Yayasan EcoNusa Indonesia mengecam keras tindakan PT Bintuni Agro Prima Perkasa (PT BAPP) yang beroperasi tidak sesuai izin awal sehingga masyarakat adat di Kebar, Tambrauw, Papua Barat merasa dibohongi. Untuk itu, Yayasan EcoNusa Indonesia mendukung penuh upaya Warga Kebar untuk meminta pencabutan izin PT BAPP ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Kami menolak upaya mengelabui masyarakat adat di Kebar. Konversi Hutan menjadi perkebunan sawit tidak bisa lagi ditolerir, apalagi sudah ada Inpres 8/2018 tentang sawit. Oleh karena itu Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus mencabut izin PT BAPP dan mengusut upaya pembohongan yang dilakukan oleh PT BAPP kepada Masyarakat Adat Kebar. Spirit untuk menjadikan Papua Barat sebagai Provinsi Konservasi tidak boleh tercoreng oleh upaya ini, dan Perusahaan harus patuhi semua ketentuan adat di Tanah Papua,” terang Direktur EcoNusa Indonesia Melda Wita Sitompul.
Samuel Ariks, Tokoh Masyarakat Kebar menyatakan PT BAPP pada awalnya meminta izin pakai tanah adat untuk tanam jagung. Itupun untuk kawasan dengan alang-alang saja.
Ariks menyatakan mereka diberikan Rp100 juta untuk tali asih. Akan tetapi uang tersebut telah dikembalikan ketika mereka tahu jika PT BAPP justru beroperasi di hutan. Terlebih mereka mendengar bahwa tanaman sawit lah yang hendak ditanam PT BAPP.
“Kami merasa dibohongi! Kami merasa nasib dan masa depan kami terancam. Waktu kami protes ke perusahaan, mereka cuma perlihatkan dokumen yang ada tandatangan kami. Kami tak tahu tandatangan itu dari mana. Jadi kami langsung kembalikan uang tali asih 100 juta dari mereka itu. Mereka tidak bisa beli tanah adat kami,” terang Ariks.
Untuk memperjuangkan suaranya, Jan Sedik menggelar petisi di Change.org untuk meminta dukungan dari masyarakat. Petisi itu secara khusus diberikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Hingga kini petisinya telah mencapai 56.187 orang yang menandatangani petisi.
Sebelumnya, masyarakat adat Kebar menyampaikan aspirasinya ke Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode GKI. Selain itu DPRD setempat pun membentuk Panitia Khusus.
“Hutan habis dibabat, sagu jatuh habis, kami minta (Kementerian) Kehutanan yang katanya melindungi hutan untuk mencabut izin itu,” ucap Ariks.
Yansedi, salah seorang masyarakat dari Kebar menyatakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) seharusnya tidak dapat dikeluarkan ketika masyarakat menolak pengoperasian perusahaan.
“Jadi kami berharap izin ini untuk ditinjau kembali atau cabut. Kami di sana sudah memiliki ekowisata dan ekonomi hijau, tidak butuh sawit,” tukas dia.
Selain PT BAPP, dalam penyerahan petisi ke Kementerian LHK disebutkan pula beberapa perusahaan yang melakukan penanaman sawit yang ditolak masyrakat setempat, yaitu PT Subur Karunia Raya di Bintuni, dan PT Korindo di Boven Digoel.
“Papua Barat sebagai wilayah konservasi, kami minta agar lahan Area penggunaan Lain (APL) dinaikan menjadi hutan lindung dan lainnya,” ucap Yohanes Akwan dari Bintuni.