
Bagi masyarakat Tehit Mlaqya yang mendiami Kampung Wersar Tapiri di Distrik Teminabuan, Sorong Selatan, hutan bukan sekadar kumpulan pohon, melainkan ruang hidup yang menyimpan sejarah, sumber pangan, dan warisan identitas. Menjaga hutan berarti menjaga diri mereka sendiri, menjaga anak cucu, serta menjaga keseimbangan alam yang menopang kehidupan.
Di dalam hutan, mereka juga membuka kebun dan menanaminya dengan beraneka ragam tanaman pangan, seperti keladi, kasbi (singkong), dan pisang. Kebun mereka menjadi bagian dari agroforestri yang dibudidayakan secara lestari. Umbi dan buah yang dihasilkan tanaman tersebut menjadi bahan makanan pokok yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat.
Memanfaatkan Potensi Pisang
Selama ini pisang menjadi bagian dari keseharian. Masyarakat merebus atau menggorengnya sebagai bahan makanan pokok maupun camilan. Mereka juga menjual pisang ke pasar, dengan harga Rp10.000-15.000 per sisir. Namun karena suplai yang melimpah, tidak jarang pisang hasil panen masyarakat tersebut tidak laku terjual, menumpuk di lapak, dan akhirnya rusak. Sehingga, masyarakat sering kali tidak memanen pisang yang telah masak. Mereka membiarkan pisang matang di pohon, jatuh ke tanah, lalu membusuk tanpa sempat dimanfaatkan.
Baca Juga: Mama Yulita Buat Limbah Kepala Udang Bernilai Ekonomi
Saat melakukan pemetaan kampung bersama masyarakat, tim EcoNusa melihat pisang sebagai potensi yang bisa ditingkatkan nilainya untuk menambah penghasilan masyarakat. Terlebih, wilayah yang didiami oleh masyarakat Tehit Malaqya adalah bekas konsesi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat menolak kehadiran perusahaan sawit tersebut karena hutan adalah sumber penghidupan mereka. Dengan meningkatkan nilai pisang, masyarakat ingin tetap mempertahankan hutan namun bisa meningkatkan penghasilan.
Pengolahan Keripik Pisang
EcoNusa memberikan pelatihan pengolahan keripik pisang kepada masyarakat. Perempuan-perempuan Tehit Mlaqya, atau yang biasa dipanggil mama-mama Mlaqya, dengan semangat memperhatikan. Mereka kemudian mulai mengolah pisang menjadi keripik. Meski dengan alat seadanya yaitu pisau tajam, wajan besar, dan kompor sederhana, mereka memotong tipis pisang, menggorengnya hingga keemasan, lalu menaburkan sedikit garam. Rasanya gurih dan renyah.
Awalnya, keripik ini hanya dibuat untuk konsumsi rumah tangga atau dijual kecil-kecilan di pasar kampung. Belum ada nama, belum ada merek, harganya pun murah, kemasannya sederhana, tapi bisa menambah uang belanja.
Melihat semangat mama-mama, EcoNusa memberikan pelatihan lanjutan untuk meningkatkan kualitas keripik pisang. Dari pelatihan itu, mereka belajar menjaga kualitas, merapikan kemasan, dan mengenalkan produknya ke luar kampung.

Mama-mama juga memberikan merek pada keripik pisang buatan mereka. Nama Mlaqya yang merupakan nama sub suku asal mereka terpilih menjadi merek. Mlaqya berarti bukit atau benteng kecil. Mama-mama juga bersepakat mendirikan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dengan nama yang sama. KUPS Malaqya kini berfokus mengolah komoditas pisang di kampung mereka. Bagi mama-mama Mlqya, keripik pisang hasil olahan mereka merupakan benteng kecil untuk mempertahankan keberadaan hutan.
Baca Juga: Teluk Arguni, Gudang Pala dan Komoditas Hutan Kaimana
Selain dijual di pasar, keripik pisang Mlaqya dipasarkan yang fasilitasi oleh EcoNusa di sebuah ajang lokal, mama-mama sangat bangga hasil kerja mereka bisa sejajar dengan produk lain. Terlebih saat EcoNusa membawa produk mereka ke berbagai pameran, pertemuan, dan forum ekonomi. Masyarakat semakin yakin bahwa menjaga hutan bisa berdampingan dengan peningkatan ekonomi.
Keterlibatan Anak Muda
Setiap berproduksi, mama-mama bekerja bersama dan saling bergotong royong. Dapur kelompok tidak hanya menjadi ruang kerja, tapi juga tempat mereka mempererat persaudaraan. Mama-mama saling berbagi tugas. Ada yang mengupas pisang, ada yang mengiris tipis, ada yang menggoreng, ada pula yang menyiapkan kemasan. Tawa, obrolan ringan, hingga nyanyian sering terdengar di sela pekerjaan. Dapur itu bukan sekadar tempat memasak, melainkan juga ruang sosial yang mempererat hubungan antaranggota kelompok.
Anak-anak muda pun mulai ikut serta. Mereka belajar cara mengiris dengan ketebalan yang pas, cara menjaga minyak tetap panas, dan cara menata kemasan agar rapi. Tanpa disadari, dapur itu menjadi sekolah kecil, tempat nilai kebersamaan, kerja keras, dan kebanggaan identitas diwariskan ke generasi berikutnya.
Pendampingan Bisnis
Selain memberikan pelatihan pengolahan keripik pisang, EcoNusa juga melakukan pendampingan bisnis. Mama-mama Mlaqya mulai belajar menyusun rencana bisnis sederhana. Mereka belajar untuk mencatat pemasukan dan pengeluaran, menghitung biaya produksi, serta menentukan harga jual yang adil. “Sekarang kita bisa tahu berapa untungnya, tidak hanya kira-kira saja,” kata salah seorang mama dengan senyum bangga.
Keripik pisang ini menjadi benteng kecil ekonomi yang menjaga agar masyarakat tidak mudah tergoda meninggalkan hutan demi uang cepat dari praktik merusak. Dengan adanya usaha ini, mama-mama bisa mendapatkan penghasilan tambahan. Uangnya bisa ditabung untuk sekolah anak. Kebutuhan sehari-hari pun dapat terpenuhi tanpa harus mengorbankan hutan adat.
Editor: Nur Alfiyah


