Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Musim Piring Terbang telah Menanti Komitmen presiden 2019

Bagikan Tulisan
Ikan hasil tangkapan nelayan yang dijual di pasar Manokwari, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Sejak gagasan Deklarasi Djoeanda ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB (United Nation Convention on Law of the Sea, UNCLOS) 1982, Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas, sekitar 5,8 juta km2yang merupakan tiga per empat dari total wilayahnya. Di dalamnya terdapat 17.504 pulau dan dikelilingi garis pantai sepanjang 95.200 km, terpanjang kedua setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.

Dengan wilayah laut yang luas tersebut, di dalamnya menyimpang potensi ekonomi kelautan (maritim) yang luar biasa besar. Setidaknya, ada 11 sektor ekonomi kelautan, yakni perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, dan industri bioteknologi kelautan. Kemudian, pertambangan dan energi, pariwisata bahari, hutan mangrove, perhubungan laut, sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, industri dan jasa maritim, serta SDA non-konvensional.

Adapun total nilai ekonomi dari kesebelas sektor ekonomi kelautan itu diperkirakan mencapai US$ 1,4 triliun per tahun, sekitar 1,3 kali PDB dan 7 kali APBN tahun 2018, dan dapat menyediakan lapangan kerja untuk 45 juta orang. Fungsi dan peran wilayah laut Indonesia semakin strategis, seiring dengan pergeseran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Sebab sekitar 45% dari total barang yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai US$ 15 triliun per tahun, dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia.

Sayang, potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar hingga saat ini baru dimanfaatkan sekitar 25%.  Kontribusi sektor perikanan misalnya hanya 2,7% terhadap PDB, dan nilai ekspornya pun hanya sekitar US$ 4 miliar pada 2017. Sebagai perbandingan, Thailand dengan wilayah laut kurang dari 10% dari wilayah laut Indonesia, mampu mendulang devisa perikanan sekitar US$ 10 miliar pada 2017. Artinya,ruang untuk mengembangkan ekonomi maritim bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa itu masih terbuka lebar.

Di sisi lain, hak-hak masyarakat pesisir (nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, masyarakat adat pesisir) masih banyak yang terabaikan. Pusat Data dan Informasi Kiara (2017) mencatat, jumlah desa pesisir di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. setidaknya, ada 8.077.719 rumah tangga perikanan yang hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan. Jika satu rumah tangga terdiri dari 3 orang, maka ada lebih dari 25 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan. Namun, jika satu rumah tangga terdiri dari 5 orang, maka ada lebih dari 40 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya di sektor perikanan.

Secara umum, ada sejumlah permasalahan serius yang dihadapi masyarakat pesisir dari penyebabnya permasalahan yang bersumber dari alam, kerusakan alam akibat ulah manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan  permasalahan sosial ekonomi politik. Dalam konteks relasi dengan negara, masyarakat pesisir terancam harus berhadapan dengan proyek-proyek pemerintah berupa reklamasi, pertambangan pesisir, dan pariwisata yang mengakibatkan masyarakat pesisir tergusur dari ruang penghidupannya tanpa ada perlindungan yang pasti atas keterikatannya dengan wilayah pesisir dan laut.

Untuk memastikan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir terpenuhi, maka political will dari pemerintah dan elite politik sangat menentukan dalam merumuskan kebijakan dan rencana aksi. Pemilu 2019 menjadi momentum pimpinan nasional yang berkompetisi untuk memperkuat komitmen dan keperpihakan terhadap pembangunan kelautan yang berkelanjutan. Ini sedidaknya harus tercermin pada visi misi dan program kerja pasangan urut nomor 01 Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin dan pasangan urut nomot 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mari kita bedah satu per satu.

