EcoStory

Saat Laut Malaumkarta Kembali Dibuka

Bagikan Tulisan
Masyarakat menyiapkan persembahan untuk acara benfi saat pembukaan egek. (Yayasan EcoNusa/ Megan Alexis)

Laut tenang di pagi itu. Di bawah langit abu-abu dan angin yang lembut, masyarakat adat Malaumkarta Raya berkumpul di tepi pantai. Mama, bapak, dan anak muda berdiri berdampingan dengan tetua kampung. Semua bersiap menyambut satu momen penting yang hanya terjadi setelah waktu yang lama: pembukaan egek.

Senin, 23 Juni 2025, egek kembali dibuka. Dua tahun sudah masyarakat menjaga laut di wilayah Malaumkarta Raya. Dalam jeda panjang itu, terumbu karang tumbuh subur, ikan dan udang tumbuh besar. Kini, dengan hati-hati, masyarakat membuka pintu lautnya kembali, bukan untuk mengambil sebanyak-banyaknya, namun menangkap secukupnya. 

“Terakhir dibuka tahun 2023, dan hanya tiga minggu. Sekarang, rencananya paling lama satu bulan,” kata Jefri Mobalen, Kepala Kampung Malaumkarta. 

Baca Juga: Festival Egek, Menjaga Alam dan Warisan Leluhur Suku Moi

Egek bukan sekadar aturan adat. Ini adalah bagian dari kosmologi masyarakat Moi. Dalam bahasa setempat, egek berarti larangan atau penutupan atas suatu wilayah untuk diambil hasil alamnya. Tujuannya untuk memberi waktu bagi ekosistem untuk memulihkan diri. Siapa pun yang melanggar akan dikenakan denda adat. 

Pagi ini, pembukaan egek diawali dengan benfi, yakni doa-doa adat yang dipanjatkan agar laut memberi hasil, dan warga diberi perlindungan. Dalam pembukaan kali ini, benfi dipimpin oleh para tetua kampung dan, disaksikan oleh perwakilan pemerintah kabupaten dan provinsi, organisasi lingkungan, serta masyarakat adat. 

Ketua Dewan Adat Moi, Paulus Sapisa, menyebut bahwa egek adalah bentuk kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan gereja. Bagi mereka, laut bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga penyatu masyarakat. “Kami tetap berkomitmen untuk melindungi hutan, melindungi laut. Supaya potensi yang ada menjadi manfaat untuk masyarakat, dan lebih dari itu, untuk membangun hal yang bersifat umum, seperti gereja,” kata Paulus.

Baca Juga: Catatan Perjalanan: Egek, Budaya Konservasi Tradisional Suku Moi 

Sebelumnya, hasil dari pembukaan egek digunakan untuk membangun gereja lama di kampung. Kini, masyarakat berencana mengumpulkan dana dari hasil laut untuk membangun gereja baru.

Luther Salamala, Asisten III Setda Kabupaten Sorong, menyebut egek sebagai contoh perlindungan berbasis kearifan lokal. “Kalau istilah sekarang, ini semacam revitalisasi. Kalau sudah diambil, dihentikan dulu. Tunggu normal, baru boleh diambil lagi,” katanya.

Laut Malaumkarta juga disebut berpotensi menjadi destinasi alternatif wisata bahari selain Raja Ampat. Jaraknya yang hanya sekitar satu jam dari Kota Sorong, serta keunikan tradisi seperti egek, menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi, dalam praktik egek, ada zona laut yang benar-benar steril dari aktivitas penangkapan, yang membuat ekosistem tumbuh subur secara alami.

Baca Juga: Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

“Kalau di Raja Ampat, ada zona larang ambil ikan. Nah, di sana ikannya malah makin banyak dan jadi tontonan wisatawan. Sekarang, tantangannya: apakah Malaumkarta bisa seperti itu?” ucap Salamala.

Dalam sambutan yang dibacakan staf ahli gubernur George Yarangga, Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu menekankan pentingnya pengelolaan laut secara berkelanjutan. “Laut bukan hanya sumber pangan, tetapi juga sumber penghidupan, budaya, dan identitas masyarakat. Melalui momentum egek ini, mari kita manfaatkan laut dengan bijak, tingkatkan nilai tambah produk perikanan, dorong hilirisasi industri kelautan, dan bangun kerjasama antara masyarakat dan pemerintah,” katanya.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved