Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Perhutanan Sosial, Pelibatan Masyarakat dalam Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Bagikan Tulisan
Co-Founder Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Paul Butarbutar, menjelaskan peran masyarakat dalam skema kredit karbon.

Dalam skema perhutanan sosial, masyarakat penjaga hutan tidak hanya dilihat sebatas penerima manfaat kebijakan. Jika didampingi dengan baik, masyarakat dapat mengelola hutan dan menjaga hutan tetap lestari sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK).

Hal ini diungkapkan oleh Program Koordinator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Emmy Primadona, pada webinar bertajuk “Peran Masyarakat Penjaga Hutan dalam Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon” pada 6 April 2022.

Baca juga: Krisis Iklim Mengancam Kesejahteraan Nelayan Indonesia

KKI Warsi telah mengawal praktik perhutanan sosial di Bujang Raba di Provinsi Jambi dan beberapa daerah di Provinsi Sumatera Barat. Bahkan dari Sumatera Barat dilaporkan perhutanan sosial mampu meningkatkan persentase tutupan hutan hingga 19 persen.

Melalui Peraturan Presiden No. 98 tahun 2021, Pemerintah Indonesia menetapkan komitmen nasional dalam penanganan iklim global berupa pengurangan emisi GRK sebesar 29–41 persen pada 2030. Untuk mencapai nilai tersebut, keterlibatan masyarakat menjadi penting. Salah satu bentuk pelibatan masyarakat dalam komitmen itu adalah skema perhutanan sosial.

“Kami melihat bahwa kontribusi perhutanan sosial dalam mereduksi emisi karbon ini sangat tinggi,” kata Emmy. 

Laporan Warsi (2020) menunjukkan bahwa perhutanan sosial di Bujang Raba, Provinsi Jambi, mampu menekan laju deforestasi hingga 100 hektare dan mengurangi emisi karbon hingga 278 ribu CO2eq. Perhutanan sosial yang dilakukan sejak 2013 ini juga sudah memiliki sertifikasi dari Plan Vivo, salah satu organisasi pengusul kredit karbon.

Baca juga: Mengupas Posisi Masyarakat Adat dan Hak Ulayat dalam Konstitusi Negara

Pada awal 2018 tercatat total penjualan karbon mencapai 6 ribu ton. Hasil penjualan karbon ini diputar kembali kepada masyarakat dalam bentuk peningkatan kapasitas, beasiswa pendidikan, insentif perekonomian, patroli, serta pengayaan hutan.

Emmy menjelaskan studi kasus perhutanan sosial di lanskap Bujang Raba. Masyarakat Bujang Raba membagi wilayah hutan menjadi zona lindung dan zona pemanfaatan. Zona lindung berperan sebagai area penampungan air dan penyangga untuk mengurangi kemungkinan bencana alam. Sedangkan zona pemanfaatan difungsikan sebagai kebun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 

Selain kedua zona tersebut, intervensi Warsi memanfaatkan wilayah bukan hutan sebagai alternatif penghasilan melalui komoditas bertingkat seperti kakao, karet, jengkol, dan aneka buah-buahan lain.

Baca juga: Proses Pengakuan Wilayah Adat dan Masyarakat Hukum Adat di Papua Barat Kini Bisa Lebih Singkat

Kasubdit Pendanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Agus Rusly, menjabarkan maksud dan tujuan Perpres No. 98 tahun 2021. Selain mengendalikan emisi GRK, tujuan Perpres tersebut adalah untuk meningkatkan ketahanan nasional, kewilayahan, dan masyarakat dari risiko perubahan iklim.

Agus memaparkan peran masyarakat seperti yang tertuang dalam Perpres tersebut. Pada Pasal 28 ayat 5 disebutkan bahwa masyarakat berperan dalam pengurangan emisi GRK melalui aksi mitigasi yang berkontribusi di sektor atau sub-sektor. Salah satu contohnya adalah skema pembayaran berbasis kinerja.

“Sudah ada program yang sedang berjalan saat ini. Satu di Provinsi Jambi dan yang kedua di Kalimantan Timur. Terkait dengan pembayaran berbasis kinerja, di mana masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan maupun yang ada di dalam kawasan hutan itu memiliki peran dan mendapatkan porsi yang cukup diperhitungkan di dalam skema-skema pembayaran berbasis kinerja,” kata Agus.

Baca juga: Peserta STS Mogatemin: Ini Ilmu yang Sangat Mahal

Menanggapi hal ini, Co-Founder Indonesia Research Institute for Decarbonization (IRID), Paul Butarbutar, menerangkan tantangan yang dimiliki oleh komunitas dalam pengembangan proyek karbon. Menurutnya, salah satu masalah yang dihadapi adalah keterbatasan kapasitas komunitas seperti pendanaan proyek, penyusunan draft rencana aksi mitigasi, hingga jaringan untuk penjualan karbon kredit.

Paul menekankan pentingnya peningkatan kapasitas komunitas agar proyek karbon dapat dilakukan dengan baik. “Oleh karena itu diperlukan pihak yang dapat memfasilitasi keterlibatan masyarakat lokal dalam pengembangan proyek karbon,” kata Paul. 

Editor: Leo Wahyudi, Nur Alfiyah, Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved