Search
Close this search box.
EcoStory

Buah Manis dari Jalan Berliku Masyarakat Pertahankan Wilayah Adat

Bagikan Tulisan
Perwakilan Masyarakat Adat dari Sub Suku Sub-suku Nakin Onim Fayas, saat menerima SK Penetapan MHA dan Wilayah Adat, di Sorong Selatan, 6 Juni 2024. (EcoNusa)


Senyum merekah di wajah masyarakat adat Sub-suku Tehit Mlaqya dan Sub-suku Nakin Onim Fayas, April 2024 lalu. Perjuangan panjang mempertahankan wilayah adat mereka berbuah manis dengan ditandatanganinya Surat Keputusan (SK) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Wilayah Adat oleh Bupati Sorong Selatan. 

Perjalanan panjang ini dimulai ketika beberapa wilayah di Kabupaten Sorong Selatan terancam pembukaan hutan dan lahan untuk perkebunan kelapa sawit oleh beberapa perusahaan. Rencana itu ternyata disepakati tanpa ada diskusi atau persetujuan dari masyarakat. Tahun 2018, Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan menginstruksikan untuk melakukan evaluasi perizinan industri berbasis lahan, terutama perkebunan kelapa sawit. 

Hasilnya, pertengahan 2021 Gubernur Papua Barat kala itu, Dominggus Mandacan dan Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli, mencabut 17 izin konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit termasuk yang berada di Sorong Selatan. 

Bersamaan dengan proses pencabutan izin belasan perkebunan sawit, masyarakat adat Sub-suku Tehit Mlaqya dan Sub-suku Nakin Onim Fayas, berinisiatif untuk memetakan wilayah adat mereka, agar dapat mendapatkan pengakuan, serta  pelindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Wilayah Adat. Bersama dengan Yayasan EcoNusa, masyarakat adat  Sub-suku Tehit Mlaqya dan Sub-suku Nakin Onim Fayas memulai langkah untuk mendapatkan pengakuan sah atas tanah mereka.

Masyarakat adat sedang belajar menggunaan GPS untuk melakukan pemetaan wilayah adat. (EcoNusa)

EcoNusa mendampingi masyarakat untuk melakukan pemetaan partisipatif pelindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Pendampingan ini dimulai dengan asesmen wilayah dan pelatihan pemetaan partisipatif, pencatatan sejarah suku dan penggunaan GPS. Langkah ini penting untuk memetakan wilayah hutan mereka dengan akurat. Pelatihan ini melibatkan berbagai elemen masyarakat dan memberikan keterampilan teknis yang diperlukan untuk pemetaan.

Proses dilanjutkan dengan pemetaan yang mencakup penggambaran wilayah, penyiapan dokumen-dokumen penting seperti kesepakatan masyarakat adat mengenai batas-batas wilayah mereka, rincian kesepakatan tentang batas wilayah yang telah disetujui bersama, peta yang telah ditandatangani oleh para pemimpin adat dan pihak terkait, serta dokumen pendukung lainnya. 

Tahapan ini penting dilakukan agar di masa depan, masyarakat adat memiliki dokumen yang sah di mata hukum yang mencatat mulai dari sejarah awal masyarakat adat, batasan wilayah hingga kepemilikan antar-marga. l Namun,  masyarakat masih harus melalui proses hukum lanjutan saat melakukan kegiatan pemetaan wilayah adat,  karena perusahaan yang dicabut izinnya menggugat di pengadilan.

Setelah melalui berbagai tahapan verifikasi, kegigihan dan kerja keras masyarakat adat berbuah manis ketika Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli resmi menandatangani Surat Keputusan (SK) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan Wilayah Adat April 2024 lalu. 

Proses penandatanganan peta adat yang sudah disepakati bersama (EcoNusa)

Dengan disahkannya SK ini, wilayah adat suku Sub-suku Nakin Onim Fayas yang mencakup Kampung Mogatemin dan Onimsefa di Distrik Kais Darat seluas 50.136 hektar dan Sub-suku Tehit Mlaqya yang berada di  wilayah kampung Tapiri dan Kampung Wersar, Distrik Teminabuan seluas 3.780 hektar, telah memiliki perlindungan hukum yang kuat. 

Tidak hanya itu, SK ini juga menjadi pengakuan resmi dari pemerintah daerah terhadap identitas dan budaya masyarakat hukum adat. Hal ini penting untuk memelihara warisan budaya dan tradisi yang telah ada sejak lama serta terjaminnya keterlibatan masyarakat hukum adat dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Sekretaris Daerah Sorong Selatan, Ir. Dance Nauw, SP. M. Si. IPM. SK saat ditemui usai menyerahkan SK pengakuan kepada masyarakat adat mengatakan, pengakuan ini adalah buah kerja kolaboratif berbagai pihak , mulai dari pemerintah, masyarakat adat hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sejak lama mendampingi proses pemetaan wilayah adat. Menurutnya, ini juga bukti nyata keberpihakan pemerintah dengan  memastikan adanya pengakuan, pelindungan dan penghormatan pada masyarakat adat. 

“Pemerintah berkomitmen untuk menjaga melindungi masyarakat adat dalam hal pengelolaan wilayah adat untuk dikelola secara baik untuk memberikan kemakmuran bagi masyarakat adat. Kami juga akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk memastikan tidak ada yang mengusik wilayah adat,” kata Dance Nauw.

Sekretaris Daerah Sorong Selatan, Ir. Dance Nauw, SP. M. Si. IPM. SK saat memberi sambutan dalam acara penyerahan SK Pengakuan WIlayah Adat. (EcoNusa)

Sementara itu, Ketua Sub-suku Nakin Onim Fayas, Alfaris Dere mengungkapkan rasa bahagianya usai menerima SK Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat ini. Menurutnya, perjuangan bertahun-tahun, akhirnya terbayar tuntas. 

“Puji Tuhan kami sangat senang karena untuk sampai di sini bukanlah perjalanan mudah. Kami berterima kasih kepada pemerintah Sorong Selatan yang sudah mengakui hak atas tanah kami. Juga kepada Yayasan EcoNusa yang sudah mendampingi kami tanpa pamrih,” kata Alfaris Dere Ketua Sub-suku Nakin Onim Fayas.

Hal serupa disampaikan Jeams Kondjol Ketua Adat  Sub-suku Tehit Mlaqya mengatakan, bersyukur dan bahagia atas ditandatanganinya SK ini. Menurutnya pengesahan ini adalah bentuk pengakuan dan penghargaan pada eksistensi masyarakat adat itu sendiri. 

“Perjalanan panjang kami dimulai saat adanya perusahaan yang mau membuka lahan. Kami masih ingat perjuangannya, dan saat ini kami sangat bersuka cita atas momen bersejarah ini. Karena kami mendapat pengakuan sebagai masyarakat adat,” katanya. 

Jeams Kondjol, Ketua Adat  Sub-suku Tehit Mlaqya (kanan) saat menerima SK Pengakuan MHA dan Wilayah Adat di Sorong Selatan. (EcoNusa)

Adanya pengesahan SK wilayah adat ini juga bermanfaat menjaga relasi antar-marga dan menghindarkan mereka dari berbagai konflik batas wilayah antar marga yang berpotensi terjadi. Ini karena dalam SK sudah tercantum peta wilayah adat dengan masing-masing batas wilayah masing-masing. 

Pengakuan wilayah adat berkekuatan hukum ini juga menjamin kemandirian masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, yang selama ini sering kali diintervensi oleh sektor perkebunan dan industri ekstraktif yang merusak hutan mereka. Untuk mendukung terbangunnya kemandirian ekonomi, masyarakat adat kemudian mendirikan Koperasi Fgan Fen Sisi di Kabupaten Sorong Selatan, untuk  mengembangkan potensi udang tangkap yang melimpah di wilayah tersebut. 

Koperasi Fgan Fen Sisi bersama 10 koperasi lainnya di Tanah Papua dan Maluku kemudian mendirikan sebuah perusahaan sosial berbasis masyarakat, PT KOBUMI pada 2022. Kehadiran KOBUMI menjadi bukti bahwa ekonomi berkelanjutan yang dikelola masyarakat adat dapat selaras dengan upaya pelestarian hutan. 


Sejak 2022, nelayan lokal anggota koperasi yang bergantung pada sumber daya alam di wilayah hutan mangrove, mampu menangkap hingga satu ton udang bakau setiap minggunya. Untuk mendukung pengemasan dan pemasaran, PT KOBUMI juga membuka gudang penyimpanan udang dan membangun infrastruktur ABF (air blast freezer) agar hasil tangkapan masyarakat memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi di pasar lokal dan nasional. PT KOBUMI hadir dengan semangat mengembangkan komoditas lokal yang selama ini belum mendapatkan pendampingan dan perluasan pasar yang maksimal

Mama Ariance Habetan memimpin ritual yang dilakukan Suku Yaben untuk memanggil udang. (Yayasan EcoNusa/Mochammad Fikri)

Ke depannya, EcoNusa bersama masyarakat melalui koperasi akan mengembangkan potensi komoditas lainnya, termasuk di wilayah adat Sub-suku Tehit Mlaqya dan Sub-suku Nakin Onim Fayas. Inisiatif ini tentunya memerlukan dukungan berbagai pihak agar dapat dikembangkan secara mandiri dan berkelanjutan. Ini adalah upaya restorasi ekonomi, setelah restorasi hak masyarakat adat didapatkan.

Pendekatan inovatif ini tidak hanya memastikan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat adat. EcoNusa percaya bahwa pemberdayaan masyarakat melalui usaha-usaha lokal yang ramah lingkungan adalah kunci untuk menjaga kelestarian hutan dan wilayah adat, sekaligus memastikan kesejahteraan jangka panjang bagi masyarakat setempat.

Kisah perjuangan masyarakat adat Sub-suku Tehit Mlaqya dan Sub-suku Nakin Onim Fayas tak hanya tentang mempertahankan hutan sebagai sumber daya alam, tetapi juga mempertahankan identitas, budaya, dan hak-hak masyarakat adat. Keberhasilan ini adalah bukti nyata bahwa dengan upaya kolektif, masyarakat adat mampu melindungi dan mempertahankan hak mereka atas tanah dan hutan yang menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. 

Kisah ini adalah inspirasi bagi banyak pihak untuk terus memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia, terutama bagi masyarakat adat yang sering kali berada di garis depan dalam pelestarian lingkungan dan budaya.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved