Banyak orang yang rela menghabiskan uangnya untuk membeli kebutuhan sandang. Sandang adalah pakaian yang dikenakan setiap hari, mulai dari baju, celana, jaket dan lainnya. Tidak hanya sebagai kebutuhan, pakaian telah menjadi tren dan cara seseorang dalam mengekspresikan diri.
Tren fast fashion juga menghiasi industri mode tanah air. Banyak dari merek mode kenamaan yang membuka gerainya di pasar Indonesia, bahkan produk-produk tersebut diproduksi cepat dan dijual dengan harga yang terjangkau.
Sayangnya dibalik perkembangan fesyen yang menjanjikan tersimpan banyak permasalahan lingkungan yang tidak banyak orang ketahui. Industri tekstil sebagai industri yang memproduksi bahan dasar dari industri mode nyatanya penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) terbanyak dan juga merupakan penyumbang mikroplastik di laut.
Berdasarkan pemaparan, Prof. Rachmat Witoelar, Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, industri mode global menghasilkan 1,2 miliar ton emisi gas rumah kaca per tahunnya. Ditambah lagi industri ini banyak bergantung ke sumber daya alam yang tidak bisa diperbaharui seperti, minyak untuk memproduksi serat sintetik, pupuk untuk menanam kapas, cairan kimia untuk membuat dan mewarnai serat dan tekstil.
Manajer The Climate Reality Project Indonesia, Amanda Katili Niode, menjelaskan bahwa, selain penyumbang emisi GRK, industri mode membutuhkan air dalam jumlah banyak dalam proses produksinya. Hal ini mendorong pengambilan air tanah besar-besaran, serta menghasilkan limbah cair yang sering di buang ke sungai sehingga mengotori dan menurunkan kualitas air karena sudah terpapar zat kimia.
“10.000 liter air yang digunakan itu hanya untuk memproduksi 1 kg kapas. Bayangkan, pakaian yang kita pakai ini diproduksi dari 10.000 liter air. Kemudian 85% kain dari produk tekstil itu masuk ke tempat pembuangan sampah atau dibakar. Padahal banyak sekali kain-kain sisa yang sebenarnya masih bisa digunakan kembali,” kata Amanda saat ditemui langsung.
Selain itu bagi lingkungan laut, industri fesyen menjadi penyumbang terbesar terhadap permasalahan mikroplastik. Menurut Reza Cordova peneliti Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) mengungkapkan bahwa dalam tubuh manusia sudah terdapat mikroplastik dari makanan yang dikonsumsi. Namun jumlah itu masih lebih sedikit dibandingkan dengan mikroplastik yang terdapat di material pakaian.
Professor Richard Thompson, peneliti Biologi Laut Universitas Plymouth, seperti dikutip dalam wawancara media The Economist juga menjelaskan bahwa dalam sekali cuci, pakaian dapat melepaskan hingga 700.000 serat mikroplastik yang banyak berakhir di laut. Serat sintetis pakaian seperti polyester, nylon dan akrilik berasal dari material serat plastik. Serat ini hancur dan putus dalam siklus mesin cuci. Tahun 2000-2016 pemakaian polyester oleh industri garmen global naik dari 8,3 juta ton menjadi 20,1 juta ton setiap tahunnya (The Economist, 2018).
Dilansir pada laman huffingtonpost.com, serat plastik pada pakaian bisa memakan waktu hingga 200 tahun untuk terdegradasi dan memiliki efek yang tak terlihat tetapi mematikan di lautan. Setiap kali mencuci, serat plastik kecil dilepaskan dan panjangnya kurang dari 1 milimeter, sehingga menyulitkan proses penyaringan air. Sepasang kaus kaki bermaterial nilon saja meninggalkan 136.000 serat plastik. Serat kecil ini lebih banyak berimbas di laut dibandingkan botol plastik.
Melihat dari persoalan tersebut sudah sebaiknya pegiat industri mode dunia mulai menciptakan model bisnis yang berkelanjutan. Sebagai salah satu industri global terbesar, industri fesyen memiliki kekuatan yang sangat nyata dalam menarik partisipasi dan perhatian konsumen untuk memulai gaya hidup yang ramah lingkungan.