EcoStory

Suara Lantang Generasi Muda di Hari Bumi

Bagikan Tulisan
Tangkapan layar diskusi daring bertajuk “Aksi Iklim Anak Muda Indonesia: Inspirasi dari Jakarta, Gresik, dan Jayapura”.

Pemanasan global telah berlangsung lama dan menimbulkan dampak nyata bagi makhluk bumi. Sayangnya hanya segelintir orang yang menyadari bahwa pemanasan global harus segera dihentikan. Para pemimpin dunia pun tak satu suara. Sebagai kelompok yang paling rentan oleh imbas efek pemanasan global, generasi muda bersuara lantang, bahkan menginspirasi lingkungan sekitar untuk ikut terlibat dalam mengatasi pemanasan global.

Aksi mereka menjadi topik perbincangan dalam diskusi daring bertajuk “Aksi Iklim Anak Muda Indonesia: Inspirasi dari Jakarta, Gresik, dan Jayapura” yang diselenggarakan Yayasan EcoNusa pada Senin 20 April 2020. Diskusi daring ini menyambut tema Climate Action sebagai isu sentral peringatan 50 tahun Hari Bumi pada 22 April 2020.

Empat orang anak muda menjadikan sampah sebagai basis aktivisme mereka. Isu sampah dan plastik sekali pakai hangat beberapa tahun terakhir di Indonesia, mengingat buruknya tata kelola sampah dan predikat negara penyumbang sampah ke laut nomor dua di dunia.

Suara lantang dikumandangkan oleh anggota River Warrior Indonesia (Rewind), Aeshnina Azzahra. Nina, sapaan Aeshnina, menolak impor sampah yang dikirim negara maju ke Indonesia. Siswi SMP Negeri 12 Gresik ini lantang menyuarakan protes kepada petinggi negara.

Surat protes tersebut ditujukan kepada Presiden Amerika Serikat Donald Trump melalui Konsulat AS di Surabaya. Surat yang sama juga ditujukan kepada Kanselir Jerman Angela Markel melalui Duta Besar Jerman Peter Schoof di Jakarta, dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison, serta menemui Duta Besar Autralia Gary Quinland di Jakarta.

“Mengapa anak muda harus bersuara? Karena kita adalah kelompok paling rentan. Di masa depan, anak-anak  yang akan merasakan dampaknya,” kata Nina. Menurut Nina, plastik yang terbuat dari minyak bumi ikut berkontribusi terhadap pemanasan global. Plastik juga mengandung bahan berbahaya bagi manusia dan makhluk lain.

Thara Bening Sandrina, pendiri Rewind sekaligus kakak kandung Nina, resah melihat sampah di Sungai Brantas, Jawa Timur. Menurut Thara, Pemerintah Kabupaten Gresik tak menyediakan tempat sampah dan transportasi pengangkut sampah yang memadai bagi warga. Tahun 2015, Sungai Brantas masuk dalam daftar dua puluh besar sungai yang menyumbang sampah plastik ke laut. Sungai Brantas menempati posisi ke-7 dengan 38,9 ton sampah plastik.

Sebagian besar sampah di sungai itu adalah bekas popok bayi. Hal ini tak lepas dari mitos masyarakat bahwa bayi akan merasa nyaman saat popoknya dibuang ke sungai. “Saat kami river clean up di Sungai Brantas, 47 persen adalah sampah popok,” kata Thara yang ikut membidani pembentukan Rewind bersama tiga temannya di klub sains SMA 1 Driyorejo.

Februari lalu, bersama Rewind, Thara menyurati Bupati Gresik Sambari Halim Radianto agar membuat peraturan larangan penggunaan plastik sekali pakai di Gresik, Jawa Timur. Dia ingin Gresik mengikuti sejumlah kota yang telah menerapkan kebijakan serupa.

Suara Lantang lainnya terdengar dari Indonesia Timur. Kevin Senge, alumni School of Eco Diplomacy (SED) yang diselenggarakan oleh Yayasan EcoNusa pada 2019, menyadari bahaya sampah plastik bagi lingkungan. Menurut Kevin, sampah plastik membuat mangrove sulit tumbuh. Hal ini membuat biota di sekitar ekosistem mangrove ikut tercemar.

Bersama alumni SED dan enam organisasi pemuda lainnya, Kevin menjalankan aksi #SatuPuntungSejutaMasalah. Terkumpul 7.256 puntung rokok dari tiga taman di Jayapura, Papua. Pasalnya, puntung rokok merupakan salah satu sampah terbanyak yang mencemari laut. Dengan kesadaran ini, tiap Sabtu sore, Kevin bersama temannya melakukan “grebek sampah” di tempat wisata di Jayapura. Aksi ini mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Jayapura dengan memberikan bantuan alat kebersihan.

Kevin juga menginisiasi gerakan antiplastik sekali pakai. “Aksi kami salah satunya dengan menggunakan tumbler. Kami mendekati pemerintah kota di Jayapura. Mereka tidak lagi menggunakan plastik sekali pakai di setiap acara,” ujar Kevin.

Sementara itu, pendiri Teens Go Green Indonesia, Bambang Sutrisno, menyatakan pentingnya edukasi publik dalam tata kelola sampah. Tanpa kerja sama semua pihak, Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Bekasi, diperkirakan penuh pada 2021. Bambang juga menyoroti sampah yang menyumbang 8,5 persen emisi gas rumah kaca nasional.

“Kami sadar proses edukasi untuk menumbuhkan kepedulian generasi muda itu prosesnya panjang banget. Semoga banyak pihak yang mendukung dan bersinergi dengan kegiatan seperti ini. Kami berharap pemerintah pusat dan daerah bisa bersinergi. Ini akan berpengaruh pada pengurangan emisi gas rumah kaca,” kata Bambang.

Program Manager Public and Youth Mobilization EcoNusa, Rina Kusuma, menuturkan bahwa generasi muda memiliki peran yang sangat penting dalam diplomasi lingkungan. Diplomasi, menurut Rina, tak hanya dilakukan oleh seorang diplomat, melainkan dapat dilakukan oleh siapa saja. “Kami memanggil anak muda untuk aktif melakukan diplomasi lingkungan dengan cara populer,” kata Rina mengapresiasi inisiatif para anak muda Indonesia ini.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved