Sampah sekali pakai yang mengotori daratan, pesisir, maupun laut di Kepulauan Maluku menyita perhatian kaum muda yang mengikuti pelatihan School of Eco Diplomacy Kewang Muda Maluku. Pelatihan tersebut diselenggarakan Yayasan EcoNusa bersama Moluccas Coastal Care (MCC) pada 11-15 Maret 2021 di Pulau Gunung Api, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
19 peserta yang SED Kewang Muda Maluku berasal dari berbagai tempat di Kepulauan Maluku, seperti Pulau Aru, Kota Tual, Pulau Banda, Pulau Haruku, Kota Ambon, dan Seram Bagian Barat. Mereka menilai bahwa sampah sekali pakai berdampak besar terhadap ekosistem dan mengancam kesehatan masyarakat yang hidup di wilayah kepulauan.
Faradila Dani, peserta asal Pulau Rhun, mengatakan sampah sekali pakai, terutama popok bayi, dapat merusak ekosistem laut di sekitar Pulau Rhun. Menurut Faradila, terdapat 135 bayi yang kini tinggal di Pulau Rhun. Jika sehari satu bayi menggunakan tiga popok berbeda, maka dalam sehari terkumpul 405 limbah popok yang dibuang ke laut.
“405 limbah popok sekali pakai per hari. Satu bulan sekitar 12.150 limbah popok. Dalam setahun ada 145.800 limbah popok. Semua limbah itu dibuang ke laut. Mereka masukkan ke karung dan ditenggelamkan ke laut pakai batu. Ini akan jadi masalah berkepanjangan,” kata Faradila saat mempresentasikan rencana aksi.
Menurut Faradila, limbah popok akan memberikan dampak pada kualitas ikan di perairan Pulau Rhun. Terlebih Pulau Rhun merupakan pemasok ikan asin cakalang terbaik di Provinsi Maluku. Selain itu, limbah popok juga berpotensi merusak terumbu karang.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Faradila berencana membuat kelompok kecil bersama ibu-ibu dan kaum muda Pulau Rhun untuk mengolah limbah popok sekali pakai hingga menghasilkan nilai ekonomi. Dalam jangka panjang, Faradila ingin mengubah penggunaan popok sekali pakai menjadi popok kain.
“Jeli popok dapat diolah menjadi pupuk, sedangkan plastik di popoknya dipotong kecil dan dijadikan bantal. Saya sudah melakukan ini menggunakan popok anak saya dulu. Saat ini saya tidak lagi menggunakan popok sekali pakai,” ujar Faradila.
Pengelolaan sampah yang tak memadai juga terjadi di Pulau Aru. Menurut Steven Golorem, pencemaran sampah menumpuk hingga di bawah pemukiman rumah panggung milik masyarakat. Bersama Steven, Advento Delehoya Rahangmetan berencana melakukan sosialisasi tentang bahaya sampah yang tak terkelola. Sosialisasi dan aksi bersih sampah dilakukan bersama masyarakat dan pemerintah setempat.
“Kami juga akan bekerja sama dengan beberapa komunitas yang sudah bergerak di isu lingkungan. Namun yang tak kalah penting bagaimana membuat masyarakat tidak jenuh. Pengelolaan sampah ini harus memberikan nilai ekonomi bagi masyarakat sehingga dapat membantu biaya hidup mereka,” ucap Advento.
Menanggapi rencana aksi peserta SED Kewang Muda Maluku, Kepala Kewang Adat Haruku, Eliza Marten Kissya, mengingatkan bahwa rencana aksi melestarikan lingkungan harus dimulai dari diri sendiri. Selain itu, menurut Eliza, kolaborasi antar pemangku kepentingan merupakan salah satu unsur keberhasilan pengelolaan sumber daya alam.
“Kalau mau jadi tokoh, jadi panutan, itu harus dimulai dari diri sendiri. Jangan sampai pekarangan kita jelek lalu bicara ke orang. Hidup baik dengan siapa saja. Lawan pun jadi kawan. Menjaga lingkungan Maluku harus dimulai dari pemuda. Kalau kita (pemuda) memulai sesuatu, itu akan menjadi contoh,” ujar Eliza.
Editor: Leo Wahyudi