Anak muda memiliki peran penting dalam upaya bersama menjaga kelestarian sumber daya alam di Tanah Papua. Daya kritis anak muda perlu ditumbuhkan dan dikembangkan untuk melihat berbagai ancaman kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar mereka. Hal ini perlu didukung dengan keterbukaan informasi dan bantuan teknologi spasial yang memungkinkan pengawasan kelestarian alam dilakukan oleh berbagai pihak lintas generasi.
Koordinator Penelitian dan Geospasial Yayasan EcoNusa Darkono Tjawikrama mengatakan anak muda harus terlibat dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di Tanah Papua. Menurut Darkono, keterlibatan anak muda dapat dimulai dengan mempertanyakan aktivitas pemanfaatan sumber daya alam di sekitar mereka secara kritis.
“Anak muda dapat terlibat untuk menyelamatkan hutan di Tanah Papua. Jika melihat orang membawa kayu, kita harus curiga karena belum tentu legal. Apalagi sekarang sudah terbuka. Kita bisa bertanya kepada petugas Dinas Kehutanan,” kata Darkono dalam sesi virtual Kelas Belajar SED bertajuk “Hutan Tropis dan Ancaman-ancamannya” pada Selasa, 21 Juli 2020.
Darkono mengatakan bahwa hutan dan kawasan perairan tak hanya memiliki fungsi ekologi. Bagi masyarakat di Tanah Papua, hutan misalnya, menjadi bagian yang lekat dengan kehidupan masyarakat. Kebudayaan dan nilai spiritualitas masyarakat Tanah Papua memosisikan hutan sebagai tempat yang harus dilindungi.
Sayangnya, Tanah Papua tak bebas dari ancaman kerusakan sumber daya alam. Bencana alam timbul setelah hutan beralih fungsi menjadi area pertambangan atau perkebunan. Hal ini misalnya tercermin dari banjir dan tanah longsor yang melanda Kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Hujan intensitas tinggi yang berlangsung sejak Kamis (16/7/2020) 17.30 WIT hingga malam hari telah merendam 10 distrik dan merenggut 5 korban jiwa.
Wali kota Sorong, Lambert Jitmau menduga banjir dan tanah longsor tak hanya disebabkan oleh hujan berintensitas tinggi. Menurutnya, galian tambang C yang beroperasi di 10 distrik turut berperan merusak saluran drainase.
Berkaca dari peristiwa tersebut, Darkono menyatakan bahwa banjir dan tanah longsor di Kota Sorong menjadi pelajaran berharga untuk mempelajari krisis ekologi. “Banjir dan tanah longsor itu terjadi di depan mata kita. Ini dapat kita pelajari, kembangkan, serta kita pertanyakan ke diri sendiri. Rata-rata kerusakan ekologi terjadi karena ketidakseimbangan alam, karena ekstraksi, baik secara legal atau tidak,” ujar Darkono.
Pemanfaatan teknologi juga dapat menjadi pintu masuk mempelajari dan memantau sumber daya alam Tanah Papua. Aplikasi Google Earth dan Papua Atlas yang dikembangkan oleh CIFOR dapat digunakan sebagai media pembelajaran sekaligus memantau perubahan kondisi hutan yang terjadi di seluruh Tanah Papua.
Darkono menyatakan, alih fungsi hutan hanya memberikan keuntungan kepada para investor. Padahal ada ketentuan mempertahankan 30 persen kawasan hutan dari luas pulau atau daerah aliran sungai, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurutnya, mempertahankan kawasan hutan justru akan memberikan keuntungan jangka panjang.
“Yang paling menguntungkan dalam jangka panjang adalah kondisi dimana hutan tidak dibuka. Banyak skema yang bisa digunakan untuk menambah nilai ekonomi hutan. Tidak melulu cara konvensional. Misalnya dengan jasa lingkungan seperti ekowisata dan skema perhutanan sosial,” pungkas Darkono.
Editor: Leo Wahyudi