Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Cerita Sekolah Kampung Vanili: Berawal dari Pesimistis menjadi Keyakinan akan Perubahan

Bagikan Tulisan
Masyarakat mempraktikkan cara penyerbukan vanili di Sekolah Kampung yang digagas oleh EcoNusa. (Yayasan EcoNusa/Alberth Yomo)

Vanili (Vanilla planifolia) punya nilai ekonomi yang tinggi sampai-sampai disebut sebagai emas hijau. Rempah satu ini masih menjadi salah satu produk paling diminati hingga skala internasional. Dengan harga US$200 atau setara dengan Rp2,85 juta per setengah kilogram, membuat biji vanili menempati peringkat ketiga sebagai rempah termahal di dunia.

Banyak masyarakat di Jayapura, Papua yang mencoba membudidayakan vanili karena tergiur dengan harga yang tinggi itu. Bahkan bibit vanili menjadi objek proyek. Ribuan bibit vanili dibagikan ke petani.

Paul Wouw adalah salah satu petani dari Kampung Rephang Muaif, Jayapura yang mencoba menanam vanili. Pria berusia 57 tahun tersebut telah menanam lebih dari 3.000 vanili sejak 2010. Namun, ia tak diberi tahu bahwa vanila membutuhkan perlakuan khusus agar bisa berbuah dengan maksimal. “Petugas penyuluh lapangan yang datang hanya foto-foto kebun dan berikan buku, tapi tidak menjelaskan,” katanya.

Baca Juga: Alumnus Sekolah Transformasi Sosial Jadi Guru Budidaya Vanili di Kampungnya

Hingga awal 2023, ia baru memanennya tiga kali. Itu pun dijual dengan harga yang lebih murah dari pasaran. “Paling tinggi dapat 10 kilogram, dijual ke penadah, dapat uang hanya cukup untuk beli gula dan teh,” ujarnya.

Nasib yang sama juga dialami oleh para petani lain. Ketua Kelompok Vanili Kampung Sarmai Atas, Abiatar Waisimon, mengatakan hasil panen anggota kelompoknya masih minim. “Di kelompok kami, paling tinggi hasil yang dipanen itu 27 kilogram, padahal tanaman vanilinya ada 1.000 pohon,” tuturnya.

Karena hasil yang tak sesuai harapan, banyak petani yang lebih memilih membiarkan tanaman vanilinya begitu saja tanpa perawatan. Tak sedikit pula yang memilih membabat habis tanaman mereka.

Yustus Yekusamon dari Perkumpulan terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Papua (Pt.PPMA) mengatakan ada pengetahuan yang tidak sampai ke petani, sehingga mereka menganggap bahwa berkebun vanili sama saja dengan tanaman lainnya. Padahal, vanili tak bisa diperlakukan dengan sembarangan jika ingin mendapatkan hasil yang optimal. Tanaman vanili perlu tumbuhan inang, pemupukan yang teratur, hingga penyerbukannya pun dibantu oleh tangan manusia. “Jika petani memahami ilmunya, tanaman vanili tidak akan mengecewakan,” tuturnya.

Baca Juga: Pembangunan Homestay di Arefi Timur, Upaya Pemulihan Ekonomi Masyarakat

Yayasan EcoNusa menggandeng Pt.PPMA untuk mengedukasi para petani tentang vanili melalui Sekolah Kampung Budi Daya Vanili pada 19 Februari-4 Maret 2023. Sekolah Kampung kali ini diadakan di 4 kampung, yakni Kampung Uskwar dan Kampung Wembi di Kabupaten Keerom, serta Kampung Rephang Muaif dan Kampung Sarmai Atas di Kabupaten Jayapura. Di Sekolah Kampung tersebut, para petani didorong untuk mengetahui proses berkebun vanili yang benar mulai dari menyiapkan lahan hingga pemanenan, disertai praktik langsung.

Masyarakat sangat antusias dengan program ini. Banyak warga yang tetap memaksa ikut dan rela duduk berdesak-desakan, meski mereka mengetahui bahwa peserta dibatasi 20 orang di tiap Sekolah Kampung. Bahkan di Kampung Wembi, pesertanya membludak hingga 40 orang.

Elisabeth Wouw, salah satu peserta yang ikut Sekolah Kampung Kampung Rephang Muaif, mengatakan proses pembelajaran budi daya vanili yang diberikan tim EcoNusa dan Pt.PPMA menjadi jawaban atas persoalan yang selama ini dihadapi oleh petani vanili. “Cara kase kawin bunga, cara kase lingkar sulur yang benar, buat mulsa, dan hitung-hitung ekonomi untung-rugi itu kami baru dapat hari ini. Sekarang baru kami mengerti,” katanya.

Kader Kampung Uskwar, Serfandus Penaf, yang ikut mendampingi masyarakat di Sekolah Kampung sangat antusias dengan kegiatan ini. Ia sebelumnya telah mengikuti Sekolah Transformasi Sosial yang diadakan oleh EcoNusa di Kampung Wambes, Keerom pada Oktober 2022. “Saya mulai termotivasi ketika ikut kegiatan Sekolah Transformasi Sosial di Wambes. Dari kegiatan itu, sekarang saya sudah tanam 100 tanaman vanili,” ujarnya.

Ia dan Ondoafi Kampung Uskwar, Manfret Isumungkir, berjanji akan menyebarkan pengetahuan budi daya vanili di Kampung Uskwar. Anggaran pemerintah kampung untuk pemberdayaan ekonomi akan dialokasikan untuk memperkuat gerakan tanam vanili di Kampung Uskwar.

Baca Juga: Merawat Jaring Harapan di Kampung Segun

Kepala Kampung Rephang Muaif, Albertina Demotokay, yang mengikuti Sekolah Kampung dari awal sampai akhir, langsung memutuskan bahwa alokasi dana pemberdayaan ekonomi dari dana desa akan dicurahkan semua untuk pengembangan budidaya vanili. “Luar biasa materi ini. Saya sangat senang, warga di sini juga sangat senang karena baru dapat informasi yang jelas seperti ini. Jadi saya sudah sampaikan ke warga, bahwa dana pemberdayaan ekonomi akan digunakan 100 persen untuk pengembangan budidaya vanili,” tuturnya.

Sekertaris Kampung Wembi, Anita Bogor, juga mengatakan akan mengalokasikan dana desa untuk pengadaan bibit. “Kami pemerintah kampung akan alokasikan dana 30 persen untuk pengadaan bibit vanili,” katanya.

Pelaksanaan Sekolah Kampung merupakan rangkaian kegiatan Sekolah Eco-Involvement. Program tersebut diawali dengan proses pemetaan potensi komoditas dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dari hasil pendataan tersebut, EcoNusa merumuskan materi untuk Workshop Kepala Kampung dan Sekolah Transformasi Sosial. Di Kabupetan Jayapura dan Kabupaten Keerom, kegiatan ini dilakukan di Kampung Wambes, Distrik Mannem, Kabupaten Keerom pada Oktober 2022. Program kemudian dilanjutkan dengan kegiatan Sekolah Kampung.

Editor: Nur Alfiyah
 

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved