Gema lingkungan hidup tak lagi terdengar pada masa kampanye pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Narasi penyelamatan lingkungan hidup, baik di darat maupun di laut, seakan absen dari riuh perpolitikan sejak pasangan calon resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pada masa kampanye pemilihan presiden dan calon presiden (capres-cawapres) 2014-2019, ingatan publik terbayang dengan slogan dan cita-cita “Menuju Poros Maritim Dunia”. Empat tahun berselang cita-cita tersebut tak lagi terdengar seakan kita kembali memunggungi laut. Padahal, pengelolaan laut menjadi tugas wajib untuk melindungi sumber daya alam dan kesejahteraan manusia. Dalam momentum lima tahun pemilihan Presiden (pilpres) ini isu kemaritiman harus digalalakan, dan kedepannya masuk kedalam agenda kerja capres terpilih periode baru.
Selain membahas upaya perlindungan ekosistem laut, kehidupan kesejahteraan nelayan dan masyarakat tradisional wilayah pesisir juga menjadi fokus utama yang seyogianya penting untuk dibahas. Permasalahan laut tidak saja sebatas bagaimana melindungi biota yang terdapat dalam laut dari kepunahan, namun bagimana upaya mensejahterahkan kesejahteraan nelayan dan masyarakat tradisional wilayah pesisir. Ironinya kelangsungan hidup nelayan di seluruh pelosok Indonesia masih sangat jauh dari kata sejahtera bahkan hingga saat ini.
Dewan Presidium Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Sukarnan saat diwawancara dalam diskusi publik “Menakar Komitmen Capres 2019-2014: Masihkah Laut menjadi Poros Maritim Bangsa”, Selasa (12/2/2019), mengungkapkan nelayan dan masyarakat tradisional wilayah pesisir belum sejahtera. Undang-Undang (UU) No 7 Tahun 2016 yang membahas tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak, masih belum seirama dengan isi UU sehingga mengalami banyak tantangan.
Tantangannya adalah masalah impor gram yang berdampak pada usaha petambak gram tradisional. Perkembangan pariwisata dan pengakuan perempuah nelayan. Data KIARA menjelaskan bahwa seperti di Semarang contohnya, sepanjang pesisir Semarang telah dikuasi oleh pemiliki modal. Dengan panjang pantai 22,71 Km telah dikuasai oleh pemilik modal, dan hanya 40% dimiliki publik. Belum lagi dengan penemuan di lapangan yang menceritakan sulitnya akses asuransi nelayan oleh perempuan nelayan. Dikarenakan belum adanya pengakuan status profesi perempuan nelayan. Perempuan nelayan sering diibaratkan sebatas rumah tangga nelayan bahkan buruh.
Untuk itu Sukarnan mengimbau nelayan, petambak, ataupun pembudidaya, penting untuk mengkritisi visi-misi capres kedua kubu, karena orang-orang yang menggantungkan kehidupannya dari hasil laut dan perikanan merupakan garda terdepan untuk pembangunan kelautan Indonesia. “Luas laut kita lebih luas dari luas daratan, sayangnya saya melihat kebijakan masih memunggungi soal laut, tidak melihat laut menjadi prioritas utama pembangunan. Sudah seharusnya laut kita menjadi prioritas penting dan bukan sekedar dimanfaatkan dalam hajatan politik,” terangnya.
Saat ditemui langsung, Rosdinal Salim selaku Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Maruf Amin menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang strategis dan sangat besar. Rosdinal mengatakan bahwa sejak tahun 2014 Jokowi memiliki Nawacita, dan khususnya untuk laut visi Jokowi ialah dengan mempertajam dan mewujudukan Indonesia sebagai negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasis kepentingan nasional.
“Konsentrasi pemerintah khususnya dalam pemerintahan Jokowi ini adalah yang pertama laut kita itu betul-betul mandiri dan kuat. Kedua, sumberdaya alamnya betul-betul untuk kesejahteraan rakyatnya, nelayan, juga untuk pariwisata dan lain-lain,” ungkap Rosdinal.
Rosdinal mengaku optimis jika paslon nomor urut satu Joko Widodo-Maruf Amin dapat membawa perubahan terhadap kesejahteraan laut Indonesia kearah yang lebih baik. “Intinya adalah kesejahteraan nelayan menjadi prioritas utama. Kesejahtaraan daerah serta local wisdom setempat harus bisa mendapatkan keuntungan dari kekayaan bahari yang dimiliki DI wilayah masing-masing. Kuncinya itu satu, yaitu sustainable,” jelasnya.
Lebih lanjut, diungkapkan oleh Ketua Umum Dewan Kebijakan Kelautan Indonesia periode 1999-2002, Son Diamar, siapa pun yang menjadi presidennya maka ia dapat membuat Indonesia menjadi negara yang terkemuka soal maritim di mata dunia. Menurut Son dalam membangun maritim kelautan Indonesia perlu melihat dari berbagai aspek, antara lain sumber daya manusia (SDM), masyarakat dan budaya, pembangunan ekonomi berbasis kelautan, pariwisata yang terkait dengan laut, sistem pelayaran, pengelolaan tata ruang laut, pertahanan dan keamanan, serta sistem hukum.
“Sumber daya alam jangan di obral. Siapa pun presidennya dapat membuat Indonesia menjadi negara maritim yang terkemuka di mata dunia,” pungkasnya.