Home » EcoBlog » Mendorong Perlindungan Hak Masyarakat Adat, Ekosistem Hutan, Laut, dan Ekonomi Masyarakat Adat dalam RPJMD: Komitmen untuk Masa Depan Berkelanjutan
Mendorong Perlindungan Hak Masyarakat Adat, Ekosistem Hutan, Laut, dan Ekonomi Masyarakat Adat dalam RPJMD: Komitmen untuk Masa Depan Berkelanjutan
Friska Kalia
Bagikan Tulisan
Tanah Papua dan Kepulauan Maluku merupakan wilayah dengan kekayaan ekologi yang luar biasa. Papua, misalnya, memiliki 32,39 juta hektare hutan yang merupakan benteng terakhir hutan tropis Indonesia, sementara Kepulauan Maluku memiliki luas hutan sekitar 4,8 juta hektare. Selain itu, perairan di kawasan ini memiliki potensi sumber daya ikan tertinggi di Indonesia dan berkontribusi besar terhadap sektor kelautan dan perikanan nasional.
Namun, ancaman deforestasi, perambahan lahan, dan eksploitasi sumber daya laut tanpa kendali menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, integrasi aspek perlindungan lingkungan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) menjadi langkah strategis yang tidak hanya menjaga ekosistem tetapi juga memastikan bahwa masyarakat lokal dapat terus mendapatkan manfaat dari sumber daya alam secara berkelanjutan.
Penyusunan RPJMD merupakan tindak lanjut dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) yang menjadi kerangka acuan dalam merencanakan pembangunan jangka panjang suatu daerah selama 20 tahun. RPJMD yang disusun untuk lima tahun ke depan harus sejalan dengan visi dan misi RPJP, namun dengan penyesuaian pada dinamika dan tantangan yang dihadapi di tingkat daerah.
Dalam konteks pembangunan nasional, RPJMD juga memiliki keterkaitan erat dengan program utama pemerintah terkait ketahanan pangan dan energi. Pemerintah Indonesia telah menetapkan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas utama dalam pembangunan jangka panjang, sejalan dengan kebutuhan untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dan memastikan pasokan pangan yang cukup bagi masyarakat. Demikian pula, sektor energi, terutama energi terbarukan, menjadi agenda penting dalam RPJMD, dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan keberlanjutan energi di tingkat daerah.
Selain itu, penyusunan RPJMD harus berkoordinasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berfungsi untuk mengatur pemanfaatan ruang di suatu wilayah. Integrasi antara RPJMD dan RTRW sangat penting karena tata ruang yang baik akan memberikan landasan untuk pembangunan yang berkelanjutan, serta menghindari konversi lahan yang tidak terkendali yang dapat merusak ekosistem, khususnya di daerah yang kaya dengan hutan dan perairan seperti Tanah Papua dan Kepulauan Maluku.
Dengan mempertimbangkan hubungan yang erat antara RPJP, RPJMD, dan RTRW, serta mendukung kebijakan nasional terkait ketahanan pangan, energi, dan perlindungan ekosistem, RPJMD dapat berfungsi sebagai dokumen perencanaan yang seimbang dan holistik untuk memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi wilayah-wilayah ini.
Bimbingan Teknis (Bimtek) Penyusunan Dokumen RPJMD untuk wilayah Tanah Papua dan Kepulauan Maluku 2025 telah dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Organisasi Perangkat Daerah (OPD), serta mitra lainnya. Kegiatan ini menegaskan pentingnya memasukkan aspek perlindungan lingkungan ke dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan.
Selain itu, ekonomi masyarakat adat juga harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perencanaan ini, dengan memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya menjaga lingkungan tetapi juga memperkuat mata pencaharian berbasis sumber daya alam yang dikelola secara lestari oleh masyarakat lokal. Pengembangan ekonomi berbasis komunitas, seperti pengolahan hasil hutan bukan kayu, perikanan berkelanjutan, dan ekowisata berbasis adat, menjadi peluang yang harus diintegrasikan ke dalam kebijakan daerah.
