Penantian itu berakhir, setelah menunggu dua tahun lamanya, Presiden Joko Widodo akhirnya memperkuat janji penundaan izin baru (moratorium) Sawit. Melalui Instruksi Presiden Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit yang ditandatangani pada 19 September 2018, Presiden memastikan moratorium berlaku dengan kepastian hukum selama 3 tahun ke depan.
Dilansir Mongabay.com, Inpres ini menginstruksikan kerja lintas Kementerian. Antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Dalam Negeri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal serta para Gubernur dan Bupati/Walikota.
Untuk Menteri LHK, Presiden melalui Inpres menginstruksikan untuk melakukan penundaan izin baru perkebunan sawit, baik permohonan baru, permohonan telah mendapat persetujuan prinsip maupun permohonan yang diajukan namun belum melengkapi persyaratan. Menteri juga bertugas dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi izin perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan.
Inpres juga memerintahkan agar Menteri Pertanian melakukan penyusunan, verifikasi data dan peta izin usaha perkebunan sawit sekaligus pendaftaran surat tanda daftar usaha perkebunan sawit.
Untuk Menteri ATR, Presiden memerintahkan agar dilakukan evaluasi hak guna kebun-kebun sawit, mencakup nama dan nomor, lokasi, luas, tanggal penerbitan dan peruntukan.
Sementara BKPM diperintahkan untuk menunda permohonan penanaman modal baru bagi perkebunan sawit atau perluasan perkebunan dari pelepasan dan tukar-menukar kawasan hutan.
Mendagri dalam Inpres mendapat tugas untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Gubernur dan Bupati.
Sejumlah respon menyambut terbitnya Inpres. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dilansir dari Kompas.id mengapresiasi Inpres tersebut, akan tetapi, penegakan hukum juga harus dilakukan beriringan dengan pemberlakuan moratorium. Walhi juga mendesak keterbukaan proses dan informasi terkait perizinan dengan membuka partisipasi aktif publik.
Sejalan dengan Walhi, Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware sebagaimana dilansir Kompas.id juga mengapresiasi terbitnya inpres tersebut sebagai bagian dari perubahan tata kelola perkebunan sawit. Ia berharap Inpres itu sinergis dengan kebijakan lain. Implementasi di tingkat tapak juga harus terlaksana dan terpantau agar tata kelola perkebunan sawit yang lebih baik.
Sementara dari kalangan pengusaha, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan Gapki pernah terlibat dalam pembahasan draf Inpres itu. “Semangatnya tidak hanya terkait moratorium, melainkan bagaimana mengevaluasi izin yang sudah ada agar produktivitas tetap terjaga,” ujar dia.
Inpres itu diharapkan menjadi payung hukum dalam mengatasi tumpang tindih perizinan di kawasan hutan. Joko menilai upaya meningkatkan produktivitas tetap perlu karena kelapa sawit merupakan komoditas strategis yang berkontribusi terhadap ekspor dan devisa. “Kalau (Inpres) hanya mengatur moratorium, kita bisa kehilangan peluang,” imbuh dia.
Sebelumnya, masih teringat jelas pada dua tahun lalu bagaimana Presiden Joko Widodo memberikan janjinya untuk moratorium tersebut bertepatan dengan Pencanangan Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar dalam rangka Hari Hutan Internasional, di Pulau Karya. Kepulauan Seribu, Kamis (14/4/2016).
Presiden Jokowi menilai lahan kelapa sawit yang telah ada saat ini sudah cukup dan dapat ditingkatkan lagi kapasitas produksinya dengan memaksimalkan potensi yang ada. “Lahan yang sekarang sudah ada, asal bibitnya itu sudah benar, mungkin produksi bisa lebih dari dua kali,” ucap dia.
Sebagaimana dilansir mediaindonesia.com, Jokowi menengarai permasalahan yang terjadi disebabkan peremajaan bibit yang terlambat sehingga hasil sawit yang ada saat ini dianggap belum maksimal. Dengan moratorium sawit, dirinya pada saat itu berharap tidak ada lahan dan perubahan peruntukan hutan yang diberikan lagi untuk konsesi sawit.
Moratorium sawit tersebut menyusul kebijakan moratorium lahan gambut yang sebelumnya telah dikeluarkan dalam aturan penundaan pemberian izin baru di lahan gambut sejak 13 Mei 2015 lalu, yang tertuang dalam Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut.