Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Membuka Egek, Melihat Deposito Alami Suku Moi

Bagikan Tulisan
Tetua adat Suku Moi memimpin upacara benfia saat membuka egek laut yang telah berlangsung selama enam tahun. Upacara benfia Upacara ini menandakan rasa syukur atas berkat yang diberikan dan hormat kepada leluhur. (Yayasan EcoNusa/David Hermajaya)

Masyarakat Kampung Malaumkarta di Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat, pagi itu berkumpul untuk merayakan momen istimewa. Suasananya lebih ramai dibanding hari biasanya. Banyak orang tua yang berpakaian adat. Mereka menyiapkan kakes, sajian dalam piring yang berisi pinang, rokok, sagu, dan nasi kuning. Kakes diletakkan di meja dafeles safung (batang kelapa yang diberi daun kelapa yang berfungsi seperti altar) yang dihias dengan kain-kain Timor. 

Ada juga anak-anak muda yang berlalu lalang menyiapkan perahu, alat tangkap, dan keranjang besar. Mama-mama dan beberapa anak perempuan sibuk memotong daun kasbi (singkong) sambil memasak air panas dengan periuk-periuk besar di atas api kayu bakar. Anak-anak kecil berlari-larian melihat kesibukan orang-orang dewasa di sekitarnya.

Hari itu, Senin, 13 Juni 2022, dimulai dengan doa secara Kristen Protestan dan dilanjutkan dengan upacara benfia yang dipimpin oleh tetua Suku Moi di Kampung Malaumkarta. Upacara itu menjadi penanda dimulainya prosesi adat untuk membuka egek laut yang telah 6 tahun ditutup. Dengan dibukanya egek, masyarakat bisa memanen hasil laut bernilai ekonomi tinggi seperti lobster dan teripang.

Baca juga: Kearifan Lokal Egek, Upaya Perlindungan Hutan Malaumkarta Raya

Doa-doa dan mantra diucapkan para tetua untuk menunjukkan rasa hormat kepada para leluhur dari 14 marga Suku Moi di Malaumkarta. Tidak lama kemudian, para pemuda bersiap mengambil alat pancing tradisional yang digunakan secara manual, alat selam, dan beberapa perahu. 

Satu perahu diisi sekitar sepuluh hingga enam belas orang. Mereka menuju ke utara pantai. Tak beberapa lama perahu mengitari beberapa titik, lalu berhenti, dan satu atau dua penumpang turun menyelam ke laut. Sementara mereka yang berada di perahu menyiapkan keranjang dan jaring penyimpan ikan sambil memperhatikan kawan yang sedang menyelam.

Setelah beberapa saat menyelam, mereka muncul ke permukaan dan mengangkat tangan. Artinya mereka belum mendapat hasil tangkapan. Setelah menyelam lagi, mereka muncul lagi ke permukaan sambil berseru penuh semangat. Tangannya memegang lobster gemuk sepanjang 20 sentimeter. 

Baca juga: Regulasi Mengangkat Pengetahuan Adat

Kemudian, sebuah perahu mendekati penyelam dan mengambil lobster dari tangannya. Para pemuda di perahu tersebut bergantian turun menyelam. Ketika hari mulai gelap dan awan terlihat tebal, perahu-perahu tadi merapat ke daratan.

Teripang nanas yang ditangkap saat pembukaan egek di Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Sorong, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/David Hermajaya)

Mereka mengeluarkan hasil tangkapan egek di pantai. Ada teripang susu, teripang sepatu, dan teripang nanas yang panjangnya antara 18 hingga 30 sentimeter, lobster batik, lobster bambu, dan seekor lobster berukuran super besar yang biasa disebut lobster mas oleh masyarakat Malaumkarta. Saat hendak ditimbang, seorang bapak bertopi hitam langsung menawarkan harga untuk membelinya. Satu lobster berukuran sedang dihargai  Rp220.000 dan ia langsung membeli tiga ekor lobster.

Sebulan sebelumnya masyarakat Malaumkarta berniat untuk membuka egek laut untuk lobster dan teripang demi memenuhi kebutuhan bersama. “Egek terakhir dibuka tahun 2017, jadi sudah masuk tahun ke-6 ditutup,” ujar Jefri Mobalen, Kepala Kampung Malaumkarta. 

Baca juga: Pulau Um, Simbol Kelestarian Alam

Egek adalah kesepakatan adat untuk mengatur dan melindungi pengelolaan dan potensi hasil bumi di wilayah adat Suku Moi secara tradisional. Egek hampir sama dengan sasi yang banyak diterapkan di beberapa daerah di Indonesia Timur.

Egek dibuka saat ada kebutuhan yang mendasar dari masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Saat ada kebutuhan ekonomi untuk menopang kebutuhan itu, maka egek bisa dibuka dengan kesepakatan bersama secara adat,” tambah Jefri. 

Biasanya anggota dari masing-masing marga akan menyampaikan kebutuhan ini kepada seluruh anggota adat untuk dibicarakan bersama. Saat sudah menemui kesepakatan, maka diambil keputusan untuk membuka atau menutup egek  untuk hasil laut atau hutan. Hasil dari pembukaan egek dijual. Lalu hasilnya dikumpulkan untuk memenuhi kebutuhan bersama. Pembukaan egek kali ini didasari oleh kebutuhan dari masyarakat untuk membangun gereja di Malaumkarta. Masyarakat lalu memutuskan untuk membuka egek lobster dan teripang yang nilai ekonomisnya cukup tinggi.

Baca juga: Malaumkarta Perlu Generasi Penerus Adat

Selain anggota marga Suku Moi, hadir juga Bupati Sorong Johny Kamuru, pejabat Dinas Kelautan dan Perikanan, perwakilan dari mitra konservasi, dan masyarakat umum yang ingin sekali melihat proses pembukaan egek dan hasil panen komoditas lautnya. Mereka hadir atas undangan dari Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM), sebuah organisasi anak muda di Malaumkarta yang ingin mempertahankan dan mempromosikan tradisi Suku Moi. 

Orang Moi dan Papua pada umumnya menyampaikan dengan bertutur. PGM mengajak publik untuk menyaksikan pembukaan egek ini agar semua bisa melihat dan mengetahuinya, bukan hanya sekadar wisata. “Orang Moi sendiri saja mungkin ada yang belum tahu egek itu apa, tapi dengan adanya kegiatan ini semua jadi bisa tahu,” kata Tori Kalami, ketua PGM sambil menjelaskan bahwa egek akan kembali ditutup setelah ada kesepakatan adat dari 14 marga

Hasil laut dari pembukaan egek bukan hasil laut yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Masyarakat biasanya mengambil ikan untuk konsumsi sehari-hari atau untuk dijual. Hasil laut yang masuk dalam egek menjadi istimewa karena hanya dikonsumsi saat egek dibuka. Selain itu, nilai ekonomisnya yang tinggi cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan masyarakat. Egek diibaratkan seperti deposito dari alam yang dijaga untuk diambil manfaatnya. 

Editor: Leo Wahyudi & Lutfy Putra

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved