Sekitar 19 orang kaum muda Kepulauan Maluku terpanggil untuk menyerap spirit lembaga adat penjaga alam. Mereka mengikuti kegiatan School of Eco Diplomacy (SED) Kewang Muda Maluku yang berlangsung di Pulau Gunung Api, Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku pada 11-15 Maret 2021. Acara ini diprakarsai oleh Yayasan EcoNusa dan bekerja sama dengan Moluccas Coastal Care (MCC). Selama lima hari, mereka belajar langsung dari kewang adat Haruku, praktisi lingkungan, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Pattimura Renny H. Nendissa mengatakan, kewang merupakan pranata hukum adat yang berperan menjaga alam di darat dan laut. Kewang juga bertugas memberi pendidikan alam kepada masyarakat. Secara adat, kewang dipilih dari marga tertentu. Maluku tersusun dari banyak pulau sehingga penyebutan kewang bisa saja berbeda di negeri (desa) lain di Maluku.
“Spirit kewang dalam menjaga alam tanpa pamrih akan dipelajari kaum muda Maluku. Sifat ini tentunya perlu ditumbuhkan. Kewang memikul tugas berat dalam menjaga alam di darat dan di laut. Bukan hanya itu, kewang juga bersinergi dengan banyak pihak lain seperti masyarakat dan akademisi,” kata Renny.
Sebagai wilayah kepulauan, Maluku terancam efek pemanasan global. Naiknya suhu air laut membuat terumbu karang memutih hingga mati. Rusaknya terumbu karang berpengaruh besar terhadap ekosistem laut. Pasalnya, untuk bertahan hidup, sekitar 25 persen biota laut sangat bergantung pada terumbu karang. Dengan kata lain, kerusakan terumbu karang akan mengurangi produktivitas tangkapan ikan hingga menurunkan daya tarik pariwisata.
CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar mencontohkan, pemutihan karang banyak terjadi di Pulau Ai dan Pulau Hatta. Sayangnya tak semua pihak memandang pemanasan global sebagai keadaan yang mendesak. “Inilah yang ingin diperlihatkan EcoNusa kepada kaum muda Maluku agar bisa mengetahui, memahami, dan dapat bertindak untuk memperbaiki alam Maluku,” kata Bustar yang hadir dalam pelatihan bersama Manajer Program Kelautan Yayasan EcoNusa Wiro Wirandi.
Bustar juga menggaris bawahi kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia terkait sampah laut. Ancaman sampah plastik sekali pakai di perairan Maluku tidak saja merusak ekosistem biota laut, melainkan juga membahayakan masyarakat Maluku.
“Sampah plastik ada di dasar laut dan daerah pesisir. Waktu saya datang ke sini juga melihat sampah plastik. Ikan makan plastik. Lalu ikannya kita makan. Ini mempengaruhi kesehatan kita. Sebagai diplomat muda dan juga kewang muda, teman-teman memiliki peran penting untuk menyelamatkan alam Maluku ini,” katanya.
Para peserta SED Kewang Muda Maluku berasal dari berbagai tempat di Maluku, seperti Pulau Banda, Kota Tual, Kepulauan Aru, Pulau Haruku, Kabupaten Seram Bagian Barat, Desa Tulehu, dan Kota Ambon. Setiap daerah memiliki kompleksitas permasalahan ekologi yang berbeda.
Di Pulau Seram, penggunaan bom untuk menangkap ikan masih marak terjadi. Topan Farisy Wakanno, peserta dari Kabupaten Seram Bagian Barat, menyesalkan kerusakan ekosistem laut akibat penggunaan bom. Selain itu, abrasi pantai telah mengikis garis pantai di Pulau Seram. Bersama kaum muda lainnya, Topan menginisiasi penanaman mangrove untuk mencegah percepatan laju abrasi.
Sementara itu, menurut Erastus Christelgo Manakane, memperbarui kualitas sumber daya manusia di Pulau Seram juga tak kalah mendesak. Dengan peningkatan kapasitas masyarakat, Erastus berharap masyarakat tak terbuai dengan bujuk rayu perusahaan yang membeli tanah masyarakat dengan harga murah.
“Di beberapa desa masuk investor. Bagusnya mereka mempekerjakan masyarakat. Tapi mereka membeli tanah dengan harga yang murah. Bayangkan, 5 juta rupiah per hektare selama 35 tahun. Masalahnya di Seram bukan hanya sumber daya alam, sumber daya manusia juga harus diperbarui,” ujar Erastus.
Editor: Leo Wahyudi