Kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap suku bangsa di Indonesia berperan besar mengatur sendi kehidupan sosial. Seperangkat aturan disusun untuk menciptakan hubungan yang harmonis antar anggota masyarakat. Bila konflik terjadi, kearifan lokal berperan penting dalam memastikan konflik berakhir tanpa menyisakan permasalahan lanjutan atau bahkan dendam.
Jauh sebelum masyarakat modern mengenal hukum materiil dan hukum formil, Suku Moi yang mendiami wilayah di Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat, memiliki mekanisme tersendiri dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi. Penyelesaian konflik menggunakan seperangkat ritual sakral yang melibatkan pelbagai anggota masyarakat.
Suku Moi mengenal ritual adat bernama teh bless guna menyelesaikan pelbagai konflik yang terjadi di masyarakat. Misalnya, konflik akibat perselingkuhan, pencurian, pencemaran nama baik, dan lainnya. Jika konflik terjadi, para tetua adat akan melakukan rapat dengan pihak-pihak terkait. Dalam rapat tersebut diputuskan mekanisme penyelesaian konflik, lokasi, waktu, dan besaran pembayaran denda yang harus diberikan kepada pihak yang menang dalam teh bless.
Yudha N. Yapsenang dan Desy P. Usmany dalam “Mekanisme Penyelesaian Konflik Tradisional Suku Bangsa Moi” yang dipublikasikan di Jurnal Arkeologi Papua (2019), menyatakan bahwa ritual teh bless dapat menyelesaikan semua ragam konflik dengan baik.
“Mekanisme ini bersifat sakral, sehingga siapa pun yang bersalah pasti akan ketahuan walaupun ia menyangkal tuduhan,” tulis Yudha dan Desy.
Dalam teknis pelaksanaannya, teh bless dilakukan di sungai yang telah disepakati. Umumnya, sungai yang disepakati itu memiliki debit air setinggi betis kaki orang dewasa. Setelah hari yang telah ditentukan untuk melaksanakan ritual itu tiba, pihak-pihak yang bersengketa beserta tetua adat akan menuju ke sungai tersebut.
Sebelum ritual dimulai, para tetua adat memimpin doa agar pelaksanaan teh bless dapat berjalan dengan lancar dan hasilnya dapat diterima oleh semua pihak. Ritual dimulai dengan tanda aba-aba dari tetua adat. Setelah itu, perwakilan pihak yang bertikai akan membenamkan kepala mereka ke dalam sungai atau disebut molo. Sambil membenamkan kepala, kedua tangan mereka berpegangan pada sebatang kayu. Saat melakukan molo, kepala yang terbenam tak boleh digerakkan. Pihak yang menggerakkan kepala, baik ke kanan-kiri atau ke atas, dinyatakan kalah.
“Biasanya orang dari pihak yang salah (baik yang menuduh ataupun tertuduh) tidak dapat bertahan lama saat melakukan teh bless. Tidak sampai 3 menit. Jika masih memaksakan diri untuk bertahan ada kemungkinan hidung mereka mengeluarkan darah atau pelipisnya terluka,” tulis Yudha dan Desy.
Pihak yang kalah diwajibkan membayar sesuai kesepakatan yang telah ditentukan dalam musyawarah adat sebelumnya. Biasanya, benda yang digunakan untuk membayar pihak yang menang adalah kain timur, kain cita, dan barang-barang budaya lainnya.
Menariknya, pelaksanaan teh bless diwakili oleh pihak lain yang tak terlibat pertikaian, bahkan dari luar kampung. Yudha dan Desy mendapati bahwa perwakilan tersebut dipilih tak hanya dari kampung tetangga, melainkan hingga daerah yang cukup jauh, seperti Raja Ampat.
Sebelum teh bless dilaksanakan, para tetua adat akan menanyakan kebersihan hati pihak yang mewakili. Bila orang yang bersangkutan mempunyai dendam atau masalah yang belum terselesaikan, maka orang tersebut tak boleh mengikuti teh bless.
“Biasanya, orang yang melakukan teh bless, oleh pihak yang bertikai akan diberi imbalan yang cukup besar,” tulis Yudha dan Desy.
Pelaksanaan teh bless menarik perhatian semua anggota masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Posisi pihak yang bertikai akan dibagi menjadi dua bagian di tepi sungai, kiri dan kanan. Begitu juga masyarakat yang menonton teh bless. Saat teh bless berlangsung, tepi sungai akan ditutupi dengan kain panjang dan dijaga oleh tetua adat. Hal ini ditujukan untuk mencegah konflik baru dari pihak yang tak puas dengan hasil teh bless.
Saat ritual ini berlangsung, masyarakat membagi tugas untuk menyiapkan makanan yang disantap bersama setelah pelaksanaan teh bless; laki-laki bertugas mencari kayu bakar, sementara perempuan bertugas memasak makanan dari hasil kebun dan sagu bakar dalam bambu.
Editor: Nina Nuraisyiah & V. Arnila Wulandani