Kepulauan Mapia, atau yang dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Kampung Mapia, terdiri dari tiga pulau utama: Pulau Brassi, Pulau Fanildo, dan Pulau Pegun. Kepulauan ini terletak di Kabupaten Supiori, Kecamatan Supiori Barat, Provinsi Papua. Posisi geografisnya yang unik, berada di tengah-tengah gugusan terumbu karang berbentuk kolam alami, menjadikannya sebuah surga tersembunyi di tengah luasnya Samudra Pasifik.
Salah satu ciri khas Kepulauan Mapia adalah pintu masuknya yang tersembunyi di antara gugusan terumbu karang. Untuk dapat masuk ke kawasan ini, kapal harus menunggu air pasang dan dibutuhkan panduan dari masyarakat lokal. Kesulitan akses ini sekaligus menjadi keistimewaan yang menjaga keaslian dan keindahan alam Mapia.
Warisan Sejarah dan Ancaman Bom Aktif
Tidak hanya keindahan alam, Kepulauan Mapia juga menyimpan sejarah yang dalam. Pada masa Perang Pasifik, pulau-pulau ini pernah menjadi pangkalan militer Jepang. Bukti-bukti sejarah tersebut masih bisa ditemukan hingga kini, seperti bekas landasan bandara militer di Pulau Pegun. Namun, keberadaan bom-bom aktif yang tertinggal dari masa perang tersebut menjadikan sebagian area di pulau ini berbahaya, hingga terdapat larangan menyalakan api di sekitar lokasi tertentu.
Batas Wilayah dan Pulau Netral
Kepulauan Mapia berbatasan langsung dengan Filipina, meskipun ada kesalahpahaman umum yang menyatakan bahwa batasnya adalah dengan Negara Palau. Di antara kedua negara tersebut, terdapat sebuah pulau tak berpenghuni yang disebut masyarakat sebagai “Pulau Netral”, karena tidak diakui sebagai bagian dari Indonesia maupun Filipina.
Kelapa dan Kopra: Potensi Ekonomi Lokal
Mapia dianugerahi dengan pohon kelapa yang tumbuh subur hampir di setiap jengkal tanahnya. Kelapa menjadi sumber daya utama bagi masyarakat, yang mengolahnya menjadi kopra. Hampir seluruh keluarga di Mapia terlibat dalam produksi kopra, yang kemudian dijual ke berbagai daerah seperti Biak, Manokwari, bahkan hingga Surabaya. Namun, distribusi kopra masih menghadapi tantangan besar karena keterbatasan moda transportasi yang jarang, sehingga pengiriman hanya bisa dilakukan ketika ada kapal yang singgah.
Kehidupan Sehari-hari dan Upaya Pelestarian Lingkungan
Selain produksi kopra, kehidupan sehari-hari masyarakat Mapia juga banyak dihabiskan di laut untuk mencari ikan. Mereka bekerja secara individu maupun berkelompok, serta bergotong-royong dalam menghadapi tantangan, seperti saat terjadi kebocoran minyak dari kapal yang karam di atas gugusan terumbu karang.
Pak Enggo, salah satu anggota keluarga kepala desa, selalu mengingatkan masyarakat tentang pentingnya menjaga laut dan terumbu karang yang menjadi pelindung mereka dari kerasnya ombak Samudra Pasifik. “Ini sudah tong punya warisan,” ujar Pak Enggo, menekankan bahwa kekayaan alam ini harus dilestarikan untuk anak cucu mereka kelak. Masyarakat setempat bekerja sama dengan kantor pos TNI AL, AD, dan POL AIR untuk menjaga kelestarian laut Mapia.
Wisata Mapia: Destinasi yang Menantang
Mengunjungi Mapia bukanlah perkara mudah. Kapal PELNI yang menjadi transportasi utama sering kali memiliki jadwal yang tidak menentu, bisa satu hingga tiga kali dalam sebulan, tergantung cuaca. Akses yang sulit ini menyebabkan Mapia jarang dikunjungi. Sarana dan prasarana pun masih terbatas; belum ada homestay atau penginapan yang memadai. Oleh karena itu, perjalanan ke Mapia perlu diorganisir dengan baik, dan sebaiknya menggunakan agen perjalanan yang berpengalaman.
Namun, bagi mereka yang berhasil mencapai Mapia, keindahan alam bawah lautnya menjadi hadiah yang tak ternilai. Kepulauan ini merupakan rumah bagi berbagai biota laut, termasuk Napoleon dewasa yang menari-nari di bawah air, hiu martil, penyu hijau, dan banyak lagi.
Mulai tahun 2025, EcoXplorer akan membuka rute wisata ke Mapia. Informasi lebih lengkap dapat diakses melalui situs web mereka di https://ecoxplorer.id.