Cawapres Sandiaga Uno memaparkan, salah satu program aksi ekonomi maritim pasangan 02 adalah membangun pusat pusat pertumbuhan ekonomi kelautan berbasis pulau-pulau kecil dan kota kota pantai. Sejatinya, pulau-pulau kecil Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, selain kerusakan ekosistem laut. Sedangkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi maritim berbasis pulau-pulau kecil dan kota-kota pantai, diawali dengan mendata dan memasukannya dalam peta maritim nasional, yang saat ini belum tersedia.

“Peta maritim ini amat penting untuk penegakan kedaulatan dan hukum laut, sekaligus merencanakan program pembangunan lingkungan kepulauan yang lebih tepat sasaran,” kata Sandiaga kepada KONTAN, baru-baru ini.

Dalam konteks Pilpres 2019, isu kelautan penting diangkat sebagai salah satu materi kampanye. Pertimbangannya, satu dari tiga rakyat Indonesia menggantungkan hidup dengan bekerja sebagai petani dan nelayan. Faktanya, negara kita adalah negara agraris sekaligus negara maritim. Suatu keharusan bagi pemerintahan ke depan untuk memerhatikan nasib nelayan dan petani, diantaranya lewat penumbuhan kapasitas agro maritim nasional. “Upaya memperkuat sektor pertanian dan perikanan adalah fokus kami ke depan, karena berdampak ganda selain membuka lapangan kerja juga mengentaskan kemiskinan,” tukasnya.

Menurut Sandiaga, hak-hak nelayan kecil untuk mencari ikan secara berkelanjutan harus ter jamin. “Saya bertemu dan mendapat keluhan pak Nur Suud, salah satu nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Puger, saat masuk musim angin timur terjadi kesulitan melaut, hasil tangkap kecil. Mereka sebut musim piring terbang. Musim ketika perabotan rumah tangga dijual untuk melanjutkan hidup,” ungkapnya.

Di latari hal itulah, Prabowo-Sandiaga bakal berupaya memperjuangkan nasib nelayan agar terjamin secara ekonomi. Caranya, dengan mengembangkan bank tani dan nelayan, selain simpan pinjam juga membantu penghidupan nelayan di saat paceklik, misalnya mendapat pinjaman untuk membuka usaha.

Tak cuma itu, pihaknya berupaya menghentikan segala bentuk kegiatan ilegal di laut, termasuk penangkapan ikan ilegal dan perilaku merusak ekosistem laut yang sangat merugikan nelayan dan masyarakat pesisir dan pulau-pulai kecil. Pasalnya, pencurian ikan besar-besaran oleh kapal kapal asing akan mengurasi hasil tangkapan nelayan. “Juga pendekatan pendidikan dan sosialisasi terus-menerus pada nelayan dan masyarakat pesisir, penerapan insentif pada kepatuhan dan disinsentif termasuk penegakan hukum,” ujar Sandiaga.

Kemudian, program kerja terkait lingkungan dan kelautan lainnya adalah selain membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi maritim. Mantan wakil gubernur DKI Jakarta ini melihat pentingnya upaya membangun konektivitas antarpusat-pusat pertumbuhan ekonomi pulau pulau kecil dan kota-kota pantai. Kemudian, mendorong produktivitas hasil ekonomi kelautan untuk kesejahteraan masyarakat pesisir dan nelayan. Tak kurang juga penting membangun armada perikanan untuk melayani laut dalam Zona Ekonomi Eksklusif.

Di sisi lain, pasangan Prabowo-Sandiaga bila mendapat amanan memimpin lima tahun ke depan akan mendorong kemajuan industri kelautan nasional. Kemajuan industri kelautan menjadi target industrialisasi berbasis sumber daya lokal. Indonesia adalah salah satu negeri dengan garis pantai terpanjang di dunia, potensi melimpah maka dibutuhkan upaya ekstensif dan cerdas merealisasikan potensi maritim ini. “Saya dan Pak Prabowo akan menumbuhkan infrastruktur yang menjangkau sentra kemaritiman, termasuk sarana prasaranan kelautan terutama tempat pelelangan ikan dan pasar ikan rakyat,” janjinya.

Selanjutnya, akan membuka industri pengolahan dengan melibatkan dunia usaha dan investor mancanegara untuk mengembangkan produk laut berorientasi ekspor. Terakhir adalah meningkatkan konsumsi protein, bagi anak dan generasi muda, sekaligus menumbuhkan industri kreatif kuliner maritim.

Sebagai calon petahana di Pilpres 2019 mendatang, Jokowi-Ma’ruf tentunya akan melanjutkan cita-cita Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia. Untuk itu, Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf telah merancang visi misi Nawacita II yang salah satu fokusnya mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia dalam membangun bangsa.

Rokhmin Dahuri, Juru Bicara Bidang Kemaritiman dan Perikanan TKN Jokowi-Ma’ruf menyebutkan, pada dasarnya ada lima kelompok kebijakan dan program pembangunan utama yang mesti dikerjakan: Pertama, penegakkan kedaulatan, termasuk penuntasan batas wilayah laut dengan negara-negara tetangga, menjaga wilayah laut dari setiap rongrongan kedaulatan, pemberantasan illegal fishing dan berbagai kegiatan ilegal lainnya;  Kedua,  pembangunan ekonomi kelautan untuk meningkatkan daya saing, pertumbuhan ekonomi berkualitas, dan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan; Ketiga, memelihara kelestarian SDA dan lingkungan kelautan; Keempat, pengembangan kapasitas SDM, iptek, dan inovasi kelautan; dan kelima peningkatan budaya maritim bangsa.

Memang, salah satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla yang mendapat dukungan publik dengan penuh antusiasme adalah mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yakni sebuah Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim. “Lebih dari itu, Indonesia kelak diharapkan menjadi rujukan atau role model bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari ekonomi, iptek, hankam sampai cara menata pembangunan kelautan,” ungkap Guru Besar Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) kepada KONTAN, awal bulan ini.

Selain menambah anggaran pembangunan dan alokasi kredit perbankan, pemerintahan Jokowi-JK juga mendirikan Kementerian Koordinator Maritim untuk mengakselarisasi dan mensinergikan pembangunan di bidang kemaritiman. Namun demikian, Rokhmin memberi catatan pola pembangunan yang terlalu dominan pada penegakkan hukum dan konservasi yang ’membabi buta’ perlu didiskusikan lagi karena tantangan di masa medatang adalah harus mengarah ke pola pembangunan kelautan berkelanjutan (sustainable maritime development).  Ini merupakan suatu pola pembangunan kelautan yang mampu meningkatkan daya saing bangsa, pertumbuhan ekonomi inklusif, kesejahteraan rakyat, dan kedaulatan NKRI secara berkelanjutan, tanpa mengorbankan kelestarian sumber daya dan ekosistem laut.

“Kebijakan peningkatan kesejahteraan nelayan yang meliputi kemudahan perizinan usaha tangkap ikan‎, pembentukan koperasi nelayan untuk sarana produksi murah serta untuk pengolahan hingga pemasaran produk nelayan akan menjadi fokus perhatian kami,” kata  Rokhmin yang juga menjabat sebagai Ketua DPP PDIP Bidang Kemaritiman.

Di sisi lain, revitalisasi usaha perikanan budidaya demi meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan, disertai pembentukan manajemen rantai pasok terpadu akan diupayakan seoptimal mungkin. Selain itu, pentingnya ekstensifikasi usaha perikanan budidaya di kawasan perairan baru dan mengembangkan usaha perikanan budidaya dengan spesies-spesies baru yang secara ekonomi diterima pasar dunia.

“Supaya produk kelautan kita berdaya saing dan kompetitif di pasar dunia, industri pengolahan hasil perikanan modern seperti tempura, surimi based product, pengalengan harus terus dikembangkan,” tukasnya. Tak cuma itu, di era industri 4.0, generasi milenial kemampuannya harus ditingkatkan sebagai pelaku ekonomi bahari misalnya menjadi pemandu wisata bahari semacam snorkeling, diving, sailing, dan surfing.

Dengan mengimplementasikan Roadmap Pembangunan Kelautan ini secara berkelanjutan, Rokhmin optimistis mulai tahun 2020, Indonesia tidak hanya akan mampu mengatasi sejumlah permasalahan kekinian bangsa, seperti kemiskinan, ketimpangan sosial, disparitas pembangunan antarwilayah, defisit transaksi berjalan, dan rendahnya daya saing, tetapi juga bakal mampu mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, yang maju, adil-makmur, dan berdaulat pada tahun 2030 atau 2045.

Pakar Kelautan Sarwono Kusumaatmadja menilai, pemerintah dan elite politik harus memiliki kepedulian dan komitmen kuat terhadap pembangunan kelautan yang berkelanjutan. “Saya pikir arah kebijakan yang dijalankan pemerintah sudah benar tapi masih sangat pelan. Jadi tinggal ditingkatkan speed-nya, perkuat komitmen, dan efektivitas kinerja,” sebut mantan Menteri Kelautan dan Perikanan pada Kabinet Persatuan Nasional ini kepada KONTAN.

Sarwono mengingatkan, para pihak yang bersaing di Pilpres 2019 jangan berharap dengan memunculkan wacana pembangunan kemaritiman, nasib nelayan dan isu lingkungan lainnya akan serta-merta mendongkrak suara mereka. “Hati-hati, itu hal yang berbeda. Tapi kalau sekadar edukasi untuk mempopulerkan sektor kelautan, ya ada baiknya juga. Yang menjadi nafas dalam kelautan ini adalah kesadaran, kemauan dan komitmen kuat untuk membangun sebuah kemajuan,” ungkapnya.

Gde Sumarjaya Linggih, Caleg DPR untuk dapil Bali di Pileg 2019 mengatakan, berbagai cara dalam kerja-kerja politik dilakukan partai politik selama masa kampanye Pemilu 2019 untuk meraih simpati masyarakat, termasuk  nelayan. Kerja-kerja politik ini dilakukan lewat pemberdayaan, proses edukasi, peduli terhadap lingkungan, ekonomi, dan kesehatan keluarga nelayan. “Nasib nelayan ini terutama yang kecil harus diperhatikan karena kondisinya masih memprihatinkan,” ungkap politisi Partai Golkar asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng, Bali.

Menurut Anggota Komisi VI DPR ini, kelompok nelayan yang besar-besar sudah mulai dibatasi ruang geraknya oleh berbagai regulasi yang dibuat pemerintah. Dengan demikian, harapannya nelayan nelayan kecil ini bisa berkembang lewat pemberdayaan dan sebagainya. “Memperjuangkan nasib nelayan kecil ini menjadi pekerjaan rumah bagi kami,” tukas Pelaksana Tugas Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali itu.

Melda Wita, Direktur Pelaksana Yayasan Econusa menilai, laut adalah masa depan bangsa. “Bagi kami, tidak masalah siapa presiden yang akan terpilih nantinya. Yang terpenting adalah Presiden ini dapat tetap memberikan perhatian khusus kepada lautan kita,” tukasnya.

Hal ini bukan tanpa dasar. Sebab ada kurang lebih 120 juta pekerja yang menggantungkan hidupnya dari laut. Seharusnya ini cukup untuk meyakinkan presiden yang terpilih nantinya bagaimana fundamentalnya sektor laut kita yang memiliki potensi ekonomi mencapai US$1,2 triliun. “Akan tetapi, jangan sampai potensi ini hanya dijadikan jualan politik yang dilupakan ketika presiden yang terpilih nantinya menjabat,” tegas Melda mengingatkan.

Penulis: Dadan M. Ramdan, salah satu penerima Journalis Fellow Sea yang digagas oleh Yayasan EcoNusa

Sumber: https://bit.ly/2Fad2ba

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved