EcoStory

Kopra: Sumber Penghidupan dari Pulau Pai dan Kampung Yamnaisu

Bagikan Tulisan
Proses pengeringan kopra di rumah pengering. (Yayasan EcoNusa/ Roberto Yekwam)

Di ujung timur Indonesia, tepatnya di Pulau Pai dan Kampung Yamnaisu di Biak Utara, Papua terdapat potensi besar yang selama ini tersembunyi di balik hamparan pohon kelapa—kopra. Bagi masyarakat setempat, kopra bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari, budaya, bahkan simbol harapan.

Pulau Pai: Menata Masa Depan Lewat Kopra

Pulau Pai, yang masuk dalam wilayah Klasis Aimando Padaido, dikenal sebagai salah satu sentra kelapa di kawasan pesisir Papua. Masyarakat di sini telah cukup lama mengolah kelapa menjadi kopra. Namun, baru belakangan ini pengelolaannya mulai terorganisir dengan lebih baik.

Sebagian besar kopra dari pulau ini sudah dikeringkan dan dikemas dalam karung, meski masih ada yang dalam bentuk mentah. Pengelolaan dana hasil penjualan kopra dipercayakan kepada generasi muda, dengan empat orang pekerja aktif dan rencana penambahan dua tenaga baru.

Menurut Pendeta Jhon Baransano dari Klasis GKI Aimando Padaido, ada sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan. Salah satunya adalah cuaca yang kurang mendukung untuk proses pengeringan. Saat ini masyarakat hanya mengandalkan tiga unit rangka jemur, yang jelas belum mencukupi. Ke depan, penambahan infrastruktur pengering sangat dibutuhkan agar produksi lebih efisien.

Baca Juga: Kelapa Nabire, Komoditas Bernilai Tinggi dari Pesisir Papua

Dari sisi ekonomi, harga jual kopra mentah dari petani berkisar Rp5.000 per kilogram.  Para petani menjualnya ke Bosnik di Kabupaten Biak Numfor yang berjarak sekitar 25 kilometer melalui perjalanan laut. Meski jauh, ini adalah kota terdekat dari Pulau Pai. Namun, setelah dikurangi biaya transportasi ke Bosnik, keuntungan yang didapat sangat minim, bahkan dari dua karung kopra, petani hanya mengantongi sisa sekitar Rp10.000. Melihat kondisi ini, masyarakat mulai mencoba sistem barter, yakni menukar kelapa atau kopra dengan sembako di kantor pelayanan gereja. Inisiatif ini cukup membantu, karena mereka tak lagi harus ke kota hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Menariknya, perubahan ini mulai berdampak nyata. Pendapatan kios-kios masyarakat yang sebelumnya hanya sekitar Rp150.000 per hari, kini melonjak menjadi Rp800.000 per hari. Artinya, ada peningkatan perputaran uang di tingkat lokal hingga lebih dari 400 persen.

Yamnaisu: Bertahan dengan Kearifan, Bangkit Lewat Kopra

Di sisi lain, Kampung Yamnaisu di Distrik Kepulauan Aruri, Kabupaten Supiori, juga menyimpan potensi besar dalam sektor kopra. Dengan sekitar 170 kepala keluarga dan 600 jiwa penduduk, sekitar 70 persen warganya menggantungkan hidup dari kopra, dan sebagian lainnya menjadi nelayan.

Kampung ini memiliki fasilitas dasar seperti Puskesmas Pembantu dan Badan Usaha Milik Desa, namun kondisi geografisnya menantang. Kenaikan air laut yang terjadi beberapa kali dalam setahun memengaruhi pengolahan hasil bumi, termasuk kelapa.

Baca Juga: Potensi Kelapa Nabire: Menjawab Tantangan Distribusi dan Harga lewat Kolaborasi

Meski demikian, masyarakat Yamnaisu tetap menjaga kearifan lokal melalui aturan adat sasi. Dalam sistem ini, sumber daya alam tidak boleh dimanfaatkan sembarangan. Setelah masa sasi berakhir, hasil panen dibagi secara merata. Aturan ini bukan hanya menjaga alam, tapi juga membentuk solidaritas di antara warga.

Dari sisi harga, kopra di Yamnaisu dijual ke pengepul dengan harga sekitar Rp8.000 per kilogram. Sebenarnya, ada pasar yang lebih menjanjikan di Biak, dengan harga Rp10.000 hingga Rp12.000, namun terkendala transportasi. Saat ini, warga masih harus mengandalkan kendaraan pribadi atau kelompok untuk menjual ke luar kampung.

Tantangan Bersama, Harapan yang Sama

Baik di Pulau Pai maupun Yamnaisu, tantangan yang dihadapi hampir serupa:

* Terbatasnya alat pengering kopra.

* Harga jual yang rendah di tingkat petani.

* Kendala transportasi dan akses pasar.

* Kurangnya pelatihan untuk meningkatkan kualitas dan nilai jual kopra.

Namun di balik tantangan itu, ada semangat kolektif yang terus tumbuh. Di Pulau Pai, kelompok seperti Persatuan Kaum Bapa (PKB) Yahwe Pai turut ambil bagian dalam mengelola hasil penjualan kopra, dan dana yang terkumpul dipakai untuk mendukung kegiatan sosial dan gereja. Di Yamnaisu, gereja lokal menjadikan usaha kopra sebagai program ekonomi prioritas.

Dengan dukungan yang tepat, baik dari pemerintah, gereja, maupun pihak swasta, kopra bisa menjadi pendorong utama kesejahteraan masyarakat pesisir. Yang dibutuhkan bukan hanya akses pasar atau alat pengering, tapi juga kepercayaan dan komitmen untuk membangun ekonomi dari bawah.

Menatap Masa Depan: Kopra sebagai Kekuatan Lokal

Kopra mungkin terlihat sederhana, tapi di Pulau Pai dan Kampung Yamnaisu, ia punya makna yang dalam. Di tangan masyarakat yang ulet dan mau belajar, kopra bukan lagi sekadar hasil kebun, tetapi jalan menuju masa depan yang lebih mandiri dan sejahtera. Yayasan EcoNusa bekerja sama dengan Klasis GKI Aimando Padaido untuk melakukan pembelian kopra, termasuk di Pulau Pai dan Kampung Yamnaisu. Dengan harapan bisa membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan kerja sama, inovasi lokal, dan pendampingan yang tepat, bukan tidak mungkin kedua wilayah ini bisa menjadi contoh sukses pengembangan ekonomi berbasis sumber daya lokal di tanah Papua.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved