Perubahan iklim akibat pemanasan global menjadi persoalan penting yang harus menjadi perhatian semua pihak. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, media, hingga masyarakat dapat bergandengan tangan mengatasi dampak perubahan iklim. Untuk itu diperlukan pemahaman bersama agar kerja sama antar elemen dapat terwujud. Hal ini menjadi tujuan utama dalam diskusi konstruktif untuk meningkatkan pemahaman perubahan iklim melalui FGD bertajuk “Penyamaan Persepsi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim dalam Upaya Mendorong Kebijakan Pembangunan Rendah Karbon di Maluku Utara” pada 25 Februari 2020 di Ternate.
Perkumpulan Pakativa didukung oleh Yayasan EcoNusa menyelenggarakan diskusi terfokus bersama sejumlah elemen untuk membangun persepsi dalam menghadapi perubahan iklim. Hadir dalam diskusi tersebut antara lain akadamisi Universitas Khairun, awak media, peneliti Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), serta kelompok masyarakat sipil.
Kepala Seleksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Kelas I Sultan Babullah, Setiawan Sri Raharjo mengatakan bahwa peningkatan rata-rata suhu sudah terjadi setiap tahunnya. Temuan itu didapatkan dari hasil pemantauan dan analisis di 500 titik stasiun pengamatan BMKG di seluruh Indonesia selama tahun 1980 hingga 2018.
“Rata-rata suhu di Maluku Utara adalah 28 derajat celsius. Ini trennya naik. Untuk suhu lokal di Ternate, memasuki tahun 2020 mengalami kenaikan 1,2 derajat celsius. Sementara suhu naik tiap tahun, curah hujan mengalami penurunan. Biasanya puncak hujan terjadi pada bulan Desember tapi hujan sangat kurang, jauh dari normal hanya 15-20 mm,” jelas Setiawan.
Sementara itu, Dosen Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Khairun, Adityawan Ahmad, mengungkapkan bahwa perubahan iklim memberikan ancaman yang luar biasa. Sejak revolusi industri emisi karbon memenuhi atmosfer. Selain itu, aktivitas manusia turut berperan menambah laju kerusakan lingkungan.
“Laju kerusakan lingkungan yang tidak terkendali baik akibat deforestasi, industri ekstraksi pertambangan, reklamasi yang masif di pulau kecil, maupun penggunaan energi fosil, semakin mengancam bumi untuk ditinggali manusia, “ ujar Adityawan.
Dalam FGD tersebut juga dipaparkan bahwa perubahan iklim memiliki andil melalui berbagai bencana. Dampaknya mengancam ekosistem, pangan, hasil hutan, pesisir dan dataran rendah, pulau-pulau kecil, sumber manajemen air tawar, permukiman masyarakat serta kesehatan manusia. Bahkan jika suhu rata-rata global naik 1,5-2,5 derajat Celcius, ini akan membuat 20-30 persen spesies tanaman dan hewan akan punah.
Dampak perubahan iklim lainnya juga telah dirasakan masyarakat Maluku Utara. Banyak rumah ambruk atau lenyap akibat abrasi. Pulau Pagama hilang akibat kenaikan permukaan air laut. Melihat kondisi ini, Pemimpin Redaksi Posko Malut, Awat Halim, memandang kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan untuk memberikan pemahaman menyeluruh kepada masyarakat. Salah satu contohnya terkait pelarangan penebangan hutan oleh masyarakat.
“Butuh kolaborasi bersama media, akademisi, dan instansi terkait. Kami sebagai media di daerah ini memiliki kewajiban mendukung dan terus menyuarakan isu ini,” ujar Awat.
Di sisi lain, pemerintah sudah mengambil langkah penting sebagai upaya antisipasi dampak perubahan iklim melalui Program Pembangunan Rendah Karbon yang diarusutamakan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. “Semua aksi ini bertujuan untuk menekan peningkatan produksi karbon sehingga menahan laju perubahan iklim. Hal ini perlu pemahaman semua pihak, pemerintah, media dan civil society,” kata Faisal Ratuela, Direktur Pakativa saat menutup acara.
Penulis: Mahmud Ici (Kepala Departemen Litbang Perkumpulan Pakativa) dan Carmelita Mamonto (Koordinator Region Maluku, Yayasan EcoNusa)
Editor: Leo Wahyudi