Pencabutan izin empat perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sorong, Papua Barat, tersebar di 9 Distrik yaitu Distrik Segun, Distrik Salawati, Distrik Malabotom, Distrik Klamono, Distrik Mariat, Distrik Mayamuk, Distrik Sayosa, Distrik Konhir, dan Distrik Wemak. Lokasi kampung-kampung yang ada di kawasan konsesi yang sudah dicabut ini masih berada dalam kawasan hutan alam yang luas.
Kekayaan sumber daya alam yang dimiliki di lokasi tersebut harus dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Untuk memastikan hal tersebut, EcoNusa memperkuat kapasitas masyarakat adat dalam mengelola potensi yang dimiliki. Salah satunya dengan melakukan kegiatan pencakupan (scoping) untuk memastikan kampung yang memiliki komitmen dalam menjaga benteng sumber daya alamnya. Pencakupan ini dilakukan di 9 kampung yang tersebar di 4 Distrik, yaitu Kampung Gisim, Klajaring, Segun, dan Malamas di Distrik Segun, Kampung Kasimile, Walio, dan Klayas di Distrik Seget, Kampung Mamsit di Distrik Botain, dan Kampung Ningjemur di Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong.
Baca Juga: Sagu, Tanaman Sejuta Manfaat yang Terancam oleh Pembangunan
Salah satu dari 9 kampung, Kampung Gisim, terletak di Distrik Segun, Kabupaten Sorong. Kampung ini kebanyakan dihuni oleh suku Moi, sub suku Moi Segin. Dulu nama Kampung Gisim disebut ampung Seremuk Wala yang dihuni oleh 9 marga sub-suku Moi Segin, yaitu marga Klafiyu, Kayaru, Sede, Klasi, Klawon, Malaum, Yau, Kalami dan Malasmene. Kesembilan marga memiliki hak kepemilikan yang sah secara turun temurun dalam pembagian tanah adat serta struktur adat marganya masing-masing. Mereka juga memiliki pengetahuan masyarakat adat di wilayah adat dan hutan adat yang saling berbatasan. Kesembilan marga tersebut hidup rukun dan mereka saling bergandengan tangan ketika berkecimpung dalam urusan gereja, adat, dan hal lain terkait pemerintahan.
Kampung Gisim dapat dijangkau dengan menggunakan perahu panjang (long boat) melalui jalur laut dari Modan di Distrik Moisegin. Biasanya perjalanan ditempuh selama 2-4 jam melewati sungai dan rimbunan hutan bakau. Karena jauh dari arus mobilisasi umum, kehidupan budaya asli suku Moi di Kampung Gisim masih terlihat asli. Sebagian besar penduduk masih makan sagu (papeda).
Para perempuan kampung masih memiliki keterampilan dan pengetahuan tradisional yang ada. Masih banyak perempuan yang membuat noken, menjahit tikar, membuat koba-koba (anyaman tikar dari daun pandan hutan). Tikar atau koba-koba digunakan untuk tidur dan berfungsi sebagai payung saat hujan dan panas. Selain itu, banyak dari mereka yang menggunakan koba-koba sebagai tempat untuk menyimpan surat-surat penting. Semua yang dikerjakan dari pengetahuan tradisional tersebut yang memiliki nilai filosofi yang tinggi.
Baca Juga: Potensi Tuna Indonesia dan Nasib Nelayan Huhate
Koba–koba ini memiliki ukuran bervariasi. Ada ukuran besar, sedang, dan kecil. Ukuran besar biasanya bisa mencapai 150×75 cm. Ukuran sedang panjangnya 50-70 cm yang biasanya digunakan sebagai pengganti map. Koba-koba terkecil, biasanya ukurannya 10-15 cm, digunakan sebagai dompet.
