Bagi para pegiat lingkungan, bulan Juni sarat dengan hari peringatan. Peringatan terkait isu lingkungan ini adalah 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 8 Juni sebagai Hari Laut Sedunia, 9 Juni sebagai Hari Segitiga Terumbu Karang. Peringatan-peringatan tersebut hakikatnya adalah untuk mengingatkan, bukan sekedar selebrasi.
Tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diangkat kali ini adalah Only One Earth, Hanya Satu Bumi. Peringatan ini mengingatkan kita untuk hidup berkelanjutan yang selaras dengan alam. Mudah diucapkan, tapi faktanya jauh panggang dari api. Bumi dan sumber daya alamnya sudah kewalahan menanggung hidup populasi manusia yang terus beranak-pinak hingga lebih dari 7 milyar jumlahnya. Daya dukung alam makin terasa terbatas. Keseimbangan alam terganggu. Akibatnya iklim bumi dan keseimbangannya pun ikut terganggu. Semua penduduk bumi sudah dan sedang merasakan dampak ketidakseimbangan alam ini.
Baca juga: Merenungi Hujan di Bulan Juni
Selanjutnya, untuk isu kelautan, kita juga diingatkan kembali saat memperingati Hari Laut Sedunia yang tahun ini mengangkat tema Revitalisasi: Aksi Kolektif untuk Laut yang digemakan dari pusat Badan Dunia di New York. Hal ini mengingatkan kembali bahwa kita adalah bangsa maritim karena luasnya wilayah lautan yang kita miliki. Panjang garis pantai Indonesia terpanjang kedua setelah Kanada. Indonesia juga penghasil ikan terbesar kedua dunia setelah China. Indonesia juga memiliki wilayah terumbu karang terluas di Asia Tenggara.
Peringatan ini tak sekedar mengingatkan pada kejayaan dan kekayaan bahari yang kita miliki. Toh faktanya, laut kita sedang mengalami banyak tekanan dan ancaman. Asalnya antara lain dari penangkapan ikan ilegal, penangkapan ikan berlebih, yang menguras sumber daya perikanan tanpa ada keberlanjutan. Belum lagi ancaman sampah plastik, kerusakan ekosistem laut, yang makin serius. Ditambah lagi dengan kebijakan-kebijakan yang justru menambah tekanan terhadap sumber daya laut.
Tekanan terhadap sumber daya lingkungan, termasuk hutan dan laut, sangat berdampak langsung bagi kelangsungan masyarakat kecil, terutama masyarakat adat dan nelayan kecil. Konon katanya 97 persen armada penangkapan ikan adalah nelayan skala kecil.
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil Rancang Peraturan Negeri Demi Lindungi Wilayah Pesisir
Sudah saatnya kita semua mencari solusi terbaik untuk menjaga alam yang sudah rusak ini agar tidak semakin rusak. Pendekatan dengan hukum positif, kebijakan yang birokratis saja tidak cukup. Mau tak mau, pelibatan masyarakat adat, masyarakat nelayan, yang selama ini menjaga alam mereka harus diakui. Praktik-praktik konservasi adat mereka harus diterima secara tulus. Minimal mengizinkan mereka untuk melakukan konservasi hutan dan laut secara adat.
Sebuah penelitian di Papua Barat menemukan bahwa konservasi laut yang pengelolaannya melibatkan masyarakat adat ternyata lebih efektif dibandingkan dengan model pengelolaan yang hanya didasarkan pada penegakan hukum yang dikendalikan negara saja. Wilayah yang dikelola masyarakat adat ternyata memiliki biomassa berkelanjutan yang lebih besar.
Sayangnya, fakta menunjukkan bahwa masyarakat adat justru kini makin terpinggirkan. Menurut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) 2022, wilayah adat yang sudah terpetakan mencapai 11 juta hektare. Tapi menurut laporan itu, sebagian wilayah adat mereka belum semua diakui oleh negara. Akibatnya akses masyarakat adat terhadap wilayahnya sangat terbatas. Luas hutan adat sulit bertambah jika dibandingkan dengan lahan yang dibuka untuk perkebunan. Padahal, wilayahnya sangat bermakna bagi kehidupan dan budaya masyarakat adat.
Meski sudah ada peringatan berpuluh kali dalam berpuluh tahun, peringatan terhadap lingkungan yang makin rusak ini masih belum menunjukkan arah perbaikan. Belum ada kesadaran kolektif dan aksi kolektif antara pembuat kebijakan, pemimpin negara, dan masyarakat untuk bergerak bersama. Upaya penyelamatan bumi masih sekedar slogan, bukan aksi nyata.
Semoga pernyataan Presiden Jokowi dalam Pertemuan Puncak Gugus Tugas Reforma Agraria di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada 9 Juni lalu bisa menjadi secercah harapan. Presiden mengingatkan agar seluruh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat harus terintegrasi dan terpadu untuk menyelesaikan masalah lahan di masyarakat. Peran masyarakat adat, nelayan kecil, para peneliti, dan pemangku kepentingan lain juga tak boleh diabaikan perannya demi perbaikan lingkungan yang lebih baik.