Tingginya antusiasme publik terhadap kopi Ambaidiru rupanya belum diimbangi dengan skala produksi yang dapat memenuhi permintaan industri. Mayoritas petani kopi tradisional masih menjual hasil pertanian mereka dalam skala kecil dan terbatas di sekitar Kabupaten Yapen. Hanya pada acara tertentu, seperti Festival Kopi Papua, mereka mampu menjual lebih banyak.
Selain itu, belum ada standar pengolahan pasca panen yang dilakukan petani. Standar itu seharusnya diterapkan mulai dari pemetikan buah, pengupasan kulit, sirkulasi udara, suhu di rumah jemur, hingga proses sangrai. Tanpa standar yang baku, hal ini mengakibatkan penurunan kualitas cita rasa dan aroma kopi.
Praktisi kopi Ganjar Satyanagara menuturkan, dalam proses pemetikan buah kopi, belum ada standar buah kopi yang layak untuk dipanen. Misalnya, buah kopi berwarna merah dan kuning kemerahan dianggap siap panen. Tapi dalam proses penjemuran, sirkulasi udara di rumah jemur tak berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan kelembaban udara yang akan membuat tingginya kadar air di dalam biji kopi.
“Kadar air di dalam biji kopi seharusnya 11-12 persen. Namun sirkulasi udara yang kurang baik akan membuat kadar air masih berada sekitar 18-20 persen dengan waktu yang cukup lama,” kata Ganjar.
Kendala berikutnya terjadi dalam proses sangrai. Proses sangrai green bean masih dilakukan secara manual menggunakan minyak tanah atau kayu sebagai bahan bakar. Tanpa standar api dan waktu yang memadai, green bean terpanggang lebih lama. Akibatnya, biji kopi menghitam dan membuat kandungan karbon dalam biji kopi lebih tinggi. Rasa kopi menjadi lebih pahit.
“Bila kita berikan standar dari mulai petik cherry merah sampai standar suhu dan waktu saat roasting, itu akan menghasilkan cita rasa yang kompleks. Kami yakin apabila proses standar ini dilakukan di Ambaidiru maka kopi Ambaidiru mempunyai cita rasa yang khas yang tidak dimiliki daerah lain,” kata Ganjar. Untuk bersaing di industri kopi, menurut Ganjar, kopi Ambaidiru telah memiliki jenama atau jenis yang khas.
Ganjar menjelaskan bahwa pohon kopi yang ditanam sejak era Belanda masih berdiri dan berbuah di lokasi Kakupi dan Paputum. Rata-rata pohon kopi, lanjut dia, hanya bertahan selama 25 tahun. Selain itu, bentuk pohon kopi di kedua lokasi tersebut tergolong unik. Pemangkasan pohon membuat batang pohon tumbuh meliuk-liuk layaknya bonsai setinggi 1,5 meter.
“Mereka juga menggunakan pupuk organik. Hal itu sangat bagus untuk dalam penyusunan branding sebelum kemudian melakukan marketing dan brand activation. Ke depan, potensi agrowisata juga memungkinkan dilakukan di Ambaidiru,” kata Ganjar optimis.
Staf Pengelolaan Sumber Daya Alam Yayasan EcoNusa Vanji Dwi Prasetyo mengatakan, industri kopi Ambaidiru perlu mendapat intervensi lebih lanjut dari pemerintah daerah. Menurut Vanji, selain sebagai sumber penghasilan masyarakat, kebun kopi Ambaidiru berperan sebagai kawasan penyangga Cagar Alam Yapen Tengah.
“Pemangku kepentingan di Ambaidiru perlu menjaga kualitas secara konsisten untuk menghasilkan kopi yang baik dan bisa memenuhi permintaan pasar,” ucap Vanji.
Editor: Nina Nuraisyah