Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Perdasus Pembangunan Berkelanjutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat Papua

Bagikan Tulisan
Kiri ke kanan: Asisten II Provinsi Papua Noak Kapisa, Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Nur Hygiawati Rahayu, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wiratno, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan, akademisi the Harvard Kennedy School Art Richard Senider, Direktur Royal Botanic Gardens, Kew-UK Richard Deverell, dan Ketua Harian Pandu Laut Nusantar Prita Laura selaku moderator. Sesi Pleno 1 mengusung tema “Percepatan Pembangunan melalui Provinsi Berkelanjutan di Tanah Papua”.

Perumusan Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Raperdasus) Pembangunan Berkelanjutan di Papua Barat tidak hanya berfokus pada pelestarian alam tanah Papua saja. Salah satu niatan luhur adalah mengakui hak dan memastikan kesejahteraan masyarakat adat yang juga mendiami kawasan hutan Papua dan Papua Barat.

Suara itu menjadi gaung dalam pelaksanaan Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Ekowisata dan Ekonomi Kreatif (ICBE) 2018 hari pertama. Sejumlah Pembicara dalam Sesi-sesi yang diselenggarakan menyuarakan hal itu.

“Ada 7 Masyarakat Adat yang perlu kita dengar di Tanah Papua ini. Dan dengan Sumber Daya Alam yang melimpah di Tanah Papua ini kita sudah berikan kontribusi besar bagi kepentingan negara dan dunia internasional. Jadi harapan-harapan kami lewat Perdasus dan peraturan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan pemerintah kita harapkan dapat diakomodir sehingga kita bisa pacu percepatan pembangunan di tanah papua,” ucap Gubernur Papua Barat Drs Dominggus Mandacan saat berbicara dalam Plenary Session.

Dirinya menyebut pemerintah pusat dapat mengakomodir dan membantu upaya-upaya masyarakat di tanah papua untuk menjaga kelestarian alam. “Seperti yang saya bilang kemarin, mereka-mereka yang menjaga hutan ini seharusnya juga diberikan insentif dalam bentuk Ekologikal Transfer Fiskal, juga diharapkan dalam penetapan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) oleh Pemerintah Pusat perlu juga memperhitungkan luasan kawasan konservasi dan lindung sebagai salah satu Indikator.

Upaya mengapresiasi masyarakat adat yang menjaga kawasan hutan pun disuarakan oleh Sekretaris II Provinsi Papua Noak Kapisa. Berbicara dalam Plenary Session yang sama, dirinya menyebut diperlukan insentif bagi masyarakat adat yang menjaga kawasan mereka.

“Orang-orang yang jaga hutan dapat diberikan insentif, baik itu melalui DAU atau DAK. Karena sesuai dengan visi Papua 2100, Masyarakat sejahtera, dan kawasan sumber daya alam juga lestari,” ucap dia.

Ketua Tim Kerja ICBE 2018 Charlie Heatubun menyatakan perubahan nama dari Perdasus Provinsi Konservasi menjadi Pembangunan Berkelanjutan pun dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Pasalnya, nomenklatur Konservasi hanya membuat masyarakat takut untuk mengelola bahkan menyentuh kawasan-kawasan tertentu.

“Dengan ini filosofinya jadi modern, sehingga kita bisa gunakan secara bijaksana. Kita bukan tidak gunakan kawasan kita, tapi gunakan untuk kesejahteraan masyarakat,” terang dia.

Ketua DPRD Provinsi Papua Barat Pieters Kondjol dalam sesi berbeda menyatakan ada Raperdasus yang tengah dirancang untuk memastikan hak masyarakat adat. Dalam proses penyusunan pun DPRD selalu berkonsultasi dengan Majelis Rakyat Papua (MRP). Dirinya menyebut peran masyarakat adat sangat penting untuk menjaga 9 juta hektare kawasan hutan Papua Barat.

“Kami berharap dengan komitmen pembangunan berkelanjutan kami, ada insentif-insentif yang diberikan entah itu dari DAU, DAK atau dana lain. Supaya masyarakat dengan pendampingan yang dilakukan juga bisa mengawasi hutan kita,” terang Pieters.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Wiratno menyatakan Menteri LHK tengah menyusun Peraturan Menteri tentang provinsi konservasi.

“Dan hal itu akan dilihat dari hutan yang dilindungi. Bukan hanya di Papua, tapi provinsi lainnya di Indonesia. Akan ada satu policy dari Kementerian LHK untuk mendorong atau intinya mendampingi pengembangan hutan, pendampingan technical, dan policy support membangun opsi mengelola hutan tanpa menebang,” ucap dia.

Banyak cara untuk memastikan kelestarian hutan namun juga memastikan kesejahteraan masyarakat. “Forest is not a timber. Jadi apa yang dideklarasikan dan coba didorong oleh Papua dan Papua Barat adalah salah satu contoh yang luar biasa. Papua akan wariskan hutan ini hingga seribu tahun,” ucap dia.

Sementara itu, Akademisi Universitas Papua Agus Sumule mendorong agar pelembagaan masyarakat adat untuk segera dilakukan.

“Kalau ada kelembagaan yang kuat, maka ke depan kalau ada investor yang mau masuk, mereka bisa kuat pertahanannya,” terang Agus.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Papua Barat, dalam kurun 2017-2018 terdapat 31 usulan Lembaga Pengelola Hutan Desa dengan luas wilayah mencapai 101.243,16 Hektare. Sementara untuk Hutan adat, terdapat 7 kabupaten yang tengah melakukan pelengkapan persyaratan, daerah yang memiliki Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat ialah Kabupaten Sorong, dan yang tengah memiliki draft ialah Kabupaten Tambrauw, Teluk Bintuni, dan Mansel.

ICBE hari kedua, Selasa (09/10/2018) akan membicarakan dukungan kebijakan dan pendanaan untuk kawasan konservasi. Di hari itu, juga akan diadakan 3 sesi pleno dan 3 sesi paralel.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved