentuknya. Mungkin ini terkesan normatif, tapi buat saya hal-hal seperti itu belum banyak digunakan,” kata vokalis Hindia itu kepada EcoNusa.

Pengenalan dan pemupukan rasa cinta terhadap lingkungan hidup sejatinya telah dilakukan sejak dini. Melalui sekolah alam, orang tua berupaya mengenalkan alam kepada anak mereka. Kemudian, pengetahuan alam muncul kembali selama dua belas tahun dalam lembaga pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Sayangnya, pertumbuhan ekonomi seringkali mengesampingkan dampak yang ditimbulkan terhadap alam. Bahkan, saat semua orang berusaha berdiam diri di rumah untuk memutus rantai penyebaran COVID-19, kerusakan hutan masih tetap terjadi dari Sumatera hingga Papua. Penebangan pohon secara ilegal, penambangan ilegal dan perdagangan satwa ilegal terus saja  terjadi.

Sebagai makhluk ekonomi, Baskara menyadari bahwa tak ada konsumen yang sempurna. Meski telah menyadari bahaya plastik sekali pakai misalnya, terkadang plastik sekali pakai tetap tak bisa dihindari. Begitu juga dengan perlindungan hutan, pemakaian kertas untuk bermacam keperluan masih sulit untuk dihindari.

“Kita gak mungkin jadi konsumen yang sempurna. Banyak yang mempertanyakan kenapa kita harus pakai sedotan bambu. Jika sedotan plastik untuk satu orang tak berpengaruh secara makro, tapi bagaimana jika semua orang melakukan hal yang sama? Itu hal kecil yang buat saya cukup penting,” ucap Baskara.

Menurut Baskara, kumpulan langkah kecil dari berbagai elemen masyarakat sangat diperlukan untuk menunda kerusakan bumi lebih jauh. Waktu yang diperlukan untuk merestorasi bumi jauh lebih lama dibanding waktu yang diperlukan untuk menghancurkannya. Baskara mengibaratkan kerusakan alam bagai kejatuhan berturut kartu domino.

“Lakukanlah apa yang bisa dilakukan. Kalau melihat cause yang baik, kalau ada rezeki lebih bisa ikut mendukung. Pada akhirnya, bagaimana caranya hal kecil yang kita lakukan memberikan tekanan pelan-pelan terhadap masyarakat yang lebih luas dan pemangku kebijakan,” kata Baskara.

Editor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved