Laut Indonesia Timur yang berada di kawasan segitiga terumbu karang, kaya akan keanekaragaman hayati. Area tersebut memiliki 76 persen spesies terumbu karang dunia yang menjadi rumah bagi beragam jenis ikan. Mineral logam yang terkandung di daratan wilayah Indonesia Timur juga melimpah. Seperti Pulau Obi di Maluku Utara dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara yang kaya nikel, serta Pulau Sangihe di Sulawesi Utara yang mengandung banyak emas. Namun, di tengah kekayaan tersebut, banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang mendiami kawasan itu.
Misalnya, kerusakan lingkungan yang terjadi di Wawonii akibat pertambangan nikel. Aktivitas tersebut di antaranya menyebabkan sumber air yang mengalir ke rumah-rumah warga menjadi keruh, airnya bercampur dengan lumpur, kebun masyarakat juga diserobot. Selama bertahun-tahun, warga Wawonii menolak aktivitas tambang nikel tersebut dan melakukan gugatan. Masyarakat memenangkan gugatan atas tata ruang pada Desember 2022.
“Pulau Wawonii yang seharusnya tidak masuk area tambang, tetapi ditambang. Padahal masyarakat tidak bisa ke laut saat musim angin, sehingga masyarakat bergantung di situ (daratan) untuk melangsungkan kehidupan,” kata CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, dalam sambutannya di Seminar Nasional Memperkokoh Visi Maritim Indonesia untuk Penyelamatan Wilayah Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil, di Jakarta, Kamis, 7 September 2023. Seminar tersebut merupakan bagian dari pertemuan tahunan kedua koalisi Jaring Nusa.
Baca Juga: Jaring Nusa Desak Penyelamatan Masyarakat Pesisir dan Pulau Kecil di Timur Indonesia
Asisten Deputi Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Pesisir Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Muh. Rasman Manafi, juga menyebutkan bahwa kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir lebih buruk dibandingkan dengan wilayah bukan pesisir. “Presentase orang yang hidup di bawah garis kemiskinan di coastal (pesisir) 11,02 persen, sedangkan non-coastal (bukan pesisir) 8,67 persen,” kata Rasman saat memberikan materi di acara yang sama.
Menurut Plt. Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Sri Yanti, masyarakat pesisir pun menghadapi masalah akibat perubahan iklim. Seperti meningkatnya muka air laut, gelombang ekstrem, dan abrasi pantai. “Sekarang bukan lagi global warming (pemanasan global), tapi sudah global boiling (pendidihan global),” ujarnya.
Untuk meningkatkan kesejahteraan, Sri mengatakan bahwa pemerintah memiliki visi Indonesia Emas 2045, yakni negara Nusantara berdaulat, maju, dan berkelanjutan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, masing-masing wilayah perairan direncanakan memiliki arah pembangunan yang berbeda. Sulawesi, misalnya, akan menjadi penunjang ekonomi Ibu Kota Negara dan industri berbasis sumber daya alam, Maluku direncanakan sebagai pusat kemaritiman wilayah timur Indonesia, sedangkan rencana untuk Papua adalah percepatan pembangunan menuju Papua sehat, cerdas, dan produktif.
“Indonesia sebagai negara kepulauan perlu mengoptimalkan sumber daya yang berasal dari laut. Salah satu indikator untuk mengukur hal tersebut adalah PDB (produk domestik bruto) maritim dengan target 15 persen pada 2045,” kata Sri.
Baca Juga: Koalisi Masyarakat Sipil Rancang Peraturan Negeri Demi Lindungi Wilayah Pesisir
Namun menurut Asmar Exwar, dinamisator Jaring Nusa, visi maritim tersebut belum secara konkrit memastikan adanya perlindungan dan pengakuan hak atas ruang hidup masyarakat pesisir dan pulau kecil sebagai subyek pembangunan. Menurut dia, menjadikan kawasan timur Indonesia sebagai penopang pembangunan berbasis penyedia sumber daya alam justru akan menambah kerentanan dan rawan tereksploitasi.
“Ini kontradiktif dengan kebutuhan perlindungan wilayah kepulauan dan laut sebagai suatu ekosistem yang terintegrasi dan merupakan penopang kehidupan masyarakat, baik itu masyarakat lokal, tradisional, dan masyarakat adat,” ujarnya.
Parid Ridwanuddin dari Jaring Nusa mengatakan RPJPN 2025-2045 akan kehilangan jangkar konstitusionalnya jika tidak memasukkan Pasal 33 UUD 1945 yang memandatkan negara menguasai sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat pesisir.
Oleh karenanya, ia mendesak pemerintah untuk melakukan sejumlah hal dalam penyusunan RPJPN 2025-2045. Yakni pertama, memastikan pembangunan nasional tidak menempatkan laut sebagai ruang pertarungan antara yang kuat dengan yang lemah (mare liberum). Kedua, menghindari penyusunan rencana pembangunan yang bias teknokratisme yang tidak menempatkan pengetahuan lokal dan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat pesisir sebagai bagian penting dalam RPJPN 2025-2045. Ketiga, memastikan undang-undang keadilan iklim sebagai prioritas utama dalam RPJPN sebagai kerangka regulasi utama sekaligus mencabut beragam aturan yang akan melanggengkan kerusakan, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Minerba.
Parid menyerukan agar pemerintah untuk serius dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan tersebut. Karena jika lebih mengutamakan proyek yang merusak pesisir, laut, pulau kecil, dampaknya telah terlihat bahwa semakin banyak desa-desa di pesisir yang tenggelam yang tentu saja berdampak pada masyarakat pesisir. “Tahun 2045 lebih layak disebut sebagai Indonesia cemas, bukan Indonesia emas,” kata pengkampanye Pesisir dan Laut WALHI tersebut.