Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Malaumkarta Perlu Generasi Penerus Adat

Bagikan Tulisan
Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM) melakukan pemetaan wilayah adat sub Suku Moi yang terdiri dari 14 marga. (Yayasan EcoNusa/Moch. Fikri)

Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan pengakuan wilayah adat dan hak-haknya terus bergulir. Perjuangan ini melibatkan para pemuka adat serta banyak pemangku kepentingan yang peduli terhadap keberadaan mereka. Hal ini pula yang terjadi di Sorong, Provinsi Papua Barat.

Terbitnya Peraturan Daerah No. 10/2017 tentang pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong mendorong pemerintah dan banyak pihak untuk menjamin keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-haknya secara hukum. Dalam hal ini Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta (PGM) berkolaborasi dengan Yayasan EcoNusa melakukan pemetaan wilayah adat sub suku Moi. Ada 14 marga dari 6 Kampung, yaitu Malaumkarta, Mibi, Suatut, Sutolo, Wenbulun dan Malagufuk di Kabupaten Sorong. Pemetaan ini juga mencakup inventarisasi potensi dan penyusunan rencana kelola wilayah adat.

EcoNusa memfasilitasi proses registrasi wilayah secara formal di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat agar tetap berjalan sesuai konstitusi dan tidak menabrak aturan adat. Hal ini disampaikan dalam acara Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Rencana Kelola Wilayah Adat Malaumkarta di Sorong pada 22 Februari 2021.

Tetapi selalu ada kendala dan tantangan yang harus dihadapi dalam proses untuk mendapatkan pengakuan hak masyarakat adat. Ada kesenjangan antara para tetua adat yang mengetahui persis wilayah adat dan generasi muda yang sudah abai terhadap wilayah adat dan segala budayanya. 

Seorang tetua adat marga Malasamuk, Spenyer, mengatakan bahwa beberapa tetua adat yang mewakili marga di Suku Moi Kelim ada yang meninggal. Di sisi lain, sekolah adat seperti Sekolah Adat Kambik, sudah tidak ada lagi. “Anak-anak muda dari 14 marga kelihatannya belum ada yang tertarik untuk mendalami adat,” kata Spenyer. 

“Kami bingung kalau nanti tidak ada lagi yang meneruskan adat Moi Kelim ini. Jangan sampai kita kehilangan satu generasi penerus adat, karena sudah tidak ada lagi sekolah adat,” kata Torianus Kalami, Ketua PGM. 

Para tetua adat menceritakan bahwa mereka dulu mendapatkan pendidikan adat secara turun temurun melalui sekolah adat. Sekolah adat ini punya bidang berbeda. Ada bidang religi dan budaya, pengobatan, pertanian, dan hukum adat. Dulu ada Pendidikan Adat Kambik di Sorong. Tapi sekolah adat itu sudah tidak ada lagi bangunannya seiring dengan perkembangan sosial dan politik di Tanah Papua.

Para pemuka adat saat ini biasanya adalah generasi terakhir dari sekolah adat yang pernah ada di setiap marga. “Persoalannya, para anak muda tidak tertarik lagi dengan persoalan adat. Para pemuka adat Suku Moi tidak menurunkan pengetahuan adatnya ke generasi selanjutnya,” kata Tori. 

Kehadiran PGM dan EcoNusa hendak mengajak kaum muda untuk peduli dengan wilayah adat mereka. Para tetua adat pun bersemangat mendampingi anak muda suku Moi Kelim memanfaatkan teknologi untuk memastikan batas wilayah adat. 

Kini generasi muda mulai tergerak untuk menggunakan jalur formal selain sekolah adat agar dapat melestarikan entitas adat dalam wujud hutan dan wilayah adat. Hal ini mencakup penguasaan batas wilayah, ritual, budaya, pengobatan serta kearifan adat yang sudah mereka miliki. 

“Mereka belajar mengadopsi teknologi agar dapat melakukan pemetaan wilayah adat. Dengan demikian, mereka akan melindungi sumber kekayaan adat dan budaya lokal. Mereka tetap mengacu pada peraturan legal dan metode formal serta teknologi pemetaan yang berkembang,” kata Darkono Tjawikrama, Manajer Riset dan GIS EcoNusa. 

Menurut Darkono, mereka belajar menggunakan alat Global Positioning System (GPS) untuk memetakan wilayah adat Suku Moi Kelim. Hasil itu akan diajukan ke pemerintah melalui registrasi formal. Setelah mendapatkan mandat dari tetua adat, mereka merencanakan pengelolaan yang melibatkan 14 marga dengan tetap mengacu ke kearifan hukum adat. 

Ke-14 marga tersebut memiliki tanah adat yang harus diakui kepemilikannya. Marga tersebut adalah Mobalen, Kalami Kining Pilik, Kalami Malagufuk, Kalami Klagalas, Kalami Malasili, Kalami Tiloke, Magablo Klasouw, Magablo Gauk, Magablo Lingswok, Malasamuk, Sapisa, Ulimpa, Su Klalouk dan Mobalen Gauk. 

Dalam hal ini, ada beberapa tahap yang difasilitasi EcoNusa yang diawali dengan penyiapan pemetaan wilayah adat, membangun konsolidasi dan komitmen antarpihak. Tahap selanjutnya mencakup penyiapan kelembagaan dan dokumen pengusulan hutan adat, integrasi pengusulan skema hutan adat ke dalam tata ruang serta pembangunan daerah ke pemerintah pusat. Tahap terakhir adalah penyusunan rencana potensi pengelolaan wilayah adat.

Editor: Leo Wahyudi

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved