
Di Distrik Kais Darat, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, hutan menjadi rumah bagi beragam pepohonan, burung-burung dan berbagai jenis binatang lainnya. Hutan juga menjadi tempat mencari penghidupan bagi sub-suku Nakin Onim Fayas. Bagi mereka, rimba adalah supermarket karena di dalamnya tersimpan bahan pangan, obat-obatan, dan bahan bangunan.
Meski perusahaan logging pernah masuk dan anak-anak muda mulai meninggalkan kampung untuk mencari kerja di kota, para tetua tetap berupaya mempertahankan hutan mereka. “Kalau hutan ini rusak, apa yang akan kita wariskan nanti?” Pertanyaan ini terlontar oleh salah satu tetua dalam kegiatan Workshop Pengelolaan Hutan Adat di Kampung Hohore, Distrik Kais Darat.
Baca Juga: Tradisi Berburu dan Meramu Suku Irarutu di Teluk Bintuni
Dalam agenda tersebut, para tetua adat, mama, bapa, dan anak-anak muda melakukan pertemuan di balai kampung. Mereka duduk melingkar sambil mendiskusikan bagaimana hutan telah menjaga mereka dan keinginan agar hutan tetap ada. Hutan bukan untuk dijual, karena dari sanalah mereka mendapatkan penghidupan, terutama dari berburu dan memangkur sagu.
Maka, dengan pendampingan EcoNusa, lahirlah ide membentuk Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Jual Beli Babi Hutan dalam Skema Hutan Adat. Mereka bersepakat memberi nama KUPS itu Boow Wanu Beta yang berasal dari bahasa lokal suku Maybrat yang merupakan asal sub suku Nakin Onim Fayas. Secara harfiah, boow berarti barang/milik, wanu berarti kita semua, dan beta berarti bersama-sama atau dalam kebersamaan. Jika digabungkan, Boow Wanu Beta dapat diartikan barang ini milik kita bersama.
Makna Filosofis Boow Wanu Beta
Ada makna filosofis dalam nama Boow Wanu Beta. Pertama, usaha ini adalah milik kolektif, bukan pribadi, pengurus, kepala kampung, atau pun tokoh adat. Boow Wanu Beta merupakan milik seluruh masyarakat adat Nakim Onim Fayas. Semua pihak baik perempuan, laki-laki, anak muda, dan tetua, memiliki hak, tanggung jawab, dan manfaat yang sama dari usaha ini.
Kedua, membangun rasa memiliki dan tanggung jawab bersama. Barang ini milik kita bersama juga menjadi pengingat bahwa keberhasilan usaha bukan hanya bergantung pada pengurus KUPS, tetapi pada partisipasi aktif seluruh masyarakat: Yang berburu dengan bijak, menjaga kawasan, mencatat, mengelola keuangan, mendistribusikan hasil penjualan secara adil.
Baca Juga: Ekowisata Dusun Sagu Kais: Menyelami Ekosistem, Budaya, dan Kuliner Papua
Ketiga, simbol kedaulatan masyarakat adat. Boow Wanu Beta juga menjadi pernyataan tegas bahwa masyarakat adat berhak merancang model usaha sendiri, berdasarkan nilai dan hukum adat mereka. Ini adalah bentuk kedaulatan ekonomi adat. Usaha yang tumbuh dari tanah sendiri, dikelola dengan cara sendiri, dan hasilnya untuk generasi sendiri. Dengan nama Boow Wanu Beta, KUPS Babi Hutan bukan hanya menjadi sarana ekonomi, tetapi juga menjadi simbol persatuan, alat pemberdayaan, dan warisan nilai adat. Usaha ini diharapkan bisa menjadi jembatan antara kearifan lokal dan kemajuan ekonomi, tanpa meninggalkan akar budaya.
Model Usaha Berbasis Hutan Adat
Bersama pendamping dari EcoNusa dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, masyarakat mulai menyusun model usaha berbasis hutan adat. Mereka menciptakan sistem jual beli babi hutan berbasis adat dengan peraturan yang telah mereka sepakati secara turun-menurut. Antara lain tidak boleh memburu sembarangan, sehingga harus ada zona larangan dan zona pemanfaatan. Hasil jual pun harus dibagi sesuai kesepakatan adat dengan setiap transaksi dicatat oleh pemuda kampung.
Baca Juga: Pil Albumin, Olahan Hasil Hutan Bukan Kayu dari Boven Digoel
KUPS Boow Wanu Beta mulai melakukan kegiatan produksi pada 27 Mei 2025. KUPS membeli daging babi hutan segar dari masyarakat adat dengan harga Rp30.000 per kilogram. Daging tersebut kemudian dijual ke pasar lokal atau kepada konsumen yang datang sendiri untuk membeli di rumah timbang, tempat penimbangan dan penjualan produk milik KUPS dengan harga Rp50.000 per kilogram. Model usaha ini tidak hanya memberikan nilai ekonomi bagi kelompok, tetapi juga berkontribusi langsung pada peningkatan pendapatan masyarakat adat melalui kemitraan yang saling menguntungkan. Sejak saat itu hingga sekarang, mereka telah berhasil memproduksi sebanyak 1.008 kilogram daging babi hutan.
Usaha itu memang kecil, tidak seperti perkebunan kelapa sawit atau tambang. Tapi harapannya hasilnya bisa mencukupi kebutuhan. Anak bisa sekolah, rumah bisa diperbaiki, dan tentu saja masyarakat tetap bisa menjadikan hutan sebagai sumber penghidupan dan rumah bagi berbagai jenis tanaman dan hewan.Dua bulan setelah usaha dimulai, hutan tetap hijau, burung cenderawasih masih menari di pagi hari. Tapi yang berubah adalah rasa percaya diri masyarakat. Mereka tak lagi menjadi penjaga pasif dari tanah adat mereka menjadi pelaku aktif dalam pembangunan berbasis identitas dan alam. Menghidupi kampung bukan berarti menjual habis warisan leluhur. Karena alam dan manusia bisa berjalan bersama, saling menjaga dan saling menghidupi.
Editor: Nur Alfiyah