EcoStory

Selamatkan Hutan dan Masyarakat Adat, Puluhan Musisi Dunia Ikut Galang Dana

Bagikan Tulisan

Puluhan musisi dari berbagai negara membawakan karya mereka dalam rangka penggalangan dana untuk menjaga keberlangsungan hutan hujan dunia. Konser musik bertajuk SOS Rainforest Live diselenggarakan oleh Rainforest Foundation dan didukung oleh Yayasan EcoNusa. SOS Rainforest Live disiarkan secara langsung melalui media sosial YouTube dan TikTok Rainforest Foundation Norway pada 21 Juni 2020 waktu Norway dan London, atau 22 Juni 2020 waktu Indonesia.

“Hutan hujan sangat penting dalam kehidupan dan masa depan kita. Hutan hujan juga berperan penting dalam perubahan iklim. Selama masa pandemi, penebangan kayu tidak berhenti. Orang membabat hutan di manapun di seluruh dunia, termasuk di Indonesia,” kata CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar.

Selain menjaga keberlangsungan hutan hujan dunia, dana yang terkumpul akan dimanfaatkan untuk mendukung perjuangan masyarakat adat agar terbebas dari pandemi COVID-19. Pasalnya, masyarakat adat termasuk kelompok yang paling rentan mengingat pola hidup komunal dan sulitnya mendapat akses kesehatan karena letak geografis.

Mewakili Indonesia, Slank, Iwan Fals, dan Sandrayati Fay tampil dalam konser virtual yang berlangsung selama lebih dari delapan jam. Slank tampil lebih dulu dengan membawakan lagu berjudul Hutan Karma yang bercerita tentang kerusakan hutan.

Bakarlah/hutan-hutan sampai hangus menghitam/ tebanglah/ pohon-pohon sampai botak dan gersang//”

Vokalis Slank, Kaka, mengatakan bahwa hutan Indonesia menjadi salah satu benteng terakhir hutan hujan dunia. Sayangnya, perusakan hutan hujan terus terjadi meski dunia tengah dilanda kepanikan akibat penyebaran COVID-19.

“Di saat pandemi, sekarang kita berharap hutan bisa istirahat. Tapi pada kenyataannya, hutan-hutan dunia terus menyusut. Penebangan hutan tiada henti. Hutan Indonesia adalah salah satu benteng terakhir. Masyarakat adat berdiri paling depan untuk menjaga benteng tersebut,” ujar Kaka.

Meski angka deforestasi Indonesia terus menurun, Ridho Hafiedz, gitaris Slank, menuturkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan dengan luas yang mengkhawatirkan. Menurut Ridho, selama kurun waktu  2018 hingga 2019, Indonesia telah kehilangan hutan seluas 924.800 kali lapangan sepak bola.

“Kita harus tetap berusaha menjaga hutan kita yang masih tersisa. Ini adalah masa depan anak cucu kita. Hutan-hutan di Indonesia Timur, terutama Papua adalah salah satu yang paling penting kita jaga saat ini. Karena hutan-hutan ini adalah sumber kehidupan masyarakat adat Papua,” kata Ridho.

Sementara itu, Iwan Fals mendendangkan dua lagu bertema hutan dan masyarakat adat. Lagu berjudul Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi bercerita tentang kerusakan hutan akibat korporasi. Erosi, tanah kering, dan banjir bandang datang menghampiri penghuni rimba yang telah kehilangan rumah mereka. Sedangkan lagu Balada Orang-Orang Pedalaman menggambarkan tragedi masyarakat adat yang tertipu oleh manusia kota.

Iwan Fals mengingatkan bahwa manusia tak bisa hidup sendiri. Untuk itu, ia mengajak penonton SOS Rainforest Live untuk ikut membantu perjuangan masyarakat adat agar terlindungi dari penyebaran COVID-19.“ Kita harus saling berusaha untuk saling membantu satu sama lain. Pandemi ini bukan hanya di perkotaan. Saudara-saudara kita di pedalaman juga mengalami hal yang sama. Di sana mungkin lebih sulit karena jauh dari akses kesehatan,” kata Iwan Fals.

Kemudian, Sandrayati Fay, penyanyi asal Bali, membawakan dua lagu, salah satunya berjudul Suara Dunia. Lagu tersebut terinspirasi dari perjuangan masyarakat adat Mollo di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam mempertahankan tanah mereka dari penambang marmer selama tiga belas tahun. Menurut Fay, relasi masyarakat adat dengan bumi menjadi contoh paling kuat yang pernah ditemuinya.

“Hubungan masyarakat adat dengan ibu bumi merupakan hubungan yang paling intim dan kuat. Ini contoh yang penting untuk manusia dan sangat mendesak bahwa hubungan ini dengan rumah mereka di hutan hujan tropis harus dilindungi sekarang,” ujar Sandrayati Fay.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved