Bagi masyarakat di Tanah Papua, sagu memiliki nilai penting dan lebih dari sekedar sumber makanan. Sagu ibarat ibu yang mencukupi kebutuhan dan menghidupi. Setidaknya, hutan sagu mengandung empat manfaat utama bagi kehidupan masyarakat Papua, yakni sebagai sumber sandang, papan, pangan, dan ekosistem.
Nilai filosofis sagu pun melekat kuat dalam segala sendi kehidupan dan budaya masyarakat Papua. Seluruh bagian dari pohon sagu bisa dimanfaatkan untuk menopang kehidupan. Mulai dari batang pohon sagu yang bisa menghasilkan tepung sagu, daunnya dipakai untuk atap dan dinding rumah, hingga hamanya, yaitu ulat sagu yang juga dapat dikonsumsi.
Hans Tokoro, Kepala Adat di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, yang berlokasi di sekitar Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, mengatakan, hutan sagu adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat di Kampung Yoboi. Sagu merupakan tanaman yang ternilai, baik dari segi ekonomi maupun dari segi tradisi. “Dari hutan sagu ini, kami bisa peroleh hasil yang baik. Sagu bisa dijual. Atau bisa diantar ke mana saja (untuk ditukar secara adat). Kalau dijual bisa dapat uang. Kalau diantar kepada saudara perempuan atau saudara laki-laki, secara adat kita bisa peroleh manik-manik atau tomako batu,” kata Hans.
Dalam tradisi masyarakat di sekitar Sentani, tomako batu merupakan alat tradisional semacam kapak batu yang dipakai untuk melakukan tokok sagu. Tomako batu berfungsi sebagai alat bayar atau mas kawin, seperti manik-manik.
Hans mengatakan, saat ini masyarakat di Kampung Yoboi hampir seluruhnya mendapat manfaat dari penjualan sagu. Hasilnya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah anak. Selain dijual, seluruh bagian dari pohon sagu juga bisa dimanfaatkan untuk bermacam-macam keperluan. “Dari pohon sagu, kami bisa buat untuk rumah, untuk lantai. Daun sagu bisa untuk atap dan dinding. Begitu bermanfaatnya sagu dalam kehidupan masyarakat kami,” lanjutnya.
Melanjutkan Hans Tokoro, juru masak yang dikenal piawai mengolah citarasa asli Papua, Charles Toto, mengatakan, pohon sagu juga mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Papua pada umumnya sebagai sumber karbohidrat dan protein. Karbohidrat diperoleh dari tepung sagu yang berasal dari batang pohon. Sedangkan proteinnya diperoleh dari ulat sagu yang merupakan hama dari tanaman sagu itu sendiri. Meski terdengar ekstrim, namun ulat sagu memiliki rasa yang gurih dan dapat diolah dengan berbagai cara, baik ditumis maupun dibakar.
Di Kampung Yoboi kehidupan masyarakat bergantung pada dua hal utama, hutan sagu dan Danau Sentani. Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Jan Jap L. Ormuseray, mengatakan hutan sagu di Kampung Yoboi yang ada di sekitar Danau Sentani itu berkontribusi besar untuk menjaga kestabilan pasokan air bagi Danau Sentani. “Tanaman sagu bisa berfungsi sebagai sumber air, terutama di sekitar Danau Sentani. Danau butuh air, dan sagu menyimpan air sehingga menjaga kestabilan air danau,” ujarnya.
Besarnya kontribusi sagu bagi kehidupan masyarakat itu juga yang kemudian membuat pengembangan sagu gencar dilakukan oleh pemerintah daerah sejak 2007. Pengembangan yang dimaksud meliputi penataan dusun-dusun sagu, penjarakan antarpohon sagu, penanaman kembali pohon sagu untuk keutuhan populasinya, dan pembuatan blok-blok sagu. Pengklasifikasian ini meliputi blok produksi yang merupakan blok sagu yang bisa diambil manfaatnya oleh masyarakat; blok koleksi untuk mengembangkan jenis-jenis sagu unggulan; dan hutan sagu. Hal tersebut disampaikan oleh Karel M. Yarangga, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua.
“Sagu meningkatkan ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat. Jika dikombinasikan dengan pariwisata dan ditata dengan baik, hutan sagu juga bisa bernilai lebih dan menjadi obyek wisata,” ujar Karel.
Potensi luar biasa Kampung Yoboi yang didukung oleh keberadaan hutan sagu dan Danau Sentani ini menggelitik Billy Tokoro, pemuda dari Kampung Yoboi. Billy juga Ketua Pokdarwis aau (Kelompok Sadar Wisata) Yoboi yang menginisiasi Festival Ulat Sagu untuk pertama kalinya di Kampung Yoboi, Distrik Sentani, pada November 2020 lalu.
Ia meminta izin kepada kepala adat untuk menyelenggarakan festival tersebut. Ia mengampanyekan pelestarian sagu dan pentingnya sagu bagi masyarakat adat. Festival ini juga diadakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat, terutama di masa pandemi yang membuat pendapatan hampir semua masyarakat Yoboi menurun.
“Kitong punya sumber daya alam, sagu, danau, dan sudah diizinkan kepala adat untuk menyelenggarakan Festival Ulat Sagu ini,” ujar Billy.
Ulat sagu yang merupakan hama dari pohon sagu pun menjadi ikon dalam festival yang diadakan selama tiga hari, 26 – 28 November 2020 lalu. Dalam festival yang didukung oleh Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua dan pemerintah kampung Yoboi tersebut, masyarakat menjual kuliner lokal berbahan dasar sagu seperti es krim dan bakso sagu, hingga makanan berbahan dasar ulat sagu, seperti pizza ulat sagu. Selain itu juga dijual aneka kerajinan tangan dari daun sagu.
Lebih dari 3.000 pengunjung memeriahkan festival yang juga didukung oleh Yayasan EcoNusa ini. Mayoritas pengunjung datang dari Kota dan Kabupaten Jayapura, Kabupaten Keerom, dan beberapa pengunjung dari luar Papua. Meski meriah, seluruh rangkaian acara tetap dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan yang ketat.
“Harapannya, festival ini bisa memotivasi orang lain terutama anak muda (untuk melestarikan sagu dan danau). Dengan sagu kita bisa hidup. Di Kampung Yoboi ini juga masyarakat hidup bergantung pada sagu,” ungkap Billy.
Sementara itu, Jan Jap juga menambahkan bahwa pemerintah daerah memberi dukungan penuh pada kreativitas anak muda di Yoboi untuk melestarikan hutan sagu melalui festival ini.
“Dilaksanakannya festival ini juga sejalan dengan pengelolaan wisata berbasis ekonomi lokal dalam rangka meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat adat. Tujuan utamanya melakukan pengelolaan jasa lingkungan dan mengoptimalkan potensi wisata sehingga bisa meningkatkan ekonomi masyarakat,” ungkapnya. ***
Narasumber:
Jan Jap L Ormuseray SH, MSI – Kepala Dinas Kehutanan dan LH Provinsi Papua;
Karel M Yarangga SP, M.Si, – Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian dan Pangan Provinsi Papua
Interview: Tim Jayapura
Editor: Leo Wahyudi