EcoStory

Menuju Ekonomi Hijau, Merawat Harapan Pengelolaan SDA

Bagikan Tulisan
Foto aerial hutan di Kampung Jawera, Distrik Arguni Bawah, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat. (Yayasan EcoNusa/Arya Sadewa Cahyaputra)

Selamat datang tahun 2021. Meski kondisi pandemi belum banyak berubah dibanding tahun sebelumnya, memalingkan sekejap pandangan ke masa lalu membantu kita wawas diri dalam merawat harapan untuk sebuah pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan. 

Tahun 2020 telah mengubah segala rencana dan membuat kita menghela napas panjang. Tahun lalu pergi lebih “cepat”. Tanpa bermaksud mengecilkan segala perjuangan baik yang telah terjadi, seolah kehidupan normal terjadi hanya di 3 bulan pertama 2020. Tepatnya sebelum pandemi merebak di Indonesia. Sisanya, kita lebih banyak menyesuaikan diri dengan protokol kesehatan akibat pandemi COVID-19. 

Pada masa awal pandemi COVID-19, perilaku masyarakat berubah demi menghentikan laju penyebaran virus. Sebagian besar orang mendekam di rumah masing-masing. Gedung perkantoran menjadi sunyi, dan jalan raya lengang. Penurunan aktivitas perekonomian membuat banyak orang khawatir. Namun  di saat bersamaan, jumlah polutan yang menyelimuti bumi menurun. 

Penurunan Polutan

Tak hanya di Indonesia, sejumlah tempat di dunia juga mengalami penurunan nitrogen dioksida dan polutan lainnya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat kualitas udara pada Maret 2020 lebih baik dibanding tahun sebelumnya. Sebuah foto yang viral di media sosial menunjukkan dengan gamblang komparasi langit Jakarta sebelum dan saat awal pandemi. 

Sebagian dari kita merayakan kebersihan udara sebagai sebuah “berkah” serta “pesan” agar bumi beristirahat. Maklum, kita terlampau lama merasakan kualitas udara yang buruk akibat penggunaan energi kotor. Sementara energi terbarukan yang tak kunjung diprioritaskan. Sumber daya fosil masih menjadi primadona pemangku kebijakan untuk memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat.

Sayangnya, perubahan kualitas udara terjadi akibat perubahan perilaku sesaat melalui mekanisme koersif, bukan akibat penerapan ekonomi hijau yang telah terencana. Saat ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diperlunak, kendaraan kembali merayap di jalan. Konsumsi energi selama berdekam di rumah meningkat tajam. Langit di kota besar pun kembali keruh.

Gavin Schmidt, ilmuwan iklim dan Direktur Nasa Goddard Institute for Space Studies, melontarkan analogi yang menarik. Ia mengibaratkan bumi dengan bathtub yang terus diisi emisi karbon dioksida dan polutan. Setelah terisi sekian lama, penghentian sesaat emisi karbon dioksida dan polutan tak memberikan pengaruh signifikan. “Bahkan ketika dikecilkan sekalipun, masih terisi juga,” katanya.

Kerusakan Hutan

Perekonomian Indonesia yang bertumpu pada tingkat konsumsi kelas menengah-atas tak mampu bertahan saat pandemi datang menerjang. Pengangguran naik 2,67 juta orang, yang semula berkisar 7,1 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Pertambahan jumlah pengangguran sejalan dengan penurunan tingkat kesejahteraan masyarakat. 

Bila pertambahan pengangguran menurunkan aktivitas perekonomian, mengurangi jumlah emisi karbon dioksida dan polutan di kawasan perkotaan, kondisi serupa tak berlaku di kawasan lain, seperti di daerah terpencil dan pedesaan. “Ini akurat di kota dan area urban. Tapi, sayangnya, di wilayah terpencil kondisinya terbalik,” kata Presiden Eksekutif Conservation International Sebastian Troeng.

Menurut Troeng, deforestasi di seluruh dunia meningkat saat karantina akibat pandemi COVID-19. Peningkatan perambahan hutan dan pertambangan ilegal terjadi di Brazil dan Kolombia. Filipina dilaporkan mengalami peningkatan perambahan hutan ilegal dan perburuan liar. Perburuan gading gajah marak di Kenya. Venezuela, Madagaskar, dan Kamboja tercatat mengalami kenaikan perburuan hewan liar, perambahan hutan, dan pertambangan.

Bagaimana dengan Indonesia? PSBB dan pengurangan aktivitas lainnya membuat penjagaan terhadap sumber daya alam melemah. Sementara tekanan ekonomi mendesak untuk dipenuhi. Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendapati kerusakan hutan terjadi dari Sumatera hingga Papua. Kasusnya didominasi oleh penebangan pohon dan penambangan ilegal serta perdagangan satwa dilindungi.

Kebun baru terbuka di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Masyarakat yang sebelumnya bekerja di luar Kabupaten Aceh Tenggara terpaksa pulang kampung akibat pademi. Kehilangan pekerjaan, mereka memutuskan membuka kebun di hutan lindung. Sementara itu, Rainforest Action Network (RAN) mengungkapkan pembukaan hutan di KEL dilakukan oleh perusahaan sawit di Kabupaten Aceh Timur. Pembukaan hutan dengan cara membakar dilakukan pada April 2020.   

Hasil analisis tim riset EcoNusa melalui interpretasi citra landsat dan sentinel menemukan 1.669 hektare kawasan hutan di Tanah Papua hilang selama Januari hingga Juni 2020. Luasan itu setara dengan 2.225 kali lapangan sepak bola yang mengemisi 288.462 ton karbon dan berganti menjadi kebun sawit. Lokasinya berada di Merauke, Fakfak, dan Manokwari.

Padahal, kehilangan tutupan hutan, selain mendorong perubahan iklim, juga meningkatkan kemungkinan munculnya virus baru. Hewan kehilangan tempat tinggal mereka setelah hutan dibabat habis. Hewan liar terpaksa meninggalkan habitat asalnya. Patogen yang semula hanya berada di hewan liar dapat berpindah ke manusia akibat interaksi yang sebelumnya tidak terjadi. Bukan tidak mungkin virus dengan penyebaran lebih cepat dan mematikan terjadi di masa depan.

Ekonomi Hijau

Tahun 2021 dapat menjadi momentum perubahan paradigma guna menyelaraskan ekonomi dan lingkungan hidup. Pandemi COVID-19 sudah semestinya menjadi hikmah bersama bahwa ekonomi tak bisa berjalan sendiri. Pertumbuhan ekonomi sebagai panglima merupakan konsep usang yang telah lama ditinggalkan.

Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyatakan dengan tegas bahwa pandemi COVID-19 adalah sebuah peringatan untuk berhenti melampaui batasan bumi. Eksploitasi yang terus berlanjut demi memuaskan hasrat manusia hanya akan mendorong pandemi berikutnya terjadi lebih cepat. Menurut WEF, investasi ekonomi harus diarahkan menuju ekonomi hijau berlandaskan sains demi mengurangi ancaman perubahan iklim, kehilangan keanekaragaman hayati, dan pandemi. 

Tentu saja, harapan itu masih terlihat di depan mata. Salah satunya dapat terlihat pada industri perbankan Indonesia yang bergerak menuju bank hijau. Ada 13 bank yang tergabung dalam Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) sejak akhir 2019. Mereka mewakili 60 persen aset perbankan nasional. Keanggotaan IKBI diharapkan dapat mendorong peningkatan kinerja bank pada aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST). BCA misalnya, tidak memberikan kredit kepada usaha yang mengancam aspek LST. Sementara BNI mendukung ekspansi sektor usaha berkelanjutan

Industri manufaktur yang menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar perlahan memperbaiki diri. PT Coca-Cola Amatil Indonesia memasang panel surya dengan kapasitas 7,13 megawatt di area 72 ribu meter persegi di Cikarang Barat, Jawa Barat. Ini akan menggantikan 60 persen kebutuhan listrik pabrik. Sementara itu, Unilever Indonesia menggunakan biomassa sebagai pengganti gas alam untuk mengeringkan deterjen bubuk. Mereka berusaha mencapai produk bebas emisi pada 2039.

Di tengah semangat menuju ekonomi hijau, Undang-Undang Cipta Kerja menjadi batu sandungan yang dapat menghambat pemerintah menurunkan emisi 41 persen atau 1,1 gigaton setara C02 pada 2030. Tak sampai satu dekade tersisa untuk mencapai target Perjanjian Paris. Untuk itu, kerja sama berbagai pemangku kepentingan teramat penting sambil memperbaiki ekonomi selama pandemi.

Editor: Leo Wahyudi & V. Arnila Wulandani

EcoBlogs Lainnya

Copyright ©2023.
EcoNusa Foundation
All Rights Reserved