Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Musyawarah Adat Masyarakat Hukum Adat Aara: Momen Penting untuk Pengakuan Wilayah

Bagikan Tulisan
Musyawarah adat yang dilakukan oleh Masyarakat Hukum Adat Aara di Kampung Boiya, Pulau Lakahia, Kaimana. (Yayasan EcoNusa/Pilipus Asaribab)

Bagi masyarakat Tanah Papua, wilayah adat bukan sekedar tanah, melainkan bagian integral dari identitas, budaya, dan keberlangsungan hidup. Oleh karena itu, pengakuan terhadap wilayah adat sangat penting bagi masyarakat. Masyarakat Hukum Adat Aara yang mendiami Kampung Boiya di Kaimana, Papua Barat juga tengah berusaha mendapatkan pengakuan wilayah adat mereka. Setelah melewati proses pemetaan wilayah adat,  baru-baru ini masyarakat Aara mengadakan musyawarah adat dan membagi zonasi hutan adat. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 23 dan 24 September 2024, melibatkan partisipasi aktif dari marga tetangga dan perwakilan lima sub suku.

Musyawarah adat menjadi titik awal yang signifikan dalam pengakuan tapal batas wilayah Masyarakat Hukum Adat Aara. Kegiatan ini dimulai dengan persiapan yang matang, termasuk pertemuan dengan pemerintah kampung dan tua adat. Dalam pertemuan tersebut, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kaimana, Jafar Werfete, menjelaskan bahwa dengan kegiatan ini, masyarakat dapat mengetahui tapal batas wilayah adat mereka sehingga bisa menjaga serta melestarikan sumber daya alam di dalamnya. “Ini menjadi investasi bagi anak cucu di kemudian hari,” katanya. 

Baca Juga: Masyarakat Lakahia Berkomitmen Melindungi Wilayah Adat

Melianus Waterpauw, Ketua Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam) Boiya, menyampaikan rasa syukur atas terlaksananya kegiatan ini. “Ini adalah bagian dari tanggung jawab kita di kampung untuk menjaga harta warisan nenek moyang kita. Pemetaan ini adalah keinginan kita semua,” ujar Melianus.

Musyawarah Adat untuk Menyepakati Batas Wilayah

Musyawarah adat dibuka oleh dewan adat suku Napiti, Salmon Nay, yang dilanjutkan dengan presentasi hasil pemetaan wilayah adat yang dilakukan oleh masyarakat dengan dampingan EcoNusa. Dari hasil pemetaan, wilayah Masyarakat Hukum Adat Aara memiliki luas 97.758,91 hektare dan berbatasan dengan beberapa kampung tetangga, yakni Rurumo, Nariki,  dan Bamana, yang juga dilibatkan dalam proses pemetaan. 

Usai presentasi, perwakilan marga dari empat kampung dipersilakan untuk memberikan tanggapan. Orgenes Tamar dari perwakilan dari Kampung Bamana, memberikan masukan mengenai tapal batas yang perlu diperbaiki demi keadilan bagi semua pihak. “Musyawarah adat ini sangat penting untuk masa depan anak cucu kita. Saya ingin memastikan bahwa tapal batas yang disepakati harus adil bagi semua,” jelas Orgenes.

Dari masukan tersebut, hasil pemetaan kemudian diperbaiki bersama. Kegiatan ini mencerminkan semangat kolaboratif dalam menyelesaikan permasalahan tapal batas. Pengakuan dan persetujuan tapal batas dituangkan dalam berita acara yang ditandatangani oleh semua pihak, termasuk saksi-saksi dari pemerintah dan masyarakat.

Pembagian Zonasi Hutan Adat

Kegiatan dilanjutkan dengan pembagian zonasi hutan adat pada 24 September 2024. Lima perwakilan dari sub suku yang hadir ikut terlibat dalam menentukan area yang akan dilindungi, dimanfaatkan, dan direhabilitasi. Sehingga sumber daya alam yang ada di wilayah mereka tetap lestari dan bisa dimanfaatkan hingga anak cucu nanti. Proses ini berjalan lancar dengan partisipasi aktif masyarakat yang memberikan informasi mengenai zonasi yang akan diterapkan. “Saat kita menentukan zonasi hutan ini, kita sedang melindungi warisan untuk generasi mendatang,” kata Salmon Nay.

Salmon juga menyampaikan terima kasih kepada tim EcoNusa dan semua masyarakat yang telah mendukung proses ini. “Dengan adanya zonasi hutan adat, kita bisa menjaga dan melestarikan sumber daya alam untuk generasi mendatang,” ujarnya. 

Baca Juga: Kader Kampung Belajar Pemetaan dan Sistem Informasi Kampung

Kegiatan musyawarah adat dan pembagian zonasi hutan adat ini merupakan langkah strategis dalam melestarikan hak dan wilayah Masyarakat Hukum Adat Aara. Usai musyawarah adat ini, tim pemetaan yang terdiri dari masyarakat dan EcoNusa akan memperbaiki peta sesuai dengan masukan. Nantinya peta perbaikan dan kelengkapannya akan diusulkan oleh perwakilan masyarakat ke Panitia Masyarakat Hukum Adat untuk diverifikasi selanjutnya mendapatkan pengakuan hak dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. 

Melalui kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga, diharapkan tercipta kesepakatan yang berkelanjutan. Kegiatan ini juga menjadi contoh penting bagi masyarakat adat lainnya dalam menjaga dan mengelola sumber daya alam serta warisan budaya mereka. Dengan dukungan solid dari semua pihak, Masyarakat Hukum Adat Aara siap memperkuat posisi mereka dalam pengelolaan hutan adat dan sumber daya alam secara berkelanjutan.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved