Pandemi memaksa kita untuk tetap berada di rumah. Hampir semua aktivitas dilakukan secara daring, termasuk bekerja, bersekolah, bahkan membeli kebutuhan sehari-hari. Hal ini membuat belanja online meningkat. Data yang dihimpun oleh Indonesian E-commerce Association (idEA) dan We Are Social 2020 menunjukkan bahwa belanja daring bertambah 25-30 persen. Sedangkan hasil studi Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 20 April–5 Mei 2020 mencatat bahwa belanja online mayoritas warga Jabodetabek cenderung meningkat, dari 1-5 kali menjadi 1-10 kali per bulan.
Sayangnya, dari hasil penelitian LIPI tersebut, sebanyak 96 persen dari paket yang diterima dibungkus dengan bahan plastik, terutama selotip, bungkus plastik dan bubble wrap. Hal ini menyebabkan sampah plastik dan beban tempat pembuangan akhir bertambah selama pandemi. Padahal, plastik memiliki andil besar terhadap pemanasan global. Sejak proses produksi hingga menjadi tahap pembuangan dan pengelolaannya, plastik menghasilkan banyak gas rumah kaca ke atmosfer.
Plastik menyebabkan perubahan iklim
Diperkirakan ada 500 juta sampai 1 miliar kantong plastik yang digunakan oleh penduduk dunia dalam satu tahun atau sekitar 1 juta kantong plastik per menit. Untuk memenuhi ini, diperlukan sekitar 12 juta barel bahan baku minyak per tahun yang diproses dengan cara pembakaran. Metode pembakaran inilah yang menghasilkan gas rumah kaca.
Setelah tidak lagi dipakai, plastik kemudian dibuang. Dibutuhkan waktu sampai 400 tahun agar plastik bisa terurai dengan sendirinya karena bakteri tidak mampu mengurai zat tersebut. Lantaran membutuhkan waktu yang sangat lama inilah, plastik biasanya dimusnahkan dengan cara dibakar di tempat pembuangan akhir (TPA). Padahal, metode ini lagi-lagi menambah emisi gas rumah kaca ke atmosfer.
Baca juga: Wakil Wali Kota Jayapura: Sampah Itu Perang Kita Bersama
Indonesia penyumbang sampah plastik terbesar
The World Economic Forum memprediksi pada 2050 jumlah sampah plastik di lautan akan lebih banyak dibandingkan ikan. Indonesia ikut menyumbang sampah plastik tersebut. Hasil penelitian Jenna Jambeck 2010 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Padahal secara pemakaian, baik Indonesia maupun Tiongkok masih kalah dibandingkan dengan Amerika Serikat.
Menurut Jambeck, penduduk Amerika rata-rata menggunakan 38 juta kilogram produk atau kemasan plastik setiap hari. Namun, negara ini mengolah sampahnya dengan baik, sehingga sampah yang tersisa sangat sedikit. Sedangkan Tiongkok yang memakai 32 juta plastik setiap hari, sampah plastik yang tidak bisa dikelola mencapai 24 juta kilogram. Sementara Indonesia yang menggunakan 11 juta kilogram plastik per hari, masih menyisakan sampah plastik yang tidak terkelola mencapai 9 juta kilogram.
Efeknya terhadap ekosistem
Sampah yang tidak terkelola dengan baik ini akan mencemari lingkungan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat 80% sampah yang ada di lautan berasal dari daratan, termasuk plastik. Banyak hewan laut mengira bahwa sampah plastik yang terombang-ambing di lautan adalah makanan mereka. Sehingga banyak hewan, termasuk penyu dan paus mati karena memakan sampah plastik tersebut. Ikan-ikan kecil pun mengira bahwa mikroplastikmikropasltik adalah makanan mereka. Makhluk hidup laut lain juga terkena dampak sampah plastik itu. Banyak yang terperangkap dan tercekik oleh plastik.
Gerakan mengurangi sampah plastik sekali pakai
Sebagai solusi terhadap permasalahan sampah yang kian mengancam ekosistem darat maupun laut, EcoNusa melakukan berbagai kegiatan untuk mengurai permasalahan tersebut. Tak hanya kegiatan beach cleanup (BCU) yang rutin dilakukan dengan mengajak alumni School of EcoDiplomacy EcoNusa dan berbagai komunitas masyarakat, melainkan juga penandatanganan komitmen mengurangi penggunaan plastik sekali pakai bersama 13 universitas di Indonesia.
Baca juga: Pawai Bebas Plastik untuk Kebijakan Ramah Lingkungan
Ketigabelas universitas tersebut yakni Universitas Brawijaya Malang, Universitas Khairun Ternate, Universitas Papua Manokwari, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Universitas Padjajaran Bandung, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Pattimura Ambon, Universitas Muhammadiyah Luwuk, Universitas Tomptika Luwuk, Universitas Sintuwu Maroso Poso, Universitas Kristen Tentena, STP Hatta Sjahrir Banda Naira, dan STKIP Hatta Sjahrir Banda Naira.
Selain itu, diperlukan gerakan untuk menularkan kesadaran tentang bahaya sampah plastik bagi lingkungan hidup. Sejak beberapa tahun silam berbagai CSO di Indonesia termasuk EcoNusa dan komunitas masyarakat menginisiasi sebuah gerakan bersama bernama Pawai Bebas Plastik yang diadakan setiap tahun. Gerakan ini mendorong pemerintah agar lebih serius menangani persoalan sampah yang kian memprihatinkan. Tahun lalu, Pawai Bebas Plastik 2020 menyampaikan kembali tiga tuntutan yang disampaikan pada tahun sebelumnya, yaitu mendorong pemerintah untuk melarang penggunaan plastik sekali pakai; mendorong pemerintah untuk memperbaiki sistem tata kelola sampah; dan mendorong produsen dan pelaku usaha untuk bertanggung jawab atas sampah pasca konsumsi. Tahun 2021 ini, Pawai Bebas Plastik rencananya akan diadakan tanggal 21 Juli mendatang.
Penulis: Nur Alfiyah
Editor: Leo Wahyudi