Seorang lelaki kulit putih berteriak di tengah rimbun pepohonan di hutan di Kampung Syoubri, Provinsi Irian Jaya (yang saat ini menjadi Provinsi Papua Barat). Ia mencari Zeth Wonggor, seorang pemuda yang berada di dalam pondok kecil di tengah hutan. Keduanya beradu pandang. Sempat terdiam beberapa saat, lelaki kulit putih itu berbicara singkat, “Saya mau tinggal sama Anda karena saya mau cari burung.” Pertemuan keduanya menjadi titik pangkal munculnya ekowisata di Pegunungan Arfak.
Lelaki itu adalah David Gibbs, ahli burung atau ornitologis asal Inggris. Zeth mencerita kembali pertemuan mereka kepada EcoNusa (22/6/2021). Menurut Zeth, Gibbs berkelana hingga ke salah satu negeri di Timur Jauh untuk mempelajari keluarga cenderawasih atau bird-of-paradise (Paradisaeidae). Cenderawasih telah lama menjadi buah bibir banyak orang. Pesonanya dibicarakan dari pihak Kesultanan Bacan, pedagang Melayu, ilmuwan Alfred Russel Wallace, Kerajaan Spanyol, hingga penjelajah Portugis. Dari sana kemasyhuran hingga mitos yang menyelimuti bulu indah cenderawasih pun berkembang.
Gibbs berjalan kaki sekitar 62 kilometer dari Manokwari menuju Kampung Syoubri. Saat itu, pada 1990, belum ada jalan memadai yang dapat dilintasi alat transportasi darat. Kedatangan Gibbs tak disambut baik. Masyarakat di Kampung Syoubri memiliki trauma dengan orang asing usai pertikaian Belanda dan Jepang. Usai menjelaskan maksud kedatangannya, masyarakat menyarankan Gibbs menemui Zeth Wonggor.
Baca juga: Mereka yang Terpikat Pesona Cenderawasih
Pengetahuan Zeth Wonggor tentang hutan dan berbagai hewan di dalamnya berada di atas rata-rata. Ia mampu membedakan berbagai suara burung cenderawasih, tempat mereka bermain, hingga pertanda yang diucapkan oleh burung surga itu. Masyarakat Arfak percaya cenderawasih tak pernah salah mengabarkan kondisi cuaca.
Kemampuan itu ia dapatkan saat hidup di tengah hutan. Zeth memutuskan tak melanjutkan pendidikannya di sekolah dasar dan menyendiri di hutan. Ia membangun rumah kaki seribu, rumah tradisional Suku Arfak, di pinggir hutan dan membuat kebun. Untuk bertahan hidup, Zeth menyantap berbagai hewan yang ia temui.
Zeth menyetujui tawaran Gibbs. Selain dirinya, ada dua orang lain yang bertugas sebagai porter untuk membawa tas kamera dan tripod. Kedua alat pendokumentasian itu menimbulkan banyak pertanyaan di benak Zeth. Pasalnya, tripod yang dibawa orang itu dikiranya senjata. “Kami tidak tahu tripod ini untuk apa. Untuk tembak kah? Kamera panjang-panjang untuk apa? Ada peluru di dalamnya kah untuk tembak burung?” ujar Zeth.
Zeth menyimpan sendiri dugaan dan kekuatirannya karena tak ada penjelasan lebih jauh dari Gibbs. Ia hanya sedikit berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Kesunyian meraka tetap berlanjut tatkala Gibbs tiba di rumah kaki seribu. Di sana, terhampar berbagai bulu burung yang Zeth gunakan untuk membuat anak panah. “Saya pikir, dia mau makan (burung-burung) seperti ini,” kata Zeth.
Baca juga: Penyelamatan Hutan Papua dan Maluku Tak Hanya Menyangkut Kelestarian Cenderawasih
Pagi-pagi sekali mereka masuk ke dalam hutan. Zeth meninggalkan panah di rumah kaki seribu. Ia hanya membawa parang untuk membuka jalan dan noken sebagai wadah menyimpan burung untuk makan siang dan malam. Sepanjang perjalanan Gibbs marah saat Zeth memotong dahan atau kayu yang menghalangi perjalanan. Zeth Wongggor bingung.
Mereka bertemu dengan sekumpulan burung yang tengah asyik menikmati nektar di sebuah pohon besar. Gibbs bergeming. Tak ada bunyi senjata, tak ada burung jatuh. Zeth dan porter lainnya kembali tak mengerti atas apa yang terjadi. Namun Zeth tahu tak ada burung berarti tak ada makanan. Ia melempar batu dan sekumpulan burung berhambur pergi. Gibbs justru bertanya mengapa ia melakukan tindakan itu.
“Dia tanya. ‘Siapa yang tembak?’ saya bilang, ‘Saya. Karena ko tidak tembak. Sebentar mau makan apa kalau ko nonton-nonton terus begitu.’ Dia bilang, ‘Semua orang duduk. Semua orang duduk’. Dia hanya tahu sedikit bahasa Indonesia,” kata Zeth. Ketika kembali menyusuri hutan, mereka melihat seekor merpati berjalan di tanah. Zeth dan porter lain mengerumuni merpati seraya melempar sesuatu. Gibbs kembali berteriak. “Tidak boleh, tidak boleh.”
Baca juga: Igya Ser Hanjop, Pengelolaan Ruang Ekologi Suku Arfak
Lalu mereka tiba di tempat Parotia Arfak (Parotia sefilata). Zeth telah membuat pondok pengamatan sebelumnya agar dapat menikmati tarian Parotia lebih dekat, sebuah tarian yang ditampilkan untuk mendapatkan pasangan saat musim kawin tiba. Gibbs masuk pondok pengamatan, sementara Zeth dan porter lain menunggu di luar. Tak berselang lama, rana kamera Gibbs bergerak cepat dan menimbulkan suara khas. Zeth mengira itu adalah tanda letusan senjata. Sontak ia bergegas mendekati Parotia. Melihat reaksi Zeth, Gibbs hanya menggeleng. Zeth membalas dengan reaksi yang serupa. Sayangnya, makna gerakan tubuh mereka sama sekali berbeda.
“Balik ke rumah dia bayar saya karena sudah kerja. ‘Kerja apa? Ko larang saya untuk potong kayu jadi kami tidak kerja hari ini. Kami hanya jalan-jalan saja.’ Baru dia bilang, ‘Tidak, kamu pikul barang, berjalan baik di hutan,” ucap Zeth. Ia menolak uang pemberian Gibbs lantaran tempat atau toko untuk berbelanja terlalu jauh dari kediamannya. Gibbs menggantinya dengan makanan.
Pertemuan tersebut membuka kemungkinan baru bagi Zeth Wonggor dan David Gibbs. Zeth mengenal konsep pemandu wisata. Tanpa membawa senjata untuk membunuh penghuni hutan, ia bisa mendapatkan penghasilan. Sementara bagi David Gibbs, kedatangannya ke Arfak menjadi salah satu bahan untuk tulisannya setebal 50 halaman yang berisi panduan bagi para pengamat burung. Atas pertemuannya dengan Zeth, ia menulis, “Saat mengamati burung di sekitar Mokwam, Anda harus mempekerjakan Zeth Wonggor, seorang pemburu yang menjadi pemandu dengan pengetahuan yang tak tertandingi.”
Editor: Leo Wahyudi & Nur Alfiyah