Search
Close this search box.
Search
Close this search box.
EcoStory

Pendekatan Budaya untuk Selamatkan Tanah Papua

Bagikan Tulisan
Pendekatan budaya menjadi salah satu metode yang dapat diterapkan di Tanah Papua untuk menjaga dan melidungi alam

Kerusakan lingkungan hidup tak berhenti pada hilangnya keragaman hayati, tapi juga meyentuh berbagai aspek lingkungan lainnya termasuk ancaman perubahan iklim. Kerusakan hutan yang mendatangkan banjir bandang, merusak ekosistem dan penghidupan masyarakat lokal dapat saja terjadi bila pengelolaan hutan tidak dilakukan secara optimal. Untuk mengatasi hal ini, pendekatan budaya menjadi salah satu jawaban yang dapat diterapkan dan diterima masyarakat di Tanah Papua.

Hal itu menjadi pembahasan dalam talk show bertajuk “Ekologi Papua dan Krisis Iklim” dalam rangkaian acara School of Eco Diplomacy (SED) tingkat dasar di Jayapura, Papua. SED terselenggara atas kerja sama Pemerintah Provinsi Papua melalui Dinas Kehutanan, Universitas Cendrawasih, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua, Forum Komunitas Jayapura-Rumah Bakau Jayapura, serta Yayasan EcoNusa.

Hadir dalam acara tersebut Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Kota Jayapura Yohanes Sugeng Huik, Kasubag Evaluasi Pelaporan Data dan Hubungan Masyarakat, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Paulus Baibaba, Pembantu Rektor III Universitas Cendrawasih Jhonathan Wororomi, Dosen Prodi Pendidikan Geografi Universitas Cendrawasih Yehuda Hamokwarong, dan warga Kampung Sereh, Sentani, Yesaya Eluay.

“Saat hutan rusak bukan hanya pohon yang hilang atau banjir, tapi juga proses interaksi lingkungan dan aspek sosial, budaya. Ini cukup complicated,” kata Jhonathan.

Yesaya menuturkan, Pegunungan Cycloops rusak akibat aktivitas perkebunan. Masyarakat berkebun pada ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Menurut Yesaya, banyak pohon besar telah tumbang, berganti menjadi perkebunan masyarakat. Hal itu juga berdampak pada sumber mata air. Dari 124 mata air kini hanya tersisa 5 mata air yang masih mengalir.

“Cycloops dulu dingin sekali. Embunnya tebal dan baju basah. Masuk ke dalam pakai senter kalau pagi hari (pukul 4) tapi sekarang sudah terang. Pohon besar dan kami takut-takut. Sekarang sudah tidak ada. Cycloops juga sudah longsor seperti itu. Banjir kemarin rumah saya kena dan dua anak tewas. Saya kalau bicara cagar alam saja sedih,” ucap Yesaya.

Yehuda menyayangkan sikap pemerintah yang memberikan izin pemukiman di bantara sungai. Dengan begitu, lanjut dia, pemerintah tak mengindahkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Pemukiman tersebut sejatinya dapat mengancam keselamatan warga, seperti saat terjadinya banjir bandang dan longsor di Pegunungan Cyloops.

“Dari korban banjir kemarin, yang paling banyak adalah penduduk yang berada di bantaran sungai. Ini tentu saja dapat membahayakan. Saat ini RTRW tengah ditinjau kembali oleh pemerintah,” ujar Yehuda

Kerja sama antar suku juga dapat meringankan upaya konservasi. Paulus mengatakan, cagar alam Pegunungan Cycloops didiami oleh lima suku berbeda. Perbedaan adat dan etika pada pemegang hak ulayat perlu dipahami oleh pemerintah daerah untuk memudahkan pengelolaan cagar alam.

Yohanes memandang generasi muda memiliki peran besar dalam upaya melestarikan sumber daya alam dan melindungi masyarakat. Dia berharap program SED dapat membawa perubahan kepada setiap peserta dan lingkungan sekitar. “Ketika kita mencintai alam, maka alam akan lebih mencintai kita,” ujar Yohanes.

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved