Kabupaten Paniai, Papua, berada di ujung jalur Trans Nabire di pegunungan tengah Papua. Wilayah ini menyimpan pesona serta kekayaan alam yang melimpah. Salah satunya kopi. Komoditas ini merupakan kekayaan alam Papua yang menjadi anugerah serta harapan masyarakat di sekitarnya. Tak heran kalau orang Paniai menyebutnya emas merah, karena bisa dipetik dan dipanen kapan saja tanpa harus merusak alam dan lingkungan.
Hanok Herison Pigai, salah satu pegiat kopi di Kabupaten Paniai, berkisah tentang kopi. Hanok adalah orang asli Papua yang menjadi pelatih utama soal kopi Arabika tingkat nasional. Ia juga memimpin Yayasan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat Papua (Yapkema Papua). Hanok menemani tim EcoNusa mengunjungi kampung yang berada di sekitar danau Paniai.
“Kopi sudah menjadi harapan warga dalam merajut masa depan. Kopi itu seperti emas yang bisa dipetik dan dipanen, serta diwariskan ke anak cucu tanpa harus merusak alam dan lingkungan. Serta tidak harus menggadaikan tanahnya kepada pengusaha dari luar untuk dijadikan tambang ataupun kebun sawit,” kata Hanok. Ia bertutur tentang semangat warga di kampung-kampung Paniai untuk menanam kopi.
Hanok pun mengajak tim EcoNusa untuk mengunjungi petani kopi di Paniai. Setelah menempuh perjalanan dua jam melalui danau dan sungai, tim EcoNusa sampai di Kampung Toyaimoti, Distrik Agadide. Tim EcoNusa menemui salah seorang petani kopi, Kris Kadepa. Ia merupakan salah satu pelopor petani kopi di Yapkema Papua.
Baca juga: Selayang Pandang Kopi Paniai
Kris merupakan anak mantan kepala desa yang menjadi penanam kopi pertama di kampung tersebut. Kris memiliki kebun kopi di pekarangan rumahnya yang diwariskan orang tuanya. Kebun kopi ini tidak terlalu luas namun terurus dengan baik. Di kebun ini Kris mengelola sekitar 300 pohon kopi. Sebagai penaung pohon kopi, ia menanam pohon jambu, cemara serta lamtoro sehingga pekarangan rumahnya menjadi teduh. “Kebun kopi di pekarangan saya selalu berbuah setiap saat sehingga bisa dipetik kapan saja,” kata Kris.
Dia juga aktif mengajak teman-teman dan keluarga lainnya di Distrik Agadide untuk menanam kopi. Kris menyediakan bibit kopi dan membagikannya secara gratis kepada orang lain yang ingin menanam kopi. Di lahan lain, Kris juga sudah menanam sekitar 2.000 pohon kopi.
Kopi yang dipetik Kris diproses dengan sistem proses kering. Semuanya dilakukan secara manual. Hanya pengupasan kulit buah saja yang dibantu dengan mesin pengupas manual bantuan pemerintah. Selebihnya masih dilakukan dengan cara kupas manual dengan tangan sampai kulit ari. Ia dibantu istri dan orang tuanya menjalani seluruh proses tersebut agar dapat dijual ke kota kabupaten.
Proses penjemurannya masih mengandalkan sinar matahari langsung dengan alas dari atap seng yang ditaruh di tanah. “Proses ini yang membuat sebagian besar petani kopi enggan untuk bertani kopi. Prosesnya membutuhkan kesabaran. Namun tidak adanya pasar membuat mereka enggan,” kata Kris.
Tapi bagi Kris kopi adalah penyambung kehidupan. Dalam sekali panen Kris bisa membawa kopi tersebut ke kota kabupaten dan menjualnya ke Yapkema dengan harga yang baik. Ia bisa membawa beras kopi atau green bean minimal 10 kilogram, bahkan kadang bisa 50 kilogram. “Harganya bisa sampai Rp80.000 per kilogram. Harga bisa lebih rendah dan juga lebih tinggi tergantung kualitas kopinya,” imbuh Kris.
Dulu sebelum ada pembeli tetap, kopi-kopi miliknya hanya menumpuk di gudang. Kalaupun ada pembeli biasanya harganya dipatok sama, yaitu Rp30.000-50.000 per kilogram green bean tanpa pandang kualitas.
Kopi menjadi harapan dan masa depan keluarganya dan sekitar 400 petani kopi lainnya di Paniai, karena bagi Kris kopi akan terus tumbuh dan berbuah. Kopi tersebut ditanam dan diproses dengan hati, dipetik penuh rasa cinta, untuk dihidangkan di cangkir kopi kepada penikmat kopi yang jauh dari rumahnya. Bagi masyarakat Paniai, kopi adalah penyambung hidup dan harapan.
Editor: Leo Wahyudi