EcoStory

​​EcoNusa dan Balai Perhutanan Sosial Perkuat Kerja Sama Percepatan Pengelolaan Perhutanan Sosial di Maluku dan Papua

Bagikan Tulisan

Yayasan EcoNusa menandatangani perjanjian kerja sama dengan Balai Perhutanan Sosial (BPS) Ambon dan Balai Perhutanan Sosial Manokwari, Rabu, 20 Agustus 2025. Kerja sama ini berfokus pada percepatan dan penguatan pelaksanaan pengelolaan perhutanan sosial di wilayah kerja kedua balai, yang mencakup hampir seluruh kawasan Kepulauan Maluku dan Tanah Papua. Perjanjian kerja sama tersebut menjadi tonggak penting dalam upaya mendukung pelaksanaan program perhutanan sosial yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pengelolaan hutan.

Kolaborasi antara EcoNusa dan kedua balai ini didesain untuk mendorong penguatan masyarakat adat dan lokal yang tinggal di sekitar hutan dari berbagai aspek. Mulai dari pendampingan permohonan izin pengelolaan, pengembangan kawasan, kelembagaan, hingga usaha produktif. Di dalamnya juga termasuk upaya pemetaan wilayah adat, penanganan konflik tenurial, inventarisasi kearifan lokal, serta peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan pendampingan.

Baca Juga: Kopra: Sumber Penghidupan dari Pulau Pai dan Kampung Yamnaisu

CEO Yayasan EcoNusa, Bustar Maitar, mengatakan dukungan terhadap masyarakat adat menjadi inti dari kerja sama ini. EcoNusa berkomitmen membantu masyarakat adat dalam proses pemetaan wilayah agar dapat diakui negara sebagai hutan adat. “Kami percaya, hak masyarakat adat harus dipenuhi. Dengan pendampingan pemetaan dan pengajuan hutan adat, mereka bukan hanya memiliki akses legal, tetapi juga bisa mengelola hutan secara mandiri. Selain itu, kami ingin agar masyarakat memperoleh manfaat ekonomi dari hutan yang mereka rawat turun-temurun,” kata Bustar.

Kepala BPS Manokwari, Susan Trida Salosa, melihat kerja sama ini sebagai langkah melanjutkan inisiatif yang sebelumnya sudah dijalankan. EcoNusa telah mendampingi masyarakat di beberapa wilayah dalam pemetaan adat dan pemberdayaan ekonomi, sehingga kolaborasi tersebut melanjutkan kerja-kerja yang telah ada, terutama dalam aspek ekonomi. “Masyarakat punya produk, punya komoditas. Sayangnya, pemasaran masih menjadi titik lemah. Di sinilah EcoNusa dapat berperan sebagai off-taker untuk membantu distribusi produk masyarakat. Dengan begitu, nilai tambah bisa dinikmati langsung oleh kelompok tani hutan,” ujarnya.

Kepala BPS Ambon, Ojom Somantri, menegaskan bahwa karakter perhutanan sosial sangat berbeda dengan pengelolaan hutan oleh korporasi. Jika perusahaan padat modal dan memiliki sumber daya manusia profesional, masyarakat justru mengandalkan kerja kolektif dengan modal terbatas. “Karena itu, mereka butuh mitra seperti EcoNusa yang bisa memberikan pendampingan usaha, membuka akses pasar, sampai pada pengembangan kapasitas. Harapan kami, amanat Perpres 28 tentang Percepatan Terpadu Perhutanan Sosial bisa terealisasi. Tujuan akhirnya jelas bahwa masyarakat sejahtera, hutan tetap lestari,” tuturnya.

Ojom juga menyoroti potensi besar hasil hutan bukan kayu di wilayah Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat Daya, seperti pala, cengkih, nilam, dan damar. Ia berharap, komoditas ini bisa menjadi produk unggulan bernilai tinggi jika diolah dengan baik. Selain itu, jasa lingkungan, seperti penyediaan air bersih, dapat dikembangkan sebagai usaha masyarakat. “Masyarakat menjaga hutan, air tetap mengalir, dan dari situ ada potensi ekonomi yang bisa mereka kelola,” tambah Ojom.

Baca Juga: Masyarakat Lakahia Berkomitmen Melindungi Wilayah Adat

Balai Perhutanan Sosial Ambon memiliki wilayah kerja yang mencakup empat provinsi, yakni Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Sedangkan BPS Manokwari membawahi lima provinsi, yaitu Papua Barat, Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan. Wilayah yang luas dengan keberagaman ekologi serta budaya masyarakat adat menjadikan perhutanan sosial di kawasan ini sebagai tantangan sekaligus peluang besar.

Kerja sama ini diharapkan dapat membuka jalan lebih luas bagi masyarakat adat dan lokal di Maluku serta Papua untuk benar-benar menjadi pelaku utama pengelolaan hutan. Melalui pendampingan dan dukungan pemasaran, hasil hutan bukan kayu bisa diolah lebih baik, nilai tambah dapat dinikmati masyarakat, dan hutan tetap terjaga dari eksploitasi yang merusak.

Secara nasional, program perhutanan sosial sudah berjalan selama 35 tahun. Hingga kini, pemerintah telah memberikan akses kelola seluas 8,32 juta hektare kepada masyarakat, mencakup 11.065 surat keputusan. Lebih dari 1,4 juta kepala keluarga menjadi penerima manfaat, dan sebanyak 15.754 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) telah terbentuk. Nilai ekonomi yang dihasilkan sepanjang Januari-Agustus 2025 telah mencapai Rp417 miliar, meski target 2025 ditetapkan sebesar Rp1,5 triliun. Angka tersebut menunjukkan bahwa masih ada ruang besar untuk penguatan kapasitas, pengembangan usaha, serta akses pasar bagi masyarakat.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved