
Pemetaan bukan sekadar mengukur jarak atau menentukan titik koordinat.
Setiap langkah di tanah itu adalah perjalanan di antara cerita dan ingatan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Awal Jejak: Kampung Wufmana
Saya menarik napas panjang ketika pertama kali menapaki Kampung Wufmana di Distrik Ireres, Tambrauw, Papua Barat Daya, September 2025. Di rumah Bapa Kepala Suku sore itu, para tetua sudah duduk melingkar. Saya menyalami mereka satu per satu. Aroma sirih, pinang, dan kapur bercampur dengan hangatnya kopi sore, mengantar percakapan yang mengalir di antara ingatan-ingatan lama.
“Ah, itu di sebelah (marga) Kamundan, marga Sedik Ame dorang (mereka)! Timur sini (marga) Asiti! Saya ini yang punya tempat itu, jadi saya tahu!” seru seorang tetua marga, lantang, dengan logat khas Wufmana. Nada tegas dan tajam itu sempat membuat saya tersentak, meski sebenarnya itulah cara mereka menegaskan cerita dengan penuh keyakinan.
Baca Juga: Memetakan Batas Administrasi, Menyatukan Wilayah Adat Suku Irires
Setelah diskusi cukup panjang, kami sepakat: besok pagi turun lapangan untuk memastikan batas tiap marga secara langsung.
Menapaki Hutan, Menyusuri Kisah
Keesokan paginya, matahari menembus sela dedaunan. Tim pemetaan bergerak. Di depan, Bapak Martinus, sang tetua adat, menuntun jalan sambil mengetam semak dengan parang. Di belakangnya para pemuda merintis jalur, lalu tim EcoNusa: Charles, David, dan Berto. Mereka sesekali tertawa untuk membuat perjalanan lebih menyenangkan. Pada titik-titik tertentu, mereka juga mengambil gambar dengan kamera untuk mengabadikan perjalanan.
Mama-mama membawa noken berisi bahan makanan, anak-anak berlarian penuh semangat, dan dua ekor anjing kampung setia mengikuti rombongan. Mereka nampak terbiasa menyusuri hutan yang jalannya kadang menanjak. Sedangkan saya sendiri terengah-engah, mencoba mengikuti langkah mereka.

Kami menyusuri hutan yang dijaga masyarakat yang menjadi sumber penghidupan mereka. Setiap kali berhenti, para tetua menuturkan kisah lama: tempat berburu, tempat menokok sagu, hingga lokasi-lokasi yang dianggap sakral. Para pemuda mengaktifkan GPS, menunggu sinyal satelit stabil.
Angka-angka koordinat perlahan muncul di layar: 0°51’57.82″S, 132°54’54.64″E.
“Bapak, ini tong (kita) tandai sebagai batas marga?” tanya saya.
Bapak Martinus mengangguk.
“Ya, dari tikungan kali lama ke arah barat sampai batu besar bekas kali. Itu dulu jadi pembatas.”
Berto memotret batu besar itu. David menuliskan catatan: kali lama Asiti.
Begitulah setiap titik kami dokumentasikan: koordinat, deskripsi batas, cerita adat, serta foto.
Dari Titik-Titik Menjadi Peta
Sore hari di rumah pastoral, saya memindahkan data ke laptop. Di layar, titik-titik yang kami kumpulkan mulai terhubung. Garis-garis muncul perlahan: sungai, bukit, hutan, rawa, membentuk peta kasar wilayah adat.
Setelah beberapa waktu, peta itu akhirnya lengkap. Batas marga, sungai, hutan, bukit, rawa, semua tergambar dengan kode titik, koordinat, dan catatan adat.
Baca Juga: Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Aara, Pertama di Kaimana
Bapak Kepala Suku berdiri lama menatapnya.
“Sekarang, batas ini bukan hanya ada di ingatan kami,” ujarnya pelan.
“Ia sudah hidup di peta—peta yang bukan sekadar garis dan angka, tapi tentang siapa kami, dan di mana kami berpijak.”
Peta itu kini tak hanya menyimpan data. Ia menyimpan jiwa—jiwa tanah dan orang-orang yang menjaganya.
Karena bagi masyarakat Irires wilayah adat bukan sekadar warisan, tetapi fondasi hidup. Sejak 2023, Yayasan EcoNusa mendampingi masyarakat adat Irires untuk memperjuangkan pengakuan wilayah. Prosesnya meliputi FPIC, penyusunan rencana kerja, pembentukan lembaga pengelola suku, hingga pengambilan koordinat awal.
Hingga kini, pendampingan terus berlanjut. Proses pemetaan berlangsung dari marga ke marga, untuk menjaga hak mereka.
Editor: Nur Alfiyah


