Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Ekowisata Arfak Makin Mendunia

Bagikan Tulisan
Hans Mandacan, pegiat ekowisata pengamatan burung di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Hans Mandacan, 33, lahir di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat. Hans dan keluarganya termasuk dalam Suku Khatam. Ia memiliki 3 anak dan 2 di antaranya masih duduk di bangku SMP dan SMA. Meskipun hanya tamat SD, namun itu tidak membuat Hans berhenti belajar. Proses pembelajarannya terbukti dengan perjalananan hidupnya yang sudah 11 tahun menggeluti ekowisata di tanah kelahirannya.

“Kita melihat ekowisata adalah program yang harus dikembangkan. Kita orang Arfak punya hutan dalam 3 zona, yaitu susti, mohanti, dan pahanti. Dalam Bahasa Khatam disebut juga Igye Ser Hanjob ,yang artinya memiliki dan menjaga hak wilayah,” kata Hans.

Ketekunan dan perjuangannya kini membuahkan hasil. Hans Mandacan kini terkenal karena bisnis ekowisata birdwatching yang ia miliki. Ekowisata yang sudah ia jalankan sejak 2009 ini kini berjalan lancar. Sebelumnya selama 5 tahun ekowisata birdwatching ini tidak pernah maju sampai 2016. Namun kini keberuntungan menghampiri dirinya. Kelancaran usahanya makin lancar sehingga  membuat Hans tidak berhenti mensyukurinya.

Hans menceritakan bahwa dulu pekerjaan utamanya adalah petani. Tapi, setelah ia membuka ekowisata pekerjaan utamanya adalah pemandu wisata atau tour guide. “Saya menjaga tamu. Saya juga yang mengatur di lapangan agar masyarakat lokal di sini terlibat. Entah itu menjadi porter, juru masak, atau menjual kayu bakar kepada tamu. Kita orang Arfak harus membagi tugas dan membantu satu sama lain. Kita harus bergandeng tangan untuk memelihara hutan kami agar aman,” kata Hans.

Pegunungan Arfak memiliki alam luar biasa dengan suguhan panorama dan burung-burung. Pegunungan yang berada di ketinggian 2.000 mdpl ini dapat memanjakan wisatawan dengan melihat beragam spesies burung melalui kegiatan birdwatching. Pengunjung dalam jam-jam tertentu akan dibawa oleh pemandu lokal untuk melihat burung cenderawasih.

Hans tidak hanya menjalankan usaha ekowisata birdwatching, namun juga penginapan yang ia kelola sendiri. Namanya Papua Lorikeet. Sebelum mendirikan penginapan ini, Hans memakai rumahnya sendiri yang berada di Kampung Kwau untuk dijadikan tempat menginap para tamu domestik maupun turis. “Harga untuk tamu domestik dan turis asing yang datang sudah pasti berbeda. Harga menginap semalam turis asing Rp 150.000 dan orang lokal Rp 100.000. Sedangkan untuk bayaran pemandu tamu domestik Rp 300.000 per hari dan Rp 500.000 per hari untuk turis asing,” papar Hans.

Belasan tahun menghadapi tamu domestik maupun turis asing yang datang ke kampungnya untuk menikmakti ekowisata, Hans harus belajar menyesuaikan selera mereka. “Seperti orang China itu sulit sekali untuk di makanan. Kami harus benar-benar menyesuaikan makanan mereka. Misalnya dengan menyediakan makanan China. Selain itu, rata-rata mereka tidak bisa berbahasa Inggris, jadi sedikit sulit untuk berkomunikasi dengan kita,” katanya.

Cara memperlakukan tamu wisatawan pun harus dipikirkan Hans. Ketika ditanya tentang karakteristik tamu lokal atau domestik dan tamu manca, Hans hanya tertawa. Menurutnya, perlakuan terhadap tamu domestik agak lebih sulit.  “Untuk tamu dari Eropa, kami sediakan tempat apa saja mereka menerima. Tapi kalau tamu domestik kita harus menyediakan tempat yang mewah,” kata Hans.

Ekowisata dan transformasi hidup

Ekowisata birdwatching yang ditawarkan Hans memiliki daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. Dalam suasana pagi, Hans akan membawa para wisatawan yang berukunjung di kampungnya untuk melihat kekayaan satwa yang bisa menjadi pewarna hari (mood booster). Para wisatawan akan dipandu agar dapat melihat empat spesies yang termasuk dalam satwa endemik Arfak. Selain mendengarkan kicauan burung di pagi hari, mereka dapat melihat Cenderawasih Belah Rotan (Cicinnurus magnificus), Parotia Arfak (Parotia Sefilata), Namdur Polos (Amblyornis inornatus), dan Paruh Sabit Kuriruri (Epimachus fastuosus). Keempat jenis burung yang memiliki keunikannya sendiri-sendiri ini menarik banyak wisatawan untuk melihat mereka dan berburu foto. Burung-burung itulah yang selalu memberikan penghidupan bagi Hans dan masyarakat sekitar.

Dalam ekowisata birdwatching ini, turis tidak diperbolehkan menyentuh suatu benda atau burung, atau bertindak lebih dari itu. Mereka hanya boleh melihat dan mengambil foto. Pengalaman dan foto itulah yang dapat mereka bawa pulang. “Ekowisata tidak merugikan, karena yang datang hanya meliput dan mengambil gambar saja. Satu burung yang kami jaga bertahun-tahun dapat mendatangkan Rp 50 juta lebih. Artinya, kami melihat ekowisata sangat berarti bagi kami. Mereka mendapat foto dan kami mendapatkan uang untuk masyarakat. Itulah mengapa kami harus menjaga hutan, melestarikan apa yang ada di kawasan itu, agar semua terjaga dan aman,” kata Hans penuh keyakinan.

Sudah 11 tahun Hans mengelola ekowisata. Sudah banyak perubahan yang terjadi pada diri pria 33 tahun ini dan keluarganya. Banyak pula pengalaman baru yang ia peroleh. “Perubahan tentu saja terjadi. Saya mengenal orang asing yang berbeda kulit, berbeda budaya dan bahasa. Makanan saya dulu dibakar saja. Sekarang makanan bisa dimasak dengan bermacam-macam cara dan rasa. Saya dulu biasa jalan kaki sampai capek, kini ada kendaraan. Dulu saya tidak pernah naik pesawat, kini saya bisa naik pesawat. Ekowisata memang hebat sekali bagi kami,” jelas Hans.

Sifat Hans sebagai pekerja keras terlihat dari kemampuannya kini untuk berbicara Bahasa Inggris dengan lancar. Katanya, jika mau ekowisata berjalan lancar Bahasa Inggris harus dikuasai dengan baik. “Saya mencari dan membeli beberapa buku untuk dibaca. Saya memutar televisi dan kaset untuk mendengar dan belajar mengucapkan. Saya belajar sendiri di rumah saja, tidak belajar dari siapapun,” Hans menjelaskan bagaimana ia belajar menguasai Bahasa Inggris.

Harapan untuk Ekowisata dan Masyarakat

Hans tidak menikmati keberhasilannya sendiri. Ia selalu mengajak masyarakat sekitar untuk turut andil dalam ekowisata yang dijalaninya. Partisipasi masyarakat dalam praktik ekowisata memberi dampak yang bagus. “Kami semua sepakat untuk bergandeng tangan menjaga kawasan ekowisata sehingga mereka tidak berburu dan tidak berkebun,” kata Hans. Masyarakat memiliki kesepakatan untuk tidak merusak alam. Kalau ada orang yang menembak satu burung, maka ia akan didenda Rp 10 juta. Menembak burung Cenderawasih, dikenai denda Rp 10 juta. “Masyarakat paham aturan ini, karena kami merasakan dampak baik dari ekowisata,” lanjutnya.

Ia berharap kampung-kampung di sekitarnya yang belum mengenal ekowisata harus mendapat pendampingan untuk mengembangkan potensi kampungnya. Paling tidak mereka dapat merasakan manfaat ekowisata seperti yang dialami di Kampung Kwau. “Untuk kampung yang belum kenal ekowisata, pertama yang harus dilakukan adalah menjaga alam. Jangan sampai cucu kita nanti hanya bisa kita beri dongeng tentang  burung yang bisa menari,” kata Hans.

Kampung Kwau memiliki motto yang terus dijaga. “Bagi kami, hutan adalah mesin yang dapat  menciptakan uang untuk masyarakat. Karena hutan itu memiliki segala isinya, dari tumbuhan, fauna, flora. Kalau kita menjaga hutan, kita menjaga mesin itu. Motto kami itu saja,” pungkas Hans.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved