
Di tengah perbukitan Kampung Nagura, Kaimana, masyarakat berkumpul bersama untuk memanen padi ladang pertama mereka. Suasana penuh semangat dan kebersamaan terasa kuat di ladang itu. Sebagian warga membabat padi dengan sabit, sementara yang lain merontokkan gabah menggunakan mesin perontok sederhana. Tawa, teriakan semangat, dan deru mesin berpadu dengan aroma jerami segar yang memenuhi udara.
Masyarakat mulai menanam padi ladang sejak Mei 2025, dengan pendampingan dari Yayasan EcoNusa. Padi mulai dipanen sejak September dan berlanjut hingga awal Oktober. Dari lahan seluas lebih dari 3 hektare, diperoleh hasil panen sebanyak 3.245 kilogram gabah, dengan hasil giling menjadi beras sekitar 2.569 kilogram. Sebagian besar hasil panen dimanfaatkan untuk konsumsi keluarga, sementara 150 kilogram sisanya disiapkan sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. “Hasilnya sudah kami nikmati,” ujar Suharudin Reasa, Ketua Kelompok Tani Padi Kampung Nagura.
Baca Juga: Menjaga Ketahanan Pangan Lewat Padi Organik di Kampung Nagura
Panen perdana ini menjadi tonggak penting dalam upaya masyarakat mengembangkan pertanian mandiri dan memperkuat ketahanan pangan lokal. Keberhasilan ini tidak hanya menunjukkan kemampuan mereka dalam mengelola lahan secara produktif dan berkelanjutan, juga menjadi simbol kembalinya semangat bertani di tengah keterbatasan akses dan infrastruktur.
Langkah Awal: Asesmen dan Pelatihan
Pendampingan EcoNusa dimulai dengan asesmen awal untuk memahami kondisi sosial dan pertanian masyarakat Nagura. Dialog dilakukan secara langsung dengan warga, mendengarkan harapan mereka, serta menelusuri kembali kebiasaan bertanam padi yang telah lama ditinggalkan. Dari proses ini terungkap bahwa masyarakat pernah menanam padi, namun praktik tersebut berhenti karena berbagai faktor. Kesepakatan pun tercapai. Masyarakat, dengan pendampingan tim EcoNusa, akan mencoba menanam kembali, dengan pendekatan yang lebih terarah dan berbasis penguatan kapasitas.
Langkah pertama adalah pelatihan pembuatan pupuk organik. Ini dianggap penting karena pemupukan menjadi faktor kunci dalam produktivitas lahan. Masyarakat diajarkan memanfaatkan bahan-bahan lokal seperti legum, jerami, dan limbah organik rumah tangga untuk membuat pupuk yang murah, sehat bagi tanah, dan ramah lingkungan. Setelah pelatihan, masyarakat bergotong-royong melakukan pembersihan lahan dan persiapan tanam.
Tantangan di Lapangan: Dari Hama Hingga Pola Pikir
Proses tanam hingga panen tentu tidak lepas dari tantangan. Hama, perubahan cuaca, serta keterbatasan alat menjadi hambatan teknis yang harus dihadapi. Namun tantangan terbesar justru muncul dalam bentuk perubahan pola pikir. Sebagian masyarakat menganggap membeli beras dari luar lebih praktis dibanding menanam sendiri. Selain itu, agenda sosial budaya, seperti hajatan, upacara kematian, hingga perayaan keagamaan juga sering mengganggu keberlangsungan kegiatan kelompok.
Baca Juga: Padi Ladang untuk Ketahanan Pangan Masyarakat Nagura
Sebagai pendamping, kami juga menghadapi tantangan dalam membangun komunikasi yang etis dan menghargai nilai-nilai lokal. Setiap pesan harus disampaikan dengan penuh kehati-hatian agar bisa diterima tanpa menyinggung perasaan. Pendampingan bukan hanya soal mentransfer pengetahuan teknis, tetapi juga soal membangun rasa percaya dan menghargai konteks sosial yang ada.
Evaluasi Panen: Peluang untuk Belajar dan Berkembang
Meski hasil panen perdana memberikan kebanggaan dan semangat baru, evaluasi tetap dilakukan bersama masyarakat. Secara produktivitas, hasil panen kali ini masih jauh dari potensi ideal. Rata-rata produksi per hektare hanya sekitar 1,2 ton, sedangkan pada umumnya padi ladang bisa menghasilkan 5–6 ton per hektare. Beberapa penyebab yang diidentifikasi antara lain terlalu banyak benih dalam satu lubang tanam, serangan hama penggerek batang, dan gangguan babi hutan.
Baca Juga: Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kampung Seraran dengan Padi Organik
Namun dari kekurangan itu, masyarakat dan pendamping justru mendapatkan banyak pembelajaran. Ke depan, teknik penanaman akan diperbaiki, penanganan hama ditingkatkan, dan pembagian peran dalam kelompok akan diatur lebih efektif. Pendampingan ini tidak semata-mata menghasilkan beras, tetapi juga menghasilkan kesadaran baru akan pentingnya kemandirian pangan, gotong royong, dan kemampuan untuk terus belajar dari setiap pengalaman.
Membagun Kepercayaan
Panen perdana di Kampung Nagura adalah lebih dari sekadar keberhasilan teknis pertanian. Ini adalah hasil dari proses panjang membangun kepercayaan, semangat kolektif, dan komitmen untuk kembali bertani secara mandiri. Bagi kami, pendampingan ini bukan hanya tentang program kerja, tetapi pengalaman berharga yang mengajarkan bahwa perubahan sejati dimulai dari hal-hal kecil yang dilakukan bersama-sama, dengan kesabaran dan rasa saling menghargai.
Keberhasilan sesungguhnya bukan hanya diukur dari jumlah beras yang dihasilkan, tetapi dari tumbuhnya kesadaran dan rasa percaya diri masyarakat dalam mengelola sumber daya yang mereka miliki, demi masa depan yang lebih berdaulat dan berkelanjutan.
Editor: Nur Alfiyah