Aktivitas perekonomian yang terhenti akibat pandemi COVID-19 membuat Bumi memiliki kesempatan untuk meregenerasi. Selama pandemi, langit Jakarta membiru, udara menjadi bersih. Sebuah pemandangan langka yang hampir tidak pernah terjadi. Dalam lingkup yang lebih luas, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mendapati kualitas udara di Indonesia pada Maret 2020 lebih bersih daripada periode yang sama di tahun sebelumnya.
Perubahan ini tak hanya terjadi di Indonesia. Ikan-ikan kecil mulai berkeliaran di kanal-kanal Kota Venesia yang mulai bening. Sungai Gangga di India pun mulai jernih. Sebelum pandemi, aliran air di kanal dan sungai tampak keruh dan kotor oleh sampah dari wisatawan. Asap polusi berhenti melayang-layang di Kota New Delhi. Polusi udara di Paris turun hingga 30 persen.
Melihat fenomena tersebut, kehidupan manusia tak lagi sama pascapandemi. Menjaga diri dengan menggunakan masker dan mencuci tangan akan menjadi pemandangan yang lumrah. Semua kebiasaan itu akan menjadi normal yang baru. Normal yang baru bisa diterapkan untuk memperbaiki relasi kita dengan alam. Bumi yang berubah selama pandemi adalah tanda bahwa hubungan kita dengan alam perlu diperbaiki.
Baca juga: Jangan Biarkan Nelayan Merana karena Corona
Andi Kurniawan, Ketua Pusat Studi Pesisir dan Kelautan Universitas Brawijaya, melihat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Ia menilai bahwa normal yang baru harus diterapkan dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan. “Normal yang baru adalah memanfaatkan mereka (sumber daya perikanan dan kelautan) dengan menjadikan kelestarian lingkungan sebagai standar,” ujar Andi dalam acara webinar bertajuk Sektor Perikanan dan Kelautan Tergerus Virus Omnibus pada 12 Mei 2020 yang diselengarakan EcoNusa.
Menurut Andi, berbagai kerusakan sumber daya perikanan dan kelautan yang telah terjadi menjadi peringatan untuk generasi mendatang agar menghormati daya dukung lingkungan. Eksploitasi berlebihan atas nama pertumbuhan ekonomi akan menambah beban dan mendatangkan bencana di masa depan. “Tidak mungkin kita mendapatkan keuntungan ekonomi dari laut pada saat kita tidak menjaga kondisi laut secara alami,” kata Andi.
Selain itu, cara pandang normal yang baru dalam pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan dapat membantu Indonesia mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Hal itu sejalan dengan tujuan SDG nomor 14 bertajuk “Menjaga Ekosistem Laut”, seperti melindungi keragamanhayati dan penangkapan ikan yang ramah lingkungan.
“Beberapa target SDGs 14 seharusnya tercapai di tahun 2020. Indonesia masih mempunyai PR (pekerjaan rumah) yang sangat besar untuk memenuhi target-target ini,” ucap Stephanie Juwana, Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).
Baca juga: RUU Cipta Kerja Tak Prioritaskan Keberlanjutan Perikanan dan Kelautan
Stephanie khawatir Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menyulitkan pemerintah dalam memenuhi target SDGs. Kekhawatiran tersebut terlihat dari penjatuhan sanksi terhadap pelaku industri. Pelanggaran aktivitas perikanan dan kelautan yang sebelumnya mendapat sanksi pidana diubah menjadi sanksi administratif dalam RUU Cipta Kerja.
Menurut Stephanie, pengaturan hukum dalam mengelola lingkungan didasari atas dua prinsip utama. Pertama, negara tak boleh mengurangi perlindungan lingkungan yang telah ada. Kedua, negara harus terus memperbaiki kebijakan pengelolaan dan perlindungan lingkungan berdasarkan pada analisis ilmiah dan kebijakan berkelanjutan.
“Pengaturan di sektor kelautan dan perikanan juga harus seperti itu. Karena ini menyentuh pengelolaan sumber daya alam dan juga perlindungan ekosistem laut,” papar Stephanie kepada peserta diskusi online saat itu.
Editor: Leo Wahyudi