Masyarakat adat Suku Moi di Kampung Gisim memiliki potensi alam yang luar biasa. Mereka memiliki udang, ikan, kepiting, rusa, babi, kayu besi, tali rotan, buah cempedak, dan buah langsat sebagai potensi kampung. Potensi ini bisa menjadi sumber penghidupan yang menjanjikan. Bahkan bila dikonversikan ke nilai rupiah, masyarakat Suku Moi bisa memperoleh pendapatan hingga ratusan juta setiap bulannya.
Meskipun memiliki kearifan lokal, masyarakat di kampung ini masih menunggu dorongan dan penguatan kapasitas agar mereka lebih mengenali sehingga bisa mengangkat potensi yang mereka miliki. Sebenarnya masyarakat adat di Kampung Gisim punya harapan dan impian sendiri untuk dapat mengelola sumber-sumber penghidupan yang ada di wilayahnya sendiri. Namun, kenyataannya mereka terkendala dengan persoalan transportasi. Kendala ini menjadi alasan utama masyarakat untuk tidak mengelola segala potensi yang ada di alam.
Baca Juga: Sanggase, Calon Sentra Penghasil Beras di Distrik Okaba
Menurut Ana Kayaru, seorang perempuan Kampung Gisim, mereka sudah pernah mengikuti pelatihan yang diberikan oleh Universitas Papua untuk mengolah tepung sagu, keripik pisang, dendeng rusa, dan aneka olahan ikan. Sayangnya setelah pelatihan tersebut, mereka kurang mendapat perhatian. “Jika kami olah menjadi produk turunan, kami mau jual ke mana? Kami tidak semua mempunyai perahu dan motor tempel,” kata Ana. Ia menceritakan bahwa di Kampung Gisim belum ada pangkalan bahan bakar minyak untuk transportasi masyarakat.
Kondisi ini membuat masyarakat tidak bergerak dan lebih memilih tinggal diam dengan segala potensi yang ada. Mereka mengambil potensi alam sesuai dengan kebutuhan konsumsi. “Kami tinggal diam saja setelah pelatihan. Kami tidak melanjutkannya lagi,” lanjut Ana.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti garam, sabun, gula, kopi, dan minyak goreng, masyarakat di Kampung Gisim kadang menjual hasil buruan, seperti daging rusa, kepada pengumpul atau kios. Pengumpul menghargai daging rusa mentah Rp45.000 per kilogram, ikan kakap merah Rp15.000-20.000 per kilogram. Hasil penjualan ini menjadi sumber pendapatan warga untuk membiayai anak sekolah dan belanja kebutuhan lainnya.
Baca Juga: Merawat Bank Sagu Kampung Manelek
Untuk membantu identifikasi potensi lokal, EcoNusa mengadakan scooping untuk memetakan kampung dan segala potensinya melalui program Sekolah Transformasi Sosial (STS). STS ini merupakan bentuk pengembangan masyarakat adat agar mereka mengenali dan mengembangkan potensi sumber daya alam dan manusianya. ”Harapan dari kami masyarakat kampung kepada Yayasan EcoNusa sebagai mitra bisa membantu menghubungkan dan meningkatkan pendapatan, terutama untuk kemandirian ekonomi dengan keberlanjutan alam yang berkesinambungan,” kata Nomensen Kayaru sekretaris Kampung Gisim.
Masyarakat sebagian besar hidup dari hasil kebun seperti sagu, keladi, dan sayur, hasil hutan berupa kayu, dan binatang buruan seperti babi, rusa, ikan, udang. Budidaya pertanian masih dilakukan di kebun atau ladang dengan cara berpindah-pindah. Mereka belum mengenal pola tanam dan sistem perawatan tanaman. Kebanyakan warga masyarakat menjual hasil hutan dan kebun secara mentah. Belum ada yang melakukan pengolahan hasil kebun, hutan, laut, atau sungai. Padahal bila ada pengolahan potensi tersebut akan meningkatkan nilai tambah dibanding menjual mentah.
Editor: Leo Wahyudi