Kegiatan ini berlangsung selama dua hari, pada 13–14 Maret 2025, dan dihadiri oleh perwakilan dari empat provinsi, yaitu Papua, Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan Maluku, serta 14 kabupaten, yakni Merauke, Boven Digoel, Sarmi, Jayapura, Yapen, Nabire, Sorong Selatan, Sorong, Kaimana, Manokwari Selatan, Seram Bagian Timur, Kepulauan Aru, Maluku Tengah, dan Kota Ambon.
EcoNusa hadir dalam penyusunan RPJMD untuk turut serta memastikan bahwa aspek perlindungan lingkungan dan hak masyarakat adat menjadi bagian integral dalam kebijakan pembangunan daerah. Tanah Papua dan Kepulauan Maluku memiliki ekosistem yang unik dan kekayaan alam yang menjadi sumber penghidupan utama masyarakat adat. Namun, ancaman eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan, konversi lahan, serta maraknya kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada masyarakat lokal dapat mengancam keseimbangan ekologi dan kesejahteraan komunitas adat.
Sebagai organisasi yang berfokus pada penguatan kapasitas masyarakat adat dan konservasi sumber daya alam, EcoNusa mendorong agar RPJMD mencerminkan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan memastikan bahwa model ekonomi yang dikembangkan berbasis pada skala komunitas. Salah satu tantangan utama adalah bagaimana memastikan bahwa masyarakat adat tidak hanya menjadi penonton dalam pembangunan, tetapi juga sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lokal mereka.
Dalam sambutannya, CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, menegaskan bahwa EcoNusa akan terus berkomitmen dalam mendukung penyusunan RPJMD yang berpihak pada hutan, laut, dan kesejahteraan masyarakat adat.
“RPJMD harus menjadi alat yang tidak hanya mengakomodasi pembangunan ekonomi, tetapi juga memastikan keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Perlindungan hutan dan laut bukan hanya tentang konservasi, tetapi juga investasi bagi generasi mendatang,” ujar Bustar Maitar.
Sinkronisasi RPJMD dengan kebijakan nasional seperti Visi Indonesia Emas 2045 dan Deklarasi Manokwari menjadi krusial dalam upaya menjaga 70% kawasan hutan tetap terlindungi serta memastikan kebijakan pembangunan rendah karbon yang berpihak pada masyarakat adat dan ekosistem lokal. Salah satu isu yang dibahas dalam Bimtek adalah peluang ekonomi hijau dan nilai ekonomi karbon sebagai alternatif pengembangan ekonomi bagi Papua dan Maluku. Dengan luas hutan yang masih terjaga, potensi skema perdagangan karbon dapat memberikan insentif bagi pemerintah daerah dan masyarakat adat dalam menjaga hutan mereka tetap lestari.
“Nilai ekonomi karbon bukan hanya soal angka, tetapi bagaimana kita bisa memastikan bahwa manfaatnya benar-benar kembali ke masyarakat adat yang telah menjaga hutan selama ribuan tahun,” ungkap Riko Wahyudi dari Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia (RCCC-UI).
Integrasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam RPJMD menjadi langkah penting agar dampak lingkungan dari setiap kebijakan pembangunan dapat dikaji secara mendalam. Selain itu, pengakuan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya harus masuk dalam kebijakan daerah untuk memastikan akses dan keberlanjutan ekonomi berbasis ekologi. Program berbasis konservasi seperti perdagangan karbon, ekowisata, dan pengelolaan hasil hutan bukan kayu juga harus didorong sebagai sumber ekonomi baru.
Bimtek Penyusunan RPJMD Tanah Papua dan Kepulauan Maluku 2025 menjadi momentum penting dalam memperkuat agenda pembangunan yang berbasis pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan komitmen bersama antara pemerintah daerah dan berbagai pemangku kepentingan, RPJMD dapat menjadi dokumen perencanaan yang tidak hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga melindungi hutan dan laut sebagai warisan berharga bagi generasi mendatang.