Berdasarkan kajian Jenna Jambeck pada 2015 terkait marine pollution, IUU Fishing serta dampak perubahan iklim, lautan di dunia kian mengalami tekanan yang luar biasa. Tak terkecuali di wilayah laut Indonesia. Berbagai ancaman hingga kini masih terus mengintai. Misalnya, persoalan pencemaran pesisir dan laut, penangkapan ikan berlebihan, serta perubahan iklim. Ancaman penangkapan berlebih dan pencemaran terhadap laut disebabkan oleh perilaku dan pola konsumsi manusia yang tidak bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini diperparah lagi oleh kesepakatan para pemimpin dunia terhadap kebijakan-kebijakan perlindungan dan keberlanjutan laut yang masih belum optimal. Termasuk di dalamnya persoalan eksploitasi dalam sektor perikanan, terutama eksploitasi ikan hiu.
Dalam hal eksploitasi ikan hiu sebagai salah satu sumber daya ikan, Indonesia termasuk negara penangkap hiu terbesar di dunia. Hal ini ditunjukkan oleh data Food and Agriculture Organization (FAO) atau Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (2000-2008) yang dilansir dari The Future of Sharks: A Review of Action and Inaction, TRAFFIC International and the Pew Environment Group (2011), bahwa Indonesia masuk ke dalam 20 daftar negara penangkap hiu terbesar di dunia. Bahkan total tangkapan Indonesia sekitar 13 persen dari total tangkapan hiu di dunia.
Penangkapan ikan hiu didorong oleh permintaan sirip hiu dari pasar dalam dan luar negeri. Salah satu negara tujuan ekspor sirip hiu ialah China dan Hongkong .Selain itu harga per kilogram sirip hiu juga menggiurkan bagi nelayan. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), satu kilogram sirip hiu dapat dijual dengan harga Rp750.000 – Rp2.000.000 tergantung ukurannya. Akibatnya, terjadi penurunan populasi beberapa jenis hiu hiu di Indonesia termasuk yang telah dilindungi secara penuh dan secara terbatas. . Pemerintah telah melakukan upaya untuk melakukan pengelolaan sumber daya ikan hiu dengan cara mengeluarkan beberapa peraturan menteri (Permen).
Memang tidak semua hiu dilindungi. Tetapi ada juga yang telah mengalami penurunan populasi di alam. Pada praktiknya, hiu yang tertangkap hanya diambil bagian siripnya kemudian dikembalikan lagi ke laut dalam keadan hidup tanpa sirip. Hiu-hiu tersebut lalu akhirnya mati secara perlahan. Praktik tersebut makin marak sehingga mengundang kecaman dari para pegiat kelautan, baik para ahli maupun organisasi yang peduli hiu.
Data ekspor sirip dan daging hiu di Indonesia
Dari statistik data FAO (2013), diperoleh informasi bahwa sejak 2004 sampai dengan 2011 Indonesia telah menangkap 324.000 ton berbagai jenis hiu. KKP memaparkan bahwa pada 2011, penangkapan berbagai jenis hiu mencapai 50.000 ton. Selanjutnya dipaparkan bahwa 48 persen dari penangkapan berbagai jenis hiu tersebut terdiri dari penangkapan hiu lanyam (requiem sharks) dan hiu monyet/tikus (thresher sharks) sebesar 36 persen, hiu botol (dogfish sharks) sebesar 8 persen, hiu martil (hammerhead sharks) 7 persen, dan hiu mako (mackerel sharks) sebesar 1 persen.
Sedangkan data BPS (2014) menunjukkan ekspor sirip hiu dari Indonesia mencapai 248,7 ton. Angka ini cenderung mengalami penurunan dari 367,3 ton pada 2013 dan 514,3 ton pada 2012. Kendati demikian, tren ekspor daging hiu meningkat pada 2014 yang mencapai 2.280,2 ton dari 1.954,5 ton pada 2013 dan 1.764,6 ton pada 2012. Nilai ekspor sirip hiu dari 2013 sampai dengan 2015 sendiri mencapai USD 2.890.676 atau setara kurang lebih Rp38.445.990.800.
Kelestarian hiu berperan penting bagi kehidupan
Hiu dianggap sebagai Apex Predator atau pemangsa puncak dalam rantai makanan. Hiu berfungsi sebagai penyeimbang ekosistem laut. Bahkan muncul istilah “dokternya lautan”, karena sebagai predator tertinggi, hiu-hiu akan memangsa ikan-ikan yang sedang sakit dan renta sehingga kesehatan ekosistem laut terjaga. Keseimbangan ekosistem laut sangat diperlukan Indonesia yang memiliki total luasan laut yang mencapai 70 persen dari luas daratan. Dengan luas lautan sebesar itu, kehidupan masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di pesisir sangat bergantung pada sumber daya laut.
Tulisan ini mendapatkan momentum penting, karena 14 Juli merupakan World Sharks Awareness Day atau Hari Kepedulian atau Kesadaran terhadap Hiu Sedunia. Peringatan ini diadakan agar seluruh masyarakat dunia sadar dan tahu betapa pentingnya peran hiu dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Dengan populasi hiu yang sehat dan seimbang, kesehatan laut pun terus terjaga. Maka, sumber daya laut dapat terus dinikmati dan dimanfaatkan oleh generasi berikutnya.
Jangan takut pada hiu di laut, tetapi takutlah jika di laut tak ada hiu!Selamat memperingati World Shark Awareness Day.
Editor: Vironica Arnila Wulandani dan Leo Wahyudi S.