Search
Close this search box.
EcoStory

Kabar Baik, Wilayah Adat Gelek Ulim Abgies Pela Mendapat Pengakuan Pemerintah

Bagikan Tulisan
(Yayasan EcoNusa/Lutfy Mairizal Putra)

Januari 2023 ditutup dengan kabar gembira bagi masyarakat Suku Moi, terutama yang menempati Kampung Kwakeik di Distrik Klayili, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Penjabat (Pj) Bupati Sorong, Yan Piet Moso menerbitkan Surat Keputusan Bupati Sorong Nomor 593.2/KEP.77/TAHUN 2023 tentang Pengakuan Hak Gelek Ulim Abgies Pela. Gelek Ulim Abgies Pela merupakan bagian dari Suku Moi. Wilayah adatnya berlokasi di Kampung Kwakeik yang berbatasan langsung dengan lima gelek (marga), yakni Ulim Abgies Kiem, Ulim Abya Pela, Mobalen Klatomok, Kadakolo Awenolo, dan Kadakolo Tiliwolo.

“Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah daerah atas kerja sama dan dukungannya, mulai dari proses pemetaan, sidang adat, verifikasi, hingga terbitnya surat keputusan tentang wilayah adat kami ini,” ucap Pile Ulimpa, perwakilan masyarakat adat di Kampung Kwakeik saat diwawancara melalui telepon pada Senin, 6 Februari 2023.

Baca juga: Sidang Adat Pengakuan Hak Gelek Ulim Abgies Pela dan Ulimpa Obokmala Berlangsung Baik

Pile menjelaskan, masyarakat adat Moi di Kampung Kwakeik telah memperjuangkan wilayah adatnya agar diakui secara resmi oleh pemerintah. Terhitung sejak September 2021 hingga sekarang, Suku Moi tak henti-hentinya berupaya mendapatkan pengakuan untuk tanah adatnya. “Kami tahu bahwa selama ini kami punya wilayah adat, tapi kami belum memenuhi persyaratan (untuk mendapat pengakuan dari pemerintah),” kata Pile.

Dalam prosesnya untuk mendapatkan surat keputusan tentang pengakuan wilayah adat ini, Yayasan EcoNusa bersama Ikatan Pelajar Mahasiswa Kampung Kwakeik Raya (IPMKKR) hadir dan berupaya mendukung masyarakat di Kampung Kwakeik. Salah satunya dengan mendampingi masyarakat memetakan tanah adat mereka yang menjadi salah satu syarat fundamental dalam proses pengakuan tanah adat oleh pemerintah daerah.

Pemetaan wilayah adat tersebut kemudian dilanjutkan dengan sidang adat guna mendapatkan pengakuan dari gelek yang wilayahnya bersinggungan dengan wilayah adat mereka. Sidang adat pertama telah dilaksanakan pada 2021 dan sidang adat kedua digelar pada 13 Mei 2022 di Kampung Klayili, Distrik Klayili. Hasil sidang adat penting dalam proses ini karena berisi kesepakatan yang harus dipatuhi oleh antargelek yang wilayahnya saling berbatasan, sehingga mencegah terjadinya konflik antarmarga di kemudian hari.

Baca juga: Harapan Masyarakat dan Pemuda untuk Pergub Penetapan Pengakuan Masyarakat Adat di Papua Barat

Pile juga menjelaskan bahwa tanah adat memiliki arti penting bagi masyarakat adat. Karena dari tanah itulah, masyarakat adat bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari. “Tanah ini sangat penting bagi kami masyarakat adat, terutama kami masyarakat Suku Moi, karena itu bagian dari ibu dan tanah itu apotek kami, tanah itu adalah pasar. Kami bisa berburu untuk cari daging, bisa memancing, cari kayu, sesuai cara hidup budaya kami,” kata Pile.

Begitu besarnya arti tanah adat bagi mereka membuat pengakuan dari pemerintah amat penting, sebagai dasar legalitas yang akan menjaga mereka dari berbagai konflik di masa depan. Pile bercerita, pada 1992 hingga 2008 terdapat perusahaan kayu yang beroperasi di wilayah tanah adat dan perusahaan itu hanya memberikan ganti rugi sebesar Rp10 juta per gelek (marga). Jumlah itu tidak sebanding dengan manfaat yang akan masyarakat dapatkan bila tanah adat itu mereka kelola sendiri. Kedatangan perusahaan juga menimbulkan konflik bagi masyarakat adat. 

Tanah adat tentu tak hanya penting bagi keberadaan masyarakat adat dalam sisi politik, namun juga sebagai penyokong pertumbuhan ekonomi yang mandiri. Sejalan dengan hal ini, Pile berharap adanya surat keputusan wilayah adat Kampung Kwakeik dapat mendorong masyarakat untuk meraih kemandirian ekonomi dan mengantarkan mereka menjadi masyarakat yang sejahtera. “Kami berharap, pemerintah tetap hadir dan mendukung kami punya hasil alam yang kami kelola secara lokal, seperti garam lokal, rotan, damar, dan obat-obatan tradisional,” ujar Pile.

Editor: Nur Alfiyah